Anna mengalihkan pandangannya pada sosok bertopi koki warna putih yang muncul bersama chef lain, dengan celemek di tubuhnya.
Itu…"Anna, itu Hanif yang kita kenal kan?"Anna memperhatikan sosok yang berdiri dengan malu-malu di atas panggungBenarkah itu dia?Dessy tak ingin kehilangan kesempatan, tangannya sigap memotret, tanpa peduli pengambilan gambar yang buram. "Jika benar, kenapa berita mengenai kehidupan pribadi lain Hanif tidak terpapar di sana."Anna tak berkomentar, dan tak berminat dengan itu. Tapi, salah satu tamu undangan tiba-tiba berdiri sambil mengangkat tangan. "Bisa lepaskan topi anda sebentar?"Ya, topi itu memang menutupi wajahnya, jadi orang-orang tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dan permintaan itu, membuat sang kepala koki terkejut, ia sedikit ragu. Namun, dia berpikir bagaimana caranya agar para tamu itu tidak tersinggung, sementara dia sudah membuat persetujuan dengan para sponsor agar dirinya ta"Hei, apa yang sedang kalian bicarakan?" Aldi tampaknya tak senang dengan keakraban mereka. "Kamu tak perlu tahu, jadi fokuslah dengan rencanamu..." Dessy sengaja membisikinya. "Jangan sampai Anna berubah pikiran, aku sudah susah payah membuatnya setuju." Setelah berbicara begitu, Dessy kembali menjauhkan diri. "Well, aku akan turut serta mengatur semuanya dengan sempurna."Entah itu ikhlas berasal dari hatinya, tak ada yang tahu. Namun itu berhasil membuat Anna tersenyum. "Hei, jangan diam saja, segeralah istirahat, besok kita harus mendatangi Wedding Organizer terbaik."Dessy mengemasi barang belanjaan Anna yang berantakan, dia sedikit mengeluhkan itu. "Kamu belanja sebanyak ini untuk apa? Kamarmu sudah penuh dengan barang yang kamu borong.""Hanya cemilan kecil, kamu pasti akan tertarik." Mereka tak lagi peduli dengan Aldi yang masih berdiri di ruang tamu, namun kini pria itu malah bernafas lega karena sebentar lagi wanita
"Benarkah? Kamu serius Kak? Kalau begitu terima kasih banyak." Anna tak mengira Randy menyetujui sarannya, pria itu ternyata menerima perjodohan darinya. Karena tak menganggap dirinya orang lain lagi, Anna memeluk dua teman sekaligus sahabatnya itu dengan erat. Namun, Randy malah merasa aneh, jantungnya malah berdetak lebih cepat. 'Aku sungguh tidak bisa membiarkan ini.' Perlahan pria itu menghindar dari Anna, ia tak mau membuat dirinya jatuh lebih dalam lagi, tahu kenapa? Randy tetap menyimpan perasaannya pada Anna. Tapi demi mengalihkannya, Randy sengaja menyibukkan diri mengotak-atik ponsel, membuka media sosial setelah dua wanita yang di sekitarnya itu kini sibuk berbincang. "Ehmm, kalau begitu lanjutkanlah obrolan kalian, aku akan keluar sebentar..." *** Di tempat lain, Aldi masih menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit, namun bunyi notifikasi yang tak berhenti membuatnya agak terganggu. "Siapa
Anna lagi-lagi menyendiri di luar ruangan menghibur diri agar moodnya kembali, namun suara mobil mendecit, sebuah truk terlihat dari arah berlawanan tanpa bisa di kendalikan oleh supirnya, suara teriakan terdengar menyebut nama Anna, Namun semuanya terlambat, dentuman keras yang jatuh ke aspal menarik perhatian orang-orang. "Anna ...!!!" Pemilik suara yang tadi berteriak memanggilnya langsung histeris melihat kejadian itu dan menemukan Anna sudah tergeletak tak berdaya di jalan. "Tidak, Anna bangun, bangun..." Isak tangis itu berujung penyesalan karena membiarkannya pergi sendirian. "Maafkan aku Anna, kumohon sadarlah." Derap langkah kaki yang berlarian menghampiri mereka. Ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa selain meletakkan kepala Anna dalam pangkuannya. "Tolong bantu panggilkan ambulan." Suaranya serak di tengah kasak-kusuk kerumunan. "Semuanya, tolong bantu kami." Sirine ambulan me
"Dessy, bukannya tadi kamu bilang mau makan? Kenapa kamu diam saja?" Di tanyai begitu, Dessy agak bimbang, "Tidak, aku belum lapar... Jadi aku akan pergi menyapa teman-teman kita di sana. Kamu tak ikut?" "Hei, kamu jangan berdalih, ayo ikut makan bersama di satu meja.""Aku..." belum sempat dia bicara, tubuhnya di tarik paksa untuk duduk di meja yang sama dengan mereka. Beberapa pasang mata menyadari kecanggungan itu, namun Anna segera mengalihkannya, membuat Aldi memberikan selembar tisu setelah sebagian wajah Anna terkena cipratan saus cabai. "Ups! Maaf, sepertinya aku memencetnya terlalu kuat." Meski kelihatan malu-malu, Anna cukup takut penampilannya kali ini malah menjadi lelucon, sigap ia membersihkannya tanpa bekas.Lain halnya dengan Dessy yang masih kaku, dia bahkan tak berani menatap suaminya sedikitpun. uhukk… uhukk… Entah bagaimana dirinya bisa tersedak, padahal yang dia makan hanya cemilan ringan yang
Di dalam mobilnya, Randy merenungkan ulang sikapnya, meski masih kesal dirinya terus dipojokkan, tapi rasa bersalah muncul setelah kepergian Dessy. "Tidak bisa begini, aku harus segera menyusul Dessy ke bandara, semoga saja masih sempat."Sigap, ia langsung melajukan mobilnya, meninggalkan area parkir mobil. Tring… laju mobilnya melambat saat mendengar ponselnya berbunyi. "Ya halo…""Halo, apa ini keluarga Ibu Dessy Febrina?" Randu membesarkan matanya, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat penasaran dengan apa yang akan di sampaikan oleh di pemanggil."Ya… ada apa?""Datanglah secepatnya, saya akan mengirimkan alamatnya sekarang…""Maksud anda? Ada apa ini sebenarnya?" Namun panggilannya terputus begitu saja, sebuah pesan singkat masuk membuat dahinya mengerut. "Dessy di rumah sakit? Jadi dia belum berangkat?" Begitu Randy menyimpan ponselnya, gegas ia menginjak pedal gas, melajukan mobilnya dengan cepat. "Aku harus segera ke sana."
"Aku tak menduga Dessy bisa pergi secepat ini. Ini sangat tidak adil! Kami bahkan belum sempat melakukan rencana bisnis yang sudah kami buat sebelumnya." Anna tak bisa berhenti menangis, untungnya di situasi ini Aldi tetap disisinya."Sudahlah, jangan tangisi lagi, jasadnya tidak akan tenang kalau kamu terus begini. Kita berdoa saja, agar ia diberikan tempat yang layak di akhirat sana."Anna terisak, dia masih belum yakin dengan kemalangan yang terjadi. "Mengapa dia pergi begitu cepat?"Aldi mengelus lembut kepala istrinya, "Aku tahu ini akan sulit untuk kita, kita tidak pernah tahu akan takdir dan kenapa ini bisa terjadi. Kepergiannya juga meninggalkan jejak yang luar biasa, bukankah selama ini kamu merasakan kebersamaan itu?"Meski kepalanya mengangguk, namun air matanya tetap tak bisa dihentikan. Kepalanya menyandar di bahu sang suami. "Jadi, kita harus merelakan kepergiannya, kamu mengerti?"Bagaimanapun Anna menyangkalnya, ia tetap tidak bisa tidak bersedih.***"Aku ingin kamu
Ayunda mana percaya, memang selembar foto itu tampak tak asing, ia pernah melihatnya di suatu tempat, tapi dimana?Ah, dia bahkan lupa dengan itu."Biarkan aku duduk menjelaskannya."Ayunda membuka jalan membiarkan pria asing itu masuk ke dalam rumahnya, dirinya tentu tetap waspada, buru-buru dia mengendong putranya yang masih terlelap di sofa.Ayunda menyadari pria itu memandang anak umur 3 tahun itu dengan cara yang berbeda. "Apa dia putramu?" Pria itu mencoba mengelus pipinya, namun Ayunda tak membiarkan itu terjadi. "Jangan sentuh dia!" Adrian jelas kaget dengan pekikan yang tiba-tiba, dia mengurungkan niatnya dan mencoba memahami situasi itu dengan senyuman ringan. "Aku tahu kamu masih tidak terima dengan hal yang tiba-tiba ini, tapi jika kuceritakan, apa kamu akan percaya?"Memikirkannya, Ayunda agak ragu, tapi tetap saja itu membuatnya penasaran. "Katakan.""Kuharap sebelum ajalku tiba, aku akan menebus semu
Nada panggilan yang tak berhenti menganggu aktivitas Ayunda, dengan terpaksa dia menjawab nomor asing itu dengan nada ketus. "Halo..."Apa?""Baiklah saya akan segera ke sana." Begitu panggilan terputus, Ayunda langsung membanting ponselnya dengan keras, untung saja dia menjatuhkan itu ke ranjang empuk, jika tidak benda pipih itu sudah hancur berkeping-keping. Jujur, entah kenapa saat ini dirinya begitu panik, padahal kemarin saat pria yang mengaku-ngaku sebagai ayah itu datang, Ayunda malah mengabaikannya, tapi kini setelah tahu pria bernama Adrian itu sedang terbaring di rumah sakit, dirinya begitu tergesa-gesa berkemas dan pergi ke sana."Uwwaa..." Suara tangis anak kecil membuat semua mata tertuju pada sosok pemuda kecil yang melihat ibunya tiba-tiba terkapar di lantai.Saat tiba di depan rumah sakit, Ayunda merasa kepalanya berat, seolah dunia sedang berputar. Anna yang kebetulan lewat dan menyaksikan itu, langsung me
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
Beberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?" Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. Dan
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan