"Dessy, bukannya tadi kamu bilang mau makan? Kenapa kamu diam saja?"
Di tanyai begitu, Dessy agak bimbang, "Tidak, aku belum lapar... Jadi aku akan pergi menyapa teman-teman kita di sana. Kamu tak ikut?""Hei, kamu jangan berdalih, ayo ikut makan bersama di satu meja.""Aku..." belum sempat dia bicara, tubuhnya di tarik paksa untuk duduk di meja yang sama dengan mereka.Beberapa pasang mata menyadari kecanggungan itu, namun Anna segera mengalihkannya, membuat Aldi memberikan selembar tisu setelah sebagian wajah Anna terkena cipratan saus cabai. "Ups! Maaf, sepertinya aku memencetnya terlalu kuat."Meski kelihatan malu-malu, Anna cukup takut penampilannya kali ini malah menjadi lelucon, sigap ia membersihkannya tanpa bekas.Lain halnya dengan Dessy yang masih kaku, dia bahkan tak berani menatap suaminya sedikitpun. uhukk… uhukk…Entah bagaimana dirinya bisa tersedak, padahal yang dia makan hanya cemilan ringan yangDi dalam mobilnya, Randy merenungkan ulang sikapnya, meski masih kesal dirinya terus dipojokkan, tapi rasa bersalah muncul setelah kepergian Dessy. "Tidak bisa begini, aku harus segera menyusul Dessy ke bandara, semoga saja masih sempat."Sigap, ia langsung melajukan mobilnya, meninggalkan area parkir mobil. Tring… laju mobilnya melambat saat mendengar ponselnya berbunyi. "Ya halo…""Halo, apa ini keluarga Ibu Dessy Febrina?" Randu membesarkan matanya, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat penasaran dengan apa yang akan di sampaikan oleh di pemanggil."Ya… ada apa?""Datanglah secepatnya, saya akan mengirimkan alamatnya sekarang…""Maksud anda? Ada apa ini sebenarnya?" Namun panggilannya terputus begitu saja, sebuah pesan singkat masuk membuat dahinya mengerut. "Dessy di rumah sakit? Jadi dia belum berangkat?" Begitu Randy menyimpan ponselnya, gegas ia menginjak pedal gas, melajukan mobilnya dengan cepat. "Aku harus segera ke sana."
"Aku tak menduga Dessy bisa pergi secepat ini. Ini sangat tidak adil! Kami bahkan belum sempat melakukan rencana bisnis yang sudah kami buat sebelumnya." Anna tak bisa berhenti menangis, untungnya di situasi ini Aldi tetap disisinya."Sudahlah, jangan tangisi lagi, jasadnya tidak akan tenang kalau kamu terus begini. Kita berdoa saja, agar ia diberikan tempat yang layak di akhirat sana."Anna terisak, dia masih belum yakin dengan kemalangan yang terjadi. "Mengapa dia pergi begitu cepat?"Aldi mengelus lembut kepala istrinya, "Aku tahu ini akan sulit untuk kita, kita tidak pernah tahu akan takdir dan kenapa ini bisa terjadi. Kepergiannya juga meninggalkan jejak yang luar biasa, bukankah selama ini kamu merasakan kebersamaan itu?"Meski kepalanya mengangguk, namun air matanya tetap tak bisa dihentikan. Kepalanya menyandar di bahu sang suami. "Jadi, kita harus merelakan kepergiannya, kamu mengerti?"Bagaimanapun Anna menyangkalnya, ia tetap tidak bisa tidak bersedih.***"Aku ingin kamu
Ayunda mana percaya, memang selembar foto itu tampak tak asing, ia pernah melihatnya di suatu tempat, tapi dimana?Ah, dia bahkan lupa dengan itu."Biarkan aku duduk menjelaskannya."Ayunda membuka jalan membiarkan pria asing itu masuk ke dalam rumahnya, dirinya tentu tetap waspada, buru-buru dia mengendong putranya yang masih terlelap di sofa.Ayunda menyadari pria itu memandang anak umur 3 tahun itu dengan cara yang berbeda. "Apa dia putramu?" Pria itu mencoba mengelus pipinya, namun Ayunda tak membiarkan itu terjadi. "Jangan sentuh dia!" Adrian jelas kaget dengan pekikan yang tiba-tiba, dia mengurungkan niatnya dan mencoba memahami situasi itu dengan senyuman ringan. "Aku tahu kamu masih tidak terima dengan hal yang tiba-tiba ini, tapi jika kuceritakan, apa kamu akan percaya?"Memikirkannya, Ayunda agak ragu, tapi tetap saja itu membuatnya penasaran. "Katakan.""Kuharap sebelum ajalku tiba, aku akan menebus semu
Nada panggilan yang tak berhenti menganggu aktivitas Ayunda, dengan terpaksa dia menjawab nomor asing itu dengan nada ketus. "Halo..."Apa?""Baiklah saya akan segera ke sana." Begitu panggilan terputus, Ayunda langsung membanting ponselnya dengan keras, untung saja dia menjatuhkan itu ke ranjang empuk, jika tidak benda pipih itu sudah hancur berkeping-keping. Jujur, entah kenapa saat ini dirinya begitu panik, padahal kemarin saat pria yang mengaku-ngaku sebagai ayah itu datang, Ayunda malah mengabaikannya, tapi kini setelah tahu pria bernama Adrian itu sedang terbaring di rumah sakit, dirinya begitu tergesa-gesa berkemas dan pergi ke sana."Uwwaa..." Suara tangis anak kecil membuat semua mata tertuju pada sosok pemuda kecil yang melihat ibunya tiba-tiba terkapar di lantai.Saat tiba di depan rumah sakit, Ayunda merasa kepalanya berat, seolah dunia sedang berputar. Anna yang kebetulan lewat dan menyaksikan itu, langsung me
"Sudahlah, sekarang kamu tinggal pilih saja, mengikutiku atau nyawamu akan bergantung pada pisav ini." Ayunda bahkan tak bisa berteriak karena takut dengan ancamannya, sedangkan putranya masih tertidur di mobil tak jauh dari tempatnya berdiri. "Tolong jangan sakiti aku, dan biarkan kami pergi sekarang." Pria itu mendengkus. "Kau kira, aku bodoh?" Gigi taring yang menyeringai, membuat Ayunda semakin bergidik. "Lalu apa yang kamu inginkan?" Ayunda bahkan tidak mengetahui wajah pemilik topeng perompak yang sedang menyekapnya kini, mempercayai akan keselamatan nyawanya apa tidak akan berbahaya? "Ikut denganku..." Ayunda di tarik oleh pria itu kedalam mobil milik Ayunda, dia bahkan di paksa menyerahkan kunci mobil pada pria itu. Begitu sabuk pengaman sudah terpasang, Ayunda mengambil posisi duduk di jok belakang, tapi tiba-tiba laju mobil di buat sangat cepat hingga dengan si
Wanita itu meneruskan langkahnya menuju target sambil mengumpulkan kekuatannya menyerap detail misi. Dia ingat dengan perkataan Raffaele terakhir. Targetnya itu seorang pejabat pemerintah yang licik, dan sudah mengelabui banyak orang dengan kasus penyelewengan dana yang dipercayakan untuk yayasan dari berbagai komunitas demi kepentingan kelompok gelapnya. Saat mendekati target, Ayunda membuka maskernya, dan memasang tampang merayu dengan lipstik yang dia poles sedikit lebih tebal sebelum dia benar-benar masuk ke dalam. Pria yang menjadi targetnya, kini sudah dekat. Kehadiran Ayunda disana, membuat dia mengalihkan diri dari para wanita penghibur, dan menatap wanita yang bertubuh s*ksi yang berhasil mencuri perhatiannya. Ayunda merasa lega karena pria itu bukanlah pejabat berperut buncit seperti yang dibayangkan, namun dia adalah pria tampan yang berwajah perpaduan asia. Pantas ada banyak sekali kaum hawa yang mengelilinginya.Suara musik DJ menghantam sya
Anna mengernyit heran melihat Aldi masuk ke kamar sambil memijit pelipisnya. "Kamu tidak apa-apa?" Sang suami hanya mengangguk dengan sedikit senyum."Aku hanya pusing sedikit." "Benarkah? kamu sudah minum obat pereda nyeri?"Ketika suaminya itu membisu, Anna sudah tahu bahwa pria itu pasti belum melakukannya. Sudut mulutnya mengerucut, lalu berbicara dengan datar. "Aku akan ambilkan obat itu sekarang, dan kamu mesti meminumnya."Melihat wajah galak Anna, Aldi tertawa kecil. "Kamu tahu, wajah cemasmu saat ini terlihat menggemaskan." "Aku serius. Kamu pasti ada masalah di kantor." Setelah mendapatkan kotak P3K Anna balik mendekati suaminya. "Ceritakan masalahmu setelah kamu minum obat." ujarnya dengan nada ketus.Aldi patuh saja dengan ucapan sang istri, setelah dia meletakkan gelas air putihnya, lalu menatap wajah Anna. "Apa aku nampak begitu?""Why...?""Maksudku kenapa kamu bisa tahu kalau aku punya mas
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan