"Fuih… syukurlah ternyata bukan itu." Anna mengusap dada, perasaannya menjadi lebih lega setelah memeriksa kondisinya di kamar mandi.
Anna berpikir, 'Jika bukan itu, artinya..." Ia tak perlu susah lagi, lagipula dia Randy sudah membelikannya obat di apotik. Ia memeriksa isi plastik tadi, dan... "Hah? I-ini kan?" Mata Anna melebar ketika melihat kantong plastik putih kecil di dalamnya. "Mas Randy membelikanku ini?Jangan-jangan dia mengira aku sedang…" Sungguh, wajahnya memerah, betapa malunya Anna saat ini. Bagaimana mereka bertemu setelah ini? Keluar dari kamar kecil, Anna kembali pada aktifitas mengajarnya seperti biasa, pekerjaan ini agak merepotkan, tapi murid-muridnya itu membuat dirinya terhibur. Sampai jam istirahat tiba, akhirnya sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. (Tak apa, lagipula aku tahu kamu sibuk.) Jawaban yang terkesan cuek, tapi setidaknya Aldi sudah menjawab pesannya. Tapi aku harus balas apa? Ia mengetik beberapa kata, lalu menghapusnya, dan mengulang hal sama hingga beberapa kali. "Huh, apa yang harus aku katakan?" Anna merasa sangat gelisah. "Sudahlah, cukup dengan stiker saja." Stiker senyum mungkin cukup berpengaruh, Anna lalu mematikan ponselnya lagi dan fokus pada murid-muridnya. Ketika jam istirahat, Anna merasa perutnya lapar, buru-buru dia menuju kantin dan memesan soporsi mie instan dengan telur, beberapa orang menyorot begitu tergesa-gesanya ia, namun Anna bersikap cuek dan tak peduli dengan lirikan mereka. Toh, yang penting dia tidak menganggu orang lain. Satu porsi mie instan, cukup membuatnya kenyang, setelahnya ia meminum obat pereda nyeri dan sakit perut. Baru saja meletakkan gelasnya, Anna kembali dikagetkan dengan kemunculan Randy yang tiba-tiba. "M-mas? Kenapa kamu muncul tanpa bersuara?" Hampir saja ia menyembur wajah pria itu saking kagetnya. Namun pria itu hanya terkekeh. "Kamu bahkan tak mengajakku makan siang, lihat piringmu saja sudah kosong, hukumanmu kali ini menemaniku makan." "Tapi mas..." "Muridmu sedang olahraga kan?" Kata-katanya terpatahkan oleh pria itu, Anna tak bisa mengelak kali ini. Percakapan mereka terhenti saat pria si pemilik kantin mengantarkan pesanan Randy. "Terima kasih pak." "Jangan beranjak kemanapun sebelum aku selesai makan." Anna terpaksa menurut, lalu menggulir ponselnya sambil cemberut. "Aku tak salah, kamu benar-benar mirip sekali dengan adikku, Anna." Mendengar itu Anna agak terkejut. Adik? Jadi Mas Randy punya adik perempuan? Anna bahkan baru tahu itu. Randy menghembus nafas, seakan ada problema yang belum terpecahkan. Anna melihat raut yang kini sendu menatap ke piring makannya. "Anna…" panggilan itu membuat Anna berhenti melihat ponsel, dan terfokus pada lawan bicaranya. "Jika aku mengatakan ini, apa kamu akan percaya?" Melihat mata Randy berkaca-kaca, ia tidak tega. "Apa maksudnya?" Anna menanggapinya dengan serius. "Sebenarnya, aku punya adik perempuan yang seusia denganmu." "Lalu?" Anna mengernyit, ingin mendengar kisah selanjutnya. "Yah, sifatnya hampir sama persis denganmu. Mungkin bagimu ini mustahil, tapi selama ini aku mencarinya kemana-mana, namun hasilnya nihil." "Jadi, adikmu mengembara?" Anna bertanya dengan polosnya, namun pria itu menggeleng. "Sosoknya menghilang entah kemana. Aku menyesal karena tak menjaganya saat itu." Raut wajah itu, membuat siapapun yang melihatnya ikut menjatuhkan air matanya. Anna tidak tahan dan terpaksa membuang muka. "Maaf mas, sebelumnya aku tidak tahu..." Anna terlihat menyalahkan dirinya. Namun, saat itu juga Randy merubah ekpresinya menjadi lebih ceria. "Hei, ayolah. Kenapa tampangmu begitu? Ini sama sekali tak mirip dengamu Anna, lihat wajahmu di cermin, kamu bahkan lebih jelek dari babon." Seketika tawanya meledak seolah tak ada beban apapun. "Mas Randy, aku ini bukannya anak kecil, usiaku sudah 30 tahun loh! Mungkin sebentar lagi rambutku malah beruban." Pria itu semakin mengencangkan tawanya. Jelas sekali ia memegangi perutnya menahan tawa. "Anna, jangan bilang kamu sengaja membuat lelucon untukku kan?" Anna tak menanggapi, kini dia tahu alasan di balik Randy yang menganggapnya sebagai adik. Meski begitu, tapi jika ingat tentang pembalut tadi… "Maaf, mas. Aku harus ke sana sebentar." Anna buru-buru ingin lari dari sana, namun sebelah tangannya sedang di tahan. "Sudah kubilang, temani aku sebentar. Kenapa malah pergi?" "A-aku..." "Apa perutmu baik-baik saja?" tanya Randy mengalihkan topik obrolan mereka. Anna tak dapat menyimpan lagi kegugupannya, namun setidaknya dia tidak melupakan sesuatu. "Obat tadi, makasih banyak mas." Dia mengangguk, entah apa isi benaknya sekarang, Anna tidak peduli lagi. Yang penting pria itu sudah menghabiskan makanannya. "Kita keluar sekarang." Selesai membayar makanannya, keduanya berjalan pelan keluar pintu kantin, melewati lorong sekolah dalam diam. Ehhmm… "Anna…" "Kamu sedang mikir apa?" tanya Randy membuka keheningan situasi. Tidak ada jawaban, Anna cukup menggeleng sebagai responnya. "Maaf, bukan ingin mencampuri urusan pribadimu, tapi apa kamu masih melajang?" Pertanyaan itu membuat Anna menoleh, penasaran. "Memangnya kenapa?" Anna bahkan tak mencemaskan apapun, dia sudah fix berpikir Randy menganggapnya sebagai adik. "Kamu serius?" Sekali lagi Anna mengangguk. Namun pria itu kini mengehentikan langkahnya, dan menghadapkan tubuhnya pada Anna. "Tak adakah orang kamu sukai?" Tiba-tiba Randy menyerahkan setangkai bunga kertas yang kebetulan ada di sekitar mereka. "Anna, aku ingin hubungan kita lebih dekat dari sekedar adik kakak." Anna membelalak, "Mas Randy kamu bilang apa sih? Kamu sengaja mengatakan ini dan memutuskan hubungan dekat kita?" Randy terdiam menunduk, tak berani menjawab apapun. "Jawab mas!" Anna jelas-jelas emosi mendengar pengakuan itu, tapi mendapati tak ada jawaban, ia menarik nafas. "Jika benar begitu, mulai hari ini kita tak perlu lagi bertemu, kalau pun berpapasan di jalan anggap saja kita tidak saling kenal." Setelah berbicara, Anna memutar tubuhnya berencana pergi. "Anna..." pria itu memeluk Anna dengan berani. "Tak bisakah aku mengisi hatimu Anna? Selama ini aku menyukaimu, bahkan saat sebelum kamu bercerai dari suamimu." "Mas Randy, tolong lepaskan. Orang-orang akan melihat kita dan menilai buruk tentangku." Anna mencoba meronta, namun pria itu semakin mengeratkan cengkeramannya. "Mas Randy, lepaskan!" Perlahan pelukan itu melonggar, beruntungnya saat itu mereka berada di tempat yang sepi, semua orang di sekolah sudah sibuk dengan aktivitas mereka. Saat itu, Randy menyentuh pelipisnya dengan panik. "Maafkan aku Anna, mungkin aku terlalu terobsesi dengan perasaanku." Anna tak menjawab, ia berdiri di sana dengan tubuh gemetar, lalu mencoba mundur beberapa langkah dan bersandar di dinding lorong sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Melihat situasi Anna sekarang, Randy memutuskan pergi. Namun belum jauh dari sana, langkahnya terhenti. "Pikirkan matang-matang agar kamu tidak menyesal, Anna." Kini tinggal Anna sendiri berdiri mematung di sana. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Dessy, bisa kita bicara?""Aku akan resign dari pekerjaanku."Dengan segenap keberanian, Anna memutuskan suatu yang sangat mustahil dia lakukan. "Anna, kamu serius?"Beberapa temannya melongo tak percaya. Hal ini menjadi pertanyaan di benak mereka masing-masing. "Tapi Anna, bukankah kita disini baik-baik saja? Kenapa kamu mesti mengundurkan diri?""Apa maksudmu, Anna?" Dari bicaranya terdengar jelas kalau ia tak terima dengan keputusan Anna tadi."Anak-anak lebih suka menjadi muridmu, ketimbang kami yang agak galak.""Hei, kalian bukan galak lagi, tapi ganas seperti serigala." Seisi ruang tertawa lepas tanpa beban.Di sela-sela ketegangan itu, rekan kerja Anna selalu bisa membuat lelucon agar mereka tertawa. Itulah yang membuat Anna selalu betah di sana. Meskipun kadang ada sedikit konflik, tapi sampai saat ini Anna cukup melewatinya dengan baik. Anna mendatangi satu persatu dari mereka. "Maaf semuanya, tapi keputusanku sudah bulat. Aku berencana menyusul temanku di Swiss." Anna mencoba terus tersenyum saat m
Ruangan dokter..."Ini semua biaya rumah sakit dan bersalin saja dokter?" Hanif mengernyitkan dahinya tak percaya, saat membaca secarik kertas yang ia terima. Sosok berjas putih itu mengangguk, "Benar, semuanya sudah tercantum di sana." Sekali lagi Hanif membaca, meyakinkan matanya melihat sederet angka yang membuatnya menelan ludah. Jika dulu ia sanggup mengeluarkan uang sebanyak apapun, tapi sekarang ada kendala yang tak mungkin di jabarkan di sana. "Maaf dokter, apa ini tak bisa di korting lagi?" Hanif mencoba bernegosiasiYang di tanyai mengeleng, "Jika ingin murah seharusnya anda mengambil ruang rawat kelas ekonomi, bukan ruangan VIP. Anda pasti paham kan?" Hanif tak berkomentar lagi, kepalanya kini sudah berdenyut. Sebetulnya dia masih punya sedikit tabungan, dua mobil mewah dan satu perumahan serta vila mewah peninggalan kakeknya. Haruskah Hanif menggadaikannya satu demi melunasi biaya rumah sakit?"Pak Hanif, ada kendala lain?"Di tanyai begitu, seharusnya dia mengangguk,
"Permisi..." Hanif menarik nafas panjang, "Itu pasti pelanggan..." Buru-buru Hanif keluar dan kembali ke toko menemui tamunya. "Maaf Bu Dadang, kebetulan tadi saya sedang mengurus sesuatu di belakang, jadi...""Pesanannya sudah jadi kan pak?" Hanif baru ingat, wanita berpakaian dinas kuning itu adalah salah satu tetangganya yang memesan, Hanif tergagap, namun dia segera mengatasi iniBuru-buru dia memeriksa daftar pemesan, tanpa memperhatikan wajah pelanggannya, rasa cemas menghampirinya karena dia sudah tahu resiko di datangi pelanggan yang komplen jika hasil kerjanya mengecewakan."Buruan mas, acaranya mulai pukul 09.00 nanti, saya sudah repot datang dan menjemput kemari loh, lagipula 20 bungkus itu tidak terlalu banyak."Hanif menghembus kasar nafas, 20 bungkus kan? Ini cukup, dan dia segera menyelesaikan ini dan memberikannya pada pelanggan. "Ini ya Bu Dadang."Wanita itu sudah standby di motornya, Hanif meletakkannya di jok depan motor. "Nanti uangnya di transfer ya pak."Sampai
Leon tiba-tiba rewel, buru-buru Hanif membuatkan susu dan menghidupkan video anak-anak di gawai miliknya agar Leon berhenti menangis. Namun, usahanya itu malah gagal, Hanif mencoba mendiamkannya dengan segala cara, hasilnya tetap sama. Untungnya Ayunda belum jauh dari rumah.Pikiran Hanif jauh lebih kacau, dan itu malah memicu emosinya, hingga akhirnya mengeluarkan semua kekesalannya dengan emosi. "Ayunda, kamu masih ingat dengan anakmu kan?kamu tak dengar dia menangis? Bagaimana pun dia juga butuh kasih sayang seorang ibu.""Suruh saja ibumu kemari, bilang padanya untuk bawa anak-anak sekalian dan tinggal di sini."Dasar kepala, dia tak peduli betapa sulitnya Hanif bekerja mencari nafkah untuk keluarganya, semua ini demi memenuhi kebutuhan mereka juga.Sayangnya, Hanif selalu menyimpan itu dalam hati, ia tak ingin mengumbar semuanya dan dikatakan tidak ikhlas menafkahi keluarganya.Ayunda bukan tidak mendengar perkataan suaminya, tapi ia malah menggerutu, bahkan setelah keluar dari r
"Ayunda ...," Hanif memanggil istrinya dengan lembut. Pasalnya, sejak Ayunda pulang dia masuk kamar dan tak keluar hingga malam tiba. Hanif menyusulnya ke ranj4ng yang di tempati sang istri setelah putra mereka tertidur. Ia melihat punggung Ayunda yang membelakang, mendapati lek√kan tubuh yang tebalut piyama katun, begitu menggelora h4sratnya untuk melak√kan ses√atu. Sebagai pri4 normal, dia jelas menginginkan h4l yang sudah sepantasnya mereka lakukan, tangannya bergerak menyentuh pundak Ayunda, perlahan turun mencapai pingg√l. Hanif memindahkan tangannya menjelajahi bagian depan, kali ini ia berinisiatif menyentuh b3lah4n d4d4, dan mer3m4snya Namun, Ayunda malah terbangun dan segera menepis sentuhan itu, lalu menaikkan selimut tanpa peduli dengan keinginan sang suami."Sayang, kita sudah lama...""Aku lelah dan mau istirahat, besok aku masih ada urusan di suatu tempat." Kejam sekali, padahal h4sr4tnya sudah sampai ke ubun-ubun, namun Hanif memilih mengabaikan kekecewaannya, dan
Sejak semalam Hanif mondar-mandir di depan pintu dengan gelisah, menunggu kehadiran sang istri yang belum pulang sampai sampai detik ini, jika kemarin dia tak membuat nasi soto, apa sekarang dia harus begitu juga? Waktunya sudah tekor karena itu, tapi yang lebih ia cemaskan kini hanya istrinya. "Aku coba telpon dia lagi, semoga diangkat."Sigap tangan Hanif bergerak mengetuk layar ponselnya sampai panggilan tadi tersambung. Tut... tut... tut... "Aku mohon angkat Ayunda, angkat..." Satu, dua kali dia merasa percuma menelepon, karena hasilnya tetap sama. "Ayunda tidak sedang dalam masalah kan?" Saat itu matanya terpejam, mencoba berpikir jernih. "Baik, aku akan coba sekali lagi." "Halo..." Hanif baru menghembus nafas lega, begitu panggilan itu tersambung. "Sayang, kamu tak apa?" tanya Hanif dengan tergesa. "Hanif, hari ini aku sangat sibuk, mengobrolnya nanti saja, bye!" "Tapi ...""Oh, aku lupa. Hanif, untuk sementara ini aku mungkin tak bisa pulang, jadi tolong jaga Leon baik
Oek... Oek..."Hanif, anakmu nangis tuh, emang ibunya nggak di rumah?" Pria itu hanya meringis ketika di tanyai salah seorang pelanggan yang berdiri dan akan belanja di tokonya. Meski sibuk mengemasi barang belanjaan para pelanggannya, Hanif menyempatkan diri menjawab seadanya. "Ayunda belakangan ini sibuk, dia dapat proyek iklan lagi, jadi di rumah cuma kami berdua.""Lalu ibu Jeanne?""Ibu jagain rumah lama, lagian dia juga sibuk ngurusin komunitas senamnya, jadi nggak bisa bantuin aku juga." Selesai mengemas semuanya, Hanif menata semua barang-barang itu di depan toko dan melanjutkan ucapannya. "Aku sudah biasa apa-apa sendirian kok Bu, jadi nggak masalah."Tangisan itu terdengar semakin keras, itu menarik perhatian semua pelanggan toko. "Hanif, lebih baik lihat dulu anakmu, kami akan tunggu di sini." Kesibukan Hanif, mengundang prihatin bagi mereka, ia baru menyadari bahwa semua tetangganya memiliki rasa manusiawi yang besar. Tanpa berpikir, Ia segera berlari menemui putranya ya
"Aku tak bisa terima itu!" Siapa yang akan membiarkan istrinya tinggal di luar selama beberapa bulan?Hanif jelas tak setuju dengan permintaan aneh istrinya."Hanif, apa belakangan ini aku meminta uang padamu? Apa kamu tahu semua keluhanku selama di luar? Meski kamu bertanya pun, aku juga tak ingin memberitahumu. Tapi, yang perlu kamu ketahui, sejak aku meninggalkan rumah kemarinnya lagi, aku sudah menghasilkan banyak uang, sementara jika hanya mengandalkan kamu..."Ayunda menarik nafas, dan tak ingin melanjutkan ucapannya, "Ayunda, tarik ucapanmu kembali! Bicaramu jangan keterlaluan, apa kamu lupa apa yang membuat hidup kita jadi begini? Kuharap kamu mengerti dengan roda perputaran ini." Hanif meraih tangan sang istri, berharap wanita itu akan berubah pikiran, namun Ayunda melepas genggamannya dengan kasar."Maaf Hanif, kurasa hubungan kita berakhir di sini saja, kurasa jalan terbaik adalah bercerai." Meski kata-katanya tidak kasar, tapi sangat menusuk. "Kamu kira semudah itu men
Aldi terdiam melihat tatapan Anna yang tajam seakan siap menusuknya kapan saja, dia sepertinya sedang dijebak. Namun dia berusaha menjelaskan ini. "Anna, aku..." Aldi mencoba berbicara, tenggorokannya seolah tercekat."Jangan bohong lagi!" Anna tersentak. "Kamu dan wanita itu sudah bermal4m bersama di hotel, bukan?"Wajah Aldi pucat pasi. "Ti-tidak, darimana kamu tahu itu?"Anna tersenyum sinis. "Lihat, kamu sendiri gugup kan? Aku jelas tahu semuanya dari seseorang. Awalnya aku tak percaya saat orang itu menceritakan semuanya, tapi aku tidak sangka kamu akan..." Sebagai istri dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. "Anna, aku benar-benar tidak tahu akan hal ini, aku dijebak, ada orang yang ingin memfitnahku Anna... aku hanya... ""Hanya apa?" tanya Anna, suaranya dingin. "Kamu sudah melakukannya dengan wanita itu bukan?" Aldi tak bisa menyangkalnya lagi, lagipula dia sudah seperti ini, dia bahkan tidak tahu cara membangun kepercayaan Anna lagi pada dirinya. "Maafkan aku
"Shit!" Aldi mengumpat begitu ia terbangun, kepalanya berdenyut pusing. Ketika sudah kembali sadar, pria itu melihat seorang wanita di yang masih terbaring di sebelahnya. Punggung polos yang mengg0da itu terlihat hingga dia terus mengucek matanya agar pandangannya menajam. "Tidak, rambut Anna bukan warna coklat, ini bukan Anna." Mendengar helaan nafas, wanita itu berbalik dan Aldi langsung terkejut. "H-Halen? J-jadi, semalam aku melakukan itu bersamanya..."'Tidak! Tidak mungkin!' Aldi menggeleng cepat sambil beringsut mundur sambil memperbaiki pakaiannya, ia menatap Halen dengan wajah pucat. "Ada apa?" Wanita itu bangkit sambil menutupi tubuh polosnya dengan selimut."Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi apa kamu sengaja memberiku obat agar bisa tidur denganku?" Mendapat tuduhan itu, raut muka Halen berubah. "Apa? Kenapa kamu membalikkan fakta ini padaku? Harusnya kamu sadar diri dengan ulah tubuhmu!" sahutnya dengan nada ketus.Aldi memijat pelipisnya beberapa kali, 'Ya tuh
"Aldi, Aldi ... kenapa kamu tidur disini?" teriakan itu membuat Aldi kaget dan langsung terbangun. Pria itu mengucek matanya beberapa kali. "Ternyata tadi aku cuma mimpi." "Kamu benar Aldi kan?" Wanita itu mengulangi pertanyaannya, pandangannya terarah lurus pada wajah sosok pria di hadapannya."Ya, bagaimana kamu tahu namaku..." "Halen, mungkin kamu tidak ingat. Di masa lalu kamu menolongku dari bully an para kakak senior waktu sekolah menengah..." "Ya, aku ingat. Itu sudah lama sekali." "Syukurlah, kukira kamu tidak mengenalku sama sekali. Tapi, ngomong-ngomong, kamu kenapa?" Sebisa mungkin dia menahan gugupnya, sambil mencoba mencari alasan. "Ah, aku hanya sedikit pusing saja. Bukan masalah besar..." "Yakin nggak apa-apa? Di sana ada apotik, nanti singgah saja ke sana dan belilah obat sebelum pulang."Hanya tawa yang lepas sebagai jawaban, Aldi terlihat santai seakan sedang tidak menyimpan beban. "
"Permisi, bisakah saya melihat tas yang di etalase itu? Saya akan membelikannya untuk istri saya." Aldi menunjuk sebuah tas merk branded edisi terbatas di sebuah toko dalam mall pusat kota."Oh itu, baiklah. Tunggu sebentar, saya akan ambilkan." sahut pemilik toko berjilbab yang bergerak cepat meraih barang yang di tunjuk Aldi. "Ini pak, harganya ada pada label."Aldi memperhatikan label harga yang terpasang pada merk bagian depan, sungguh itu barang mewah dan mahal. " tersenyum memandangi barang. "Baiklah, tolong bungkuskan."Dengan cepat pelayan itu bergerak saja. "Terima kasih."Pelayan itu tersenyum pada pelanggannya dengan sopan. Raffaele berjalan keluar dari tempat itu dengan bangga, dia langsung melajukan mobilnya untuk kembali pulang. Namun, di jalan matanya tak sengaja melihat seorang wanita mengobrol dengan pria yang tak asing. "Bukankah itu..."***"Ohhh." Anna membulatkan mulutnya saat mereka mengobrol dan mulai tak canggung lagi dengan situasi. "Hanya itukah?" tanyanya m
"Aku sudah mentransfernya." Randy langsung memutus panggilannya, kemudian menyeringai memasang tampang penuh misteri. "Bukankah sudah kubilang, semuanya bisa kulakukan tanpa mengotori tanganku." Kemudian dia berdiri, dan keluar dari tempat kerjanya setelah melirik jam dinding sekilas.Pria itu merubah rautnya yang menakutkan tadi, ketika bertemu dengan pegawai kantor saat melihatnya keluar melewati kumpulan orang-orang itu. Tampak jelas, pria itu bermuka dua dan raut kepura-puraan itu di tujukan di depan istrinya."Ketua, ponsel anda kembali berbunyi." Seorang staf memberikan ponsel smartphone yang tadinya di biarkan tergeletak di meja kerjanya.Randy menghentikan langkahnya, kemudian menerima ponsel dan menjawab panggilan tersebut. "Halo…""Randy, bisa tolong datang ke kantor polisi sekarang, aku baru saja di interogasi di sini.""Maaf, aku sedang dalam suasana hati yang buruk sekarang, kuharap kamu tidak sedang membuat ma
"Mama ...."Ayunda yang baru saja membuka pintu masuk rumahnya, langsung berlari saat mendengar suara putranya menjerit. “Arlis, sayang, kamu kenapa nak? Kamu sakit?" sebagai ibu, Ayunda jelas langsung berlari mendatangi putranya dengan raut cemas. "Perutku terasa sangat sakit..." Meski bicaranya belum jelas, tapi pemuda kecil itu meringis sambil memegang perutnya."Kamu sudah makan? Atau jangan-jangan karena ingin pup'?" Pemuda kecil bernama Arlis itu mengeleng. Ayunda melihat sepasang mata milik pangeran kecilnya memerah karena menahan sakit. "Kalau begitu kita coba minum antibiotik, kamu tunggu disini sebentar, mama akan ambil kotak P3K." Ketika Ayunda ingin bergerak pergi, tapi saat ingin pergi, langkah Ayunda dicegat oleh Randy.“Kenapa kau menghalangiku? Kau tak lihat putraku kesakitan?” Ayunda berkat dengan ketus saat dirinya tak dibiarkan mengetahui masalah putranya sendiri. "Diamlah!" potong Randy. "Anakmu baik-baik saja."'Benarkah keadaannya baik? lalu kenapa dia menan
Beberapa orang satpam menarik Selena dengan paksa keluar dari gedung rumah sakit. Dia menghela nafas berat, kemudian berbalik dan mendapati sosok Raffaele berdiri di depannya "Kenapa lama sekali?" ujarnya berkata dengan kesal. "Pergilah, kau tak usah ikut campur masalah ini." Kata-kata Selena agaknya membuat Raffaele tersinggung. "Kau bilang ini bukan urusanku? Huh! Kau saja yang terlalu membela Dharma, tapi dirimu bahkan tak di hargai..." "Dharma bukan orang seperti itu..." tegas Selena dengan wajah dingin. "Cukup!" bentak Raffaele setelah beberapa saat, "Apalagi yang pertahankan darinya? Uang? Pangkat? Jabatan?" Raffaelle mendengus. "Bukankah semuanya sudah lenyap? Tim auditor, sudah melepas jabatannya bukan? Pria itu sudah bangkrut, tahukah kau bahwa selama ini Dharma telah memberi nafkahmu dengan uang hasil penggelapan dana?" Mengatakan itu Raffaele menatap Selena dengan mata merah. Keadaan
Selena sadar setelah merasakan hembusan angin dari jendela yang kebetulan terbuka lebar. Pandangannya mengarah keluar, melihat bangunan mewah dari tempat terbaring. "Di mana ini? Kenapa aku bisa melihat pemandangan kota dari atas?" Wanita itu melihat ke sekitarnya untuk mengingat hal apa yang terjadi padanya barusan sambil berusaha duduk. "Aduh, kenapa tubuhku rasanya nyeri dan sakit sekali?"Meski lama berpikir, tapi Selena tidak bisa mengingatnya. Dia juga baru sadar, bahwa sebagian tubuhnya kini tertutupi selimut. Tiba-tiba dia ingat dengan ponselnya, matanya mencari benda itu dan berhenti ketika melihat tas miliknya di atas nakas. "Itu tasku!"Tetapi, tanpa diduga dua kakinya terasa kebas saat ingin mengambil benda sebesar buku tulis berbahan kulit itu disana. Selena menggigit bibirnya, tubuhnya sangat gemetar karena cemas. "Apakah kemarin Raffaele…"Selena menggeleng, lalu menarik selimut tadi dan kembali menutup kepalanya rapat-rapat. Dan
"Itu tak ada hubungannya denganku, bibi selesaikan saja sendiri." Aldi lalu melenggang pergi dari sana berbicara lagi."Pamanmu sekarang bangkrut, seluruh saldo rekeningnya terkuras habis secara mendadak..."Langkah Aldi terpaksa berhenti demi menanggapinya, "Itu sudah pasti karena dia membagikannya pada wanita yang dikencaninya..." "Bibi tahu itu, tapi pada dasarnya pamanmu punya uang yang banyak, dan kali ini dia benar-benar di jebak seseorang. Dan sekarang, ada banyak karyawan yang menuntut gaji mereka, bibi tidak tahu cara mengatasinya, sedangkan pamanmu sudah diberhentikan oleh dewan direksi." Wanita itu menjelaskan dengan nada sayu.Aldi menarik nafasnya, bahkan tanpa berbalik sedikitpun dia berkata. "Biarkan paman merasakan akibat perbuatannya, jika tak ada hal lain, aku pergi. Pekerjaanku masih banyak." "Kenapa kamu begitu egois, Aldi?"Wanita usia 40 puluhan itu akhirnya pergi setelah kalah bertengkar mulut dengan