"Para Dewi dari atas langit mengambil patung itu!" seru Ruhcinta. Gadis ini lalu cepat dekati Jin Patilandak. Sambil memegang bahu Jin Patilandak dia berkata.
"Hai kerabatku, patung itu tentu sangat besar artinya bagimu”
"Patung itu sama dengan nyawaku.” kata Jin Patilandak. "Mengapa Para Dewi mengambilnya! Mereka mencuri patungku!"
"Aku yakin, Para Dewi tidak mencuri patung itu Hai Jin Patilandak." membujuk Ruhcinta. "Jika mereka melakukan sesuatu pasti ada sebabnya. Pasti ada hikmah kasih sayang dibalik kejadian ini”
Jin Patilandak tiba-tiba menggerung lagi lalu melompat tegak. "Aku tidak percaya! Para Dewi itu selalu menjatuhkan tangan jahat terhadapku! Karena perbuatan mereka, ayahku lenyap tak tentu rimbanya! Ibuku tak diketahui di mana beradanya. Kini satu-satunya benda yang sangat kusayangi mereka ambil! Terkutuk! Jahat!" Saking marahnya Jin Patilandak hantamkan tangan kanannya ke pecahan batu besar yang ada di dekatnya. Batu itu
"Kita masuk sama-sama," kata Ruhcinta pula.Maka kedua orang itu pun masuk ke dalam. Semula mereka menyangka keadaan dalam goa itu gelap gulita. Ternyata ada cahaya terang di sebelah depan. Berjalan sejauh hampir lima puluh langkah, Jin Patilandak keluarkan seruan tertahan dan hentikan langkahnya."Ada apa.?" tanya Ruhcinta.Jin Patilandak memberi isyarat."Bicara perlahan... Lihat ke depan sana." Jin Patilandak miringkan tubuh sengaja merapat ke dinding kanan goa agar Ruhcinta dapat melihat jelas ke ujung goa.Sewaktu si gadis memandang ke depan, dia cepat tekap mulut menahan seruan yang hampir keluar dari tenggorokannya. Di depan sana, di ujung goa tampak tegak patung perempuan cantik yang sebelumnya ada di bukit dingin. Tak jauh dari patung ada sebuah obor yang nyala apinya mulai mengecil. Keadaan di dalam goa sejuk sekali dan ada bau harum memenuhi udara."Aku seperti pernah mencium bau harum ini sebelumnya.” bisik Ruhcinta.
"Patung batu, hanya sebuah benda mati menjadi bahan kekhawatiran ketakutan! Sungguh bodoh sekali Para Dewi di Negeri Atas Langit itu!" kata Jin Patilandak pula. "Aku menduga, salah satu dari Para Dewi yang mengambil patung ini adalah kau sendiri!""Patung itu bukan patung biasa Hai Jin Patilandak. Kau mengetahui sendiri. Mana ada patung biasa pandai berkata-kata. Mana ada patung batu bisa mengeluarkan air mata. Mana mungkin patung biasa mengucurkan darah ketika lehernya ditebas. Noda darah itu masih ada pada tubuhmu”Jin Patilandak pandangi dada dan kedua tangannya. Memang darah yang mengucur secara aneh dari kutungan leher patung perempuan itu masih melekat di tubuh Jin Patilandak."Aneh, mengapa kau tahu semua kejadian itu?" tanya Jin Patilandak."Tidak aneh, karena sejak patung itu berada di bukit batu dingin aku berada tidak jauh dari sana”"Apa kepentinganmu Hai Dewi Awan Putih?""Sejak lama antara kami bangsa Dewi terdapat
"Kalau begitu baiklah. Patung itu adalah tubuh kasar ibu kandung yang melahirkanmu. Ayahmu yang bernama Pahambalang membawa jenazah ibumu ke bukit batu dingin dan meninggalkannya di sana. Para Dewi khawatir satu musibah besar akan menimpa mereka jika jazad ibumu dibiarkan dalam keadaan seperti itu. Maka mereka menurunkan hawa dingin luar biasa hingga sosok ibumu membeku menjadi patung batu. Sosoknya memang berbentuk patung batu. Tapi ketahuilah sesungguhnya dia masih dalam keadaan hidup karena dia mendengar dan punya perasaan. Walau mungkin secara akal sehat kalian tidak bisa menerima kenyataan ini”Sekujur tubuh Jin Patilandak bergetar. "Tidak!" katanya dengan suara serak. "Aku bisa menerima kenyataan ini. Suara batinku sebelumnya memang sudah menduga begitu” Jin Patilandak memandang ke arah patung. Air mata meluncur ke pipinya yang penuh dengan duri-duri panjang berwarna coklat. "Ibu” Suara Jin Patilandak tercekat. Pemuda malang ini lalu jatuhkan dir
Suasana gelap dan sunyi mencekam. Saking sepinya suara tiupan angin terdengar jelas. Bayu memandang berkeliling lalu hendak melompat turun. Bintang cepat mencekal leher baju anak ini."Jangan bertindak gegabah! Pakai turun segala! Aku merasa bahaya berada di sekitar kita!""Tapi aku tidak melihat apa pun kecuali hitam gelap. Telingaku tidak mendengar suara apa pun! Maithatarun, apa benar ini kawasan yang disebut Pabukit Tanpa Mentari? Jangan-jangan kita tersesat ke tempat yang keliru!""Kita tidak keliru. Aku sudah pernah datang ketempat ini sebelumnya”"Jika ada undangan yang disebut makan-makan, apa pun namanya pasti bau makanan sudah sampai ke hidungku. Mungkin juga ada penyambutan yang meriah. Bukankah kita tamu-tamu agung yang perlu dihormati?" Bayu kembali berucap."Kita adalah tamu-tamu yang hendak dipesiangi oleh kaki tangan Jin Muka Seribu!" kata Bintang.Maithatarun hentikan kudanya di satu tempat. Dari balik pakaiannya dia m
Bayu berucap. "Kita di sini saja. Jangan buru-buru ke sana. Biar mereka membungkuk sampai berulang kali. Sampai kita puas melihat! Hik... hik!""Dasar gendeng! Orang mengincar nyawa kita! Kau masih bicara ngawur!" maki Ksatria Pengembara. "Kalau tidak untuk menyelamatkan kawan kita Arya itu, jangan harap aku mau-mauan ke sini!""Lagakmu! Tadi kau sudah keluar iler melihat punggung dan dada serta paha putih!" menyahuti Bayu.Jengkel Bintang sentil kuping kiri Bayu hingga meringis kesakitan dan mau membalas."Jangan bertengkar!" kata Maithatarun menengahi.Lalu dia memberi isyarat. "Kita turun. Ingat semua yang sudah diatur. Kalau selamat kita harus selamat semua. Kalau ada yang celaka, yang lain harus menyabung nyawa untuk menolong” Lalu Maithatarun melompat turun. Karena dia telah mengerahkan tenaga dalam maka sewaktu kakinya menyentuh tanah sama sekali tidak terdengar suara atau pun getaran."Aku tidak percaya kalau belasan gadis cant
Bayu dan Bintang delikkan mata. Tapi ketika para gadis memandang padanya, kedua orang ini langsung kuyu kembali. Tiba-tiba terdengar suara seperti dua piring kaleng diadu satu dengan lainnya. Lalu muncul sebuah gerobak terbuat dari besi. Seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam yang mukanya bopeng, berambut panjang sepinggang dan bermata merah mendorong kereta itu. Setiap dia menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya besar-besar. Pada lantai gerobak ada setumpuk kayu bakar menyala. Lalu pada palang besi yang melintang di atas gerobak, hampir tak dapat dipercaya dan sungguh mengerikan terikat sesosok tubuh manusia dilumuri minyak dan hanya mengenakan sehelai cawat kecil. Orang itu ternyata mau dijadikan kambing guling!Jarak antara sosok orang itu dengan api kayu memang cukup jauh tapi hawanya tetap saja panas bukan kepalang. Sosok tubuh yang malang itu kelihatan merah hampir melepuh. Tidak bergerak dan juga tidak bersuara. Mungkin sekali sudah tidak bernyawa lagi! Dan oran
Di atas meja, begitu membuat meja hancur berantakan Maithatarun langsung melompat ke arah juru masak muka bopeng. Kaki kanannya menderu ke kepala tukang jagal itu. Tapi dengan cepat si muka bopeng jatuhkan diri, berguling di tanah. Tubuhnya secara aneh berubah hijau pekat. Tangan kanannya memukul. Selarik sinar hijau pekat berkiblat. Bau amis menebar!"Pukulan Kelabang Racun Jin” teriak Maithatarun mengenali pukulan itu. "Jadi kau adalah Jin Kelabang Dari Bukit Racun!" Maithatarun cepat menyingkir selamatkan diri.Si muka bopeng bergelak. Saat itu dia sudah tegak berdiri dan berkata dengan suara keras. "Sayang kau mengenali diriku di saat ajal sudah di depan mata!" Orang ini kembali hantamkan tangan kanannya. Maithatarun gembungkan rahang. Tangan kanannya menggempur. Lima larik sinar hitam menderu dahsyat."Kutuk Api Dari Langit!" Kini si muka bopeng yang berjuluk Jin Kelabang Dari Bukit Racun itu yang berteriak kaget begitu mengenali pukulan yang dilepask
Maithatarun menyeringai. "Bagus, aku akan panggil Jin Muka Seribu untuk menolongmu! Sebelum dia datang biar aku menolong membuat tubuhmu jadi sejuk dingin” Maithatarun ambil kaleng minyak dari tangan Bintang lalu guyurkan sampai habis. Sosok Jin Kelabang Hijau kepulkan asap menebar bau menggidikkan. Di bawahnya kayu api pemanggang berkobar lebih besar.Bayu melompat ke hadapan gadis-gadis itu. "Waktu sahabatku itu kalian perlakukan dengan keji, semua kalian tersenyum tertawa! Sekarang mengapa kalian palingkan muka memperlihatkan rasa ngeri! Satu-satu kalian akan kami panggang seperti si muka bopeng itu! Kau duluan!" Bayu menuding ke arah gadis yang tadi bertindak sebagai juru bicara. Gadis ini langsung pucat wajahnya. Dia segera jatuhkan diri. Kawan-kawannya mengikuti."Tamu agung! Jangan salahkan kami! Kami hanya orang suruhan!""Peduli amat! Mengapa mau disuruh!" kata Bayu seraya dongakkan kepala dan rangkapkan tangan di depan dada sementara dua kaki teg