Ternyata Zeus membawa Ruhcinta ke lereng bukit dimana terletak sumur melintang. Bagaimanapun cerdiknya awan putih itu namun tak mungkin baginya untuk memberi tahu bahwa Dewi Awan Putih ada di dalam goa itu. Awan itu hanya hinggap di lereng batu yang terdekat sambil sesekali keluarkan suara halus. Karena terlindung oleh satu batu besar Ruhcinta tidak dapat melihat mulut goa. Selagi dia berpikir-pikir coba mengertikan petunjuk apa yang berusaha diberikan oleh awan putih itu, tiba-tiba di bawah sana dilihatnya Bintang berlari mendaki lereng bukit berbatu-batu. Saking gembiranya gadis ini hendak berseru memanggil sang pendekar. Namun maksudnya dibatalkan ketika di salah satu lamping bukit sebelah barat dia melihat satu sosok hitam mendekam memperhatikan. Ketika dia memandang ke jurusan itu, orang di balik batu segera menyelinap menghilang.
"Pasti itu orang yang mengikutiku sejak beberapa hari ini...” kata Ruhcinta dalam hati. Setelah berpikir sejenak gadis ini akhirnya menu
Bintang geleng-geleng kepala lalu tertawa. Dalam hati dia membatin. ”Mungkin gadis ini cemburu kalau aku menyentuh Dewi Awan Putih.” Memikir begitu maka Bintang berkata. ”Ruhcinta, hanya ada satu cara untuk membebaskan Dewi Awan Putih dari sirapan Ilmu Menjirat Urat. Yaitu menotok uratnya yang kelihatan biru itu.”Paras Ruhcinta mendadak tambah merah. Gadis ini palingkan mukanya ke jurusan lain.“Walah, apalagi yang salah ini. ?” pikir Bintang. Begitu dia ingat meledak tawanya.”Mengapa kau tertawa?”tanya Ruhcinta heran."Aku melihat wajahmu merah sampai ke telinga. Aku tahu sebabnya. Kau mungkin menganggap aku kurang ajar. Bukankah totok di negeri ini berarti payudara perempuan? Ha... ha... ha.”"Kau! Kalau sudah tahu mengapa masih menyebut?!” tanya Ruhcinta merengut. Tapi mulutnya mengembang, bibirnya bergetar lalu tawanya menyembur tak tertahankan lagi. Karena malu gadis ini akhirnya tu
SEKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Ruhcinta dan Dewi Awan Putih. Begitu nenek Si Pembedol Usus dan Jin Sinting berkelebat ke hadapan mereka Ruhcinta segera menyongsong. Dengan suara lembut dia menegur. ”Sepasang kakek dan nenek, kami tahu kalian adalah orang baik-baik. Di dalam hati kalian pasti ada apa yang dinamakan kasih sayang. Lalu mengapa tega hendak menyerang kami? Kalau hanya karena alasan kalian adalah kaki tangan Jin Muka Seribu dan mengharapkan imbal jasa berupa harta atau kedudukan, ketahuilah kalian telah tertipu. Imbalan kasih sayang tidak sebagus dan seindah imbalan kejahatan. Bukankah lebih baik bagi kalian meninggalkan tempat ini, meninggalkan Istana Surga Dunia dan Jin Muka Seribu. Berbuat baik di jalan yang penuh kasih antara sesama...?"Nenek berkumis halus pandangi Ruhcinta sesaat, lalu sambil menuding dengan telunjuk tangan kanannya dia tertawa cekikikan. ”Aku yang tua hendak diberi pelajaran oleh seekor cecunguk hijau! Hik... hik...
"Gadis setan alas! Hari ini biar aku mencabut pantangan membunuh perempuan asal kau bisa kuhabisi!” teriak Jin Muka Seribu marah besar melihat apa yang terjadi dengan Si Jin Sinting. Sampai-sampai dia punya niat menyalahi larangan. Manusia berwajah empat yang saat itu menampilkan muka-muka raksasa angkat dua tangannya. Yang satu siap melepas pukulan Jin Hijau Penjungkir Roh satunya lagi hendak menghantamkan pukulan Tangan Jin Tanpa Suara.Ilmu kesaktian bernama Jin Hijau Penjungkir Roh itu merupakan satu sinar hijau berbentuk segi tiga yang bisa membuat sasaran menjadi leleh lunak seperti lumpur. Aslinya ilmu yang dirampasnya dari Jin Lumpur Hijau itu melesat keluar dari sepasang mata. Namun belakangan Jin Muka Seribu mampu mengeluarkan dari tangan kiri atau kanan hingga kehebatannya menjadi berlipat ganda. Selain itu pukulan Tangan Jin Tanpa Suara yang dirampas Jin Muka Seribu dari Jin Tangan Seribu bisa membuat sosok Ruhcinta tersedot sebelum dihancur luluhkan!
Begitu bangkit dia hanya tinggal setengah langkah dari hadapan Pahidungbesar. Kakek berhidung besar itu menggertak beringas. Kaki kanannya diangkat untuk menendang kepala Bintang. Justru ini adalah satu kesalahan besar. Dalam keadaan semakin lemah seperti itu dan masih mendukung kawannya di atas bahu, dia kehilangan keseimbangan. Bukan saja tendangannya tidak mengenai sasaran tapi ketika Bintang keluarkan jurus Tendangan tanpa bayangannya, Tendangan Dewa Menjungkir Langit, Pahidungbesar tak mampu lagi selamatkan diri. Pasulingmaut yang tahu bahaya serta merta melompat cari selamat dan hinggap di atas sebuah batu besar dengan mulut menggembung keluarkan suara menggumam. Matanya melotot memperhatikan apa yang terjadi dengan temannya.Saat itu Bintang berhasil menangkap pinggang Pahidungbesar. Ketika dia siap untuk menjotos si kakek di arah hidungnya yang besar tiba-tiba matanya sempat melihat bahaya besar mengancam Dewi Awan Putih. Dua tangan aneh Si Pembedol Usus melayang di u
"Lalu mengapa dia selalu mengikutiku?”"Mungkin itu satu hal yang harus kau selidiki. Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu.”Berubahlah paras Ruhcinta mendengar ucapan Bintang. Suaranya bergetar ketika berkata. ”Kau mungkin benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia lenyap tadi.”"Jangan, jika dia punya kepentingan pasti dia yang akan mencarimu. Lagi pula urusan di tempat ini belum selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu saja"Ruhcinta tertegun karena tidak menyangka ucapan Itu akan keluar dari mulut pemuda yang selama ini diam-diam selalu dikenangnya. Ketika Bintang berucap begitu, Dewi Awan Putih sampai pula di tempat itu.Gadis bermata biru ini seperti Ruhcinta juga jadi tertegun mendengar kata-kata Bintang itu. Namun dasar perasaan mereka saling berbeda. Kalau Ruhcinta tertegun saking gembiranya maka Dewi Awan Putih tertegun karena tiba-t
"Kalau kau sudah tahu dan ingin membunuhku, apakah kau mau melakukannya sekarang?!” Jin Obat Seribu bertanya sambil melirik pada Ruhcinta lalu tersenyum dan kedipkan matanya. Antara Ruhcinta dan Jin Obat Seribu memang sudah saling mengenal dan kakek gendut ini pernah berhutang budi terhadap si gadis.Mendengar ucapan Jin Obat Seribu, Si Pembedol Usus hanya menggerutu panjang pendek."Kalau kau memang masih butuh dua tanganmu itu, silakan ambil saja!”kata Arya ikut bicara.”Pemuda sialan! Kau juga akan kubunuh nanti! Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak bisa dipasangkan lagi ke tubuhku! Jahanam!""Bisa atau tidak bisa baiknya diambil saja Nek. Di buat sop dan disantap kurasa masih cukup enak!”kata Bayu pula membuat si nenek tambah meluap amarahnya tapi tak berani berbuat apa karena jerih pada Jin Obat Seribu. Dia melirik pada Jin Muka Seribu, lalu tanpa banyak cerita lagi segera tinggalkan tempat itu.Jin Muka Seribu sendiri m
Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya setengah memaki. Kakek ini lalu menatap kehalaman luas di depan rumah lonceng. Seperti menghitung-hitung dia berucap."Satu... dua... sembilan... empat belas... ah! Sudah empat belas orang sakti menemui kematian. Sudah tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka membekal benda yang kucari. Kalau sampai dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku! Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!" Caping di atas kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng gelisah berulang kali.Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang halaman rumah lonceng, tiga sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping. Mereka bukan lain adalah Bintang, Bayu dan Arya."Keterangan s
"Hampir delapan puluh tahun!"Pateleng tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan dia memiliki benda itu!""Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata Bayu yang mendekam di atas pohon bersama Bintang dan Arya."Hati Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas atap terdengar suara Pateleng bertanya."Aku sudah siap dari tadi!" jawab Pakerashati alias Jin Hati Baja."Bagus!" Pateleng tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas lonceng! Pada saat lonceng berputar dan bendera kuning berada di bagian paling atas, kau harus melompat ke atas lonceng. Kau harus bertahan sampai bendera kuning mencapai bagian atas lonceng sebanya