"Lalu mengapa dia selalu mengikutiku?”
"Mungkin itu satu hal yang harus kau selidiki. Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan masalah yang tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu.”
Berubahlah paras Ruhcinta mendengar ucapan Bintang. Suaranya bergetar ketika berkata. ”Kau mungkin benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia lenyap tadi.”
"Jangan, jika dia punya kepentingan pasti dia yang akan mencarimu. Lagi pula urusan di tempat ini belum selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu saja"
Ruhcinta tertegun karena tidak menyangka ucapan Itu akan keluar dari mulut pemuda yang selama ini diam-diam selalu dikenangnya. Ketika Bintang berucap begitu, Dewi Awan Putih sampai pula di tempat itu.
Gadis bermata biru ini seperti Ruhcinta juga jadi tertegun mendengar kata-kata Bintang itu. Namun dasar perasaan mereka saling berbeda. Kalau Ruhcinta tertegun saking gembiranya maka Dewi Awan Putih tertegun karena tiba-t
"Kalau kau sudah tahu dan ingin membunuhku, apakah kau mau melakukannya sekarang?!” Jin Obat Seribu bertanya sambil melirik pada Ruhcinta lalu tersenyum dan kedipkan matanya. Antara Ruhcinta dan Jin Obat Seribu memang sudah saling mengenal dan kakek gendut ini pernah berhutang budi terhadap si gadis.Mendengar ucapan Jin Obat Seribu, Si Pembedol Usus hanya menggerutu panjang pendek."Kalau kau memang masih butuh dua tanganmu itu, silakan ambil saja!”kata Arya ikut bicara.”Pemuda sialan! Kau juga akan kubunuh nanti! Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak bisa dipasangkan lagi ke tubuhku! Jahanam!""Bisa atau tidak bisa baiknya diambil saja Nek. Di buat sop dan disantap kurasa masih cukup enak!”kata Bayu pula membuat si nenek tambah meluap amarahnya tapi tak berani berbuat apa karena jerih pada Jin Obat Seribu. Dia melirik pada Jin Muka Seribu, lalu tanpa banyak cerita lagi segera tinggalkan tempat itu.Jin Muka Seribu sendiri m
Di puncak bangunan terpancang sebuah bendera dari jerami kering berwarna kuning, melambai-lambai kaku ditiup angin. Kakek teleng hisap dalam-dalam pipanya. "Sial! Lama-lama aku bisa mengantuk!" katanya setengah memaki. Kakek ini lalu menatap kehalaman luas di depan rumah lonceng. Seperti menghitung-hitung dia berucap."Satu... dua... sembilan... empat belas... ah! Sudah empat belas orang sakti menemui kematian. Sudah tujuh purnama berlalu. Tapi tidak satupun dari mereka membekal benda yang kucari. Kalau sampai dua purnama lagi benda itu tidak kudapatkan, celaka diriku! Siapa diantara dua makhluk itu yang akan membunuhku lebih dulu?!" Caping di atas kepala kakek teleng bergerak-gerak tanda si kakek menggeleng-geleng gelisah berulang kali.Sementara itu di atas satu pohon besar di seberang halaman rumah lonceng, tiga sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan dedaunan tanpa setahu kakek teleng bercaping. Mereka bukan lain adalah Bintang, Bayu dan Arya."Keterangan s
"Hampir delapan puluh tahun!"Pateleng tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Kejadian itu empat puluh tahun silam. Berarti ada kemungkinan dia memiliki benda itu!""Aneh! Mengapa kakek itu pakai menanya usia segala? Seperti sayembara saja!" kata Bayu yang mendekam di atas pohon bersama Bintang dan Arya."Hati Baja, apakah kau sudah siap?!" Dari atas atap terdengar suara Pateleng bertanya."Aku sudah siap dari tadi!" jawab Pakerashati alias Jin Hati Baja."Bagus!" Pateleng tertawa mengekeh. Dia sedot pipanya dalam-dalam lalu kepulkan asap merah. Tanpa menoleh ke belakang dia cabut bendera kuning yang menancap di atas atap. Capingnya kembali diletakkan di atas kepala. Bendera kuning itu diacungkannya ke atas. "Hati Baja! Bendera ini akan kutancapkan di ruas lonceng! Pada saat lonceng berputar dan bendera kuning berada di bagian paling atas, kau harus melompat ke atas lonceng. Kau harus bertahan sampai bendera kuning mencapai bagian atas lonceng sebanya
"Pateleng! Sebentar lagi kau harus menyerahkan kitab sakti itu padaku! Ternyata Lonceng Kematianmu yang digembar-gemborkan ini tidak ada apa-apanya! Ha... ha... ha!" Jin Hati Baja tertawa bergelak.Kakek bercaping di atas atap rumah ikut-ikutan tertawa lalu sedot pipanya dalam-dalam."Aku siap menyerahkan kitab sakti ini padamu Hai Hati Baja!" kata si kakek seraya tepuk capingnya, di bawah mana dia menyimpan kitab Kesaktian Menguasai Tujuh Jin. "Tapi harap kau sedikit bersabar, menunggu sampai bendera kuning mencapai putaran sebelah atas!"Jin Hati Baja menyeringai. Hatinya girang sekali karena bendera kuning hanya tinggal satu langkah didepannya. Begitu dia melompat sedikit dan membiarkan bendera itu lewat di bawahnya maka rampunglah putaran ketiga.Diam-diam tangan kanannya dialiri tenaga dalam sambil membatin. "Kalau kakek ini menipuku, akan kuhantam dengan pukulan Baja Panas Meleleh Langit."Bendera kuning sampai di depan kaki Jin Hati Baja. Di
Bintang, Bayu dan si Arya terkesiap kaget dan serasa terbang nyawa masing-masing ketika mendadak dari atas atap si kakek teleng berseru."Tiga makhluk yang sembunyi di atas pohon! Sllahkan turun ke tanah perlihatkan diri! Siang bolong begini sembunyikan diri sungguh tidak pantas!""Celaka! Kakek itu sudah tahu kita sembunyi disini!" kata Bayu."Bagaimana dia bisa tahu..." kata Arya masih tetap berpaling dan dengan suara serta tubuh gemetaran.Bintang memandang berkeliling. Daun-daun pohon besar dimana mereka bersembunyi sangat lebat. Sekalipun kakek itu tadi berada di halaman bawah sana sulit baginya untuk melihat Namun! Pandangan Bintang membentur pada sehelai daun yang bergoyang-goyang karena kejatuhan tetesan-tetesan air dari atas.Bintang mengurut pandangannya ke atas. Matanya sampai pada sosok Arya."Sial! kau yang membuat apes!" kata Bintang."Eh, mengapa aku yang kau salahkan?!" jawab Arya seraya pelototkan matanya yang jereng.
"Mohon maatmu orang tua! Sahabatku ini punya penyakit suka leleran kalau kaget!" menjelaskan Bintang."Apa itu leleran?!" tanya Pateleng tidak mengerti."Suka ences tak karuan!" menjawab Bayu.Pateleng geleng-gelengkan kepala. Dia menuding ke arah Bintang. "Kau tadi bilang ingin melihat sendiri Lonceng Kematianku! Hemmm. Berarti kalian hendak mencoba menjajal loncengku. Rupanya masih ada makhluk yang lebih tolol dari pada manusia berjuluk Hati Baja yang sudah mampus dan kini tinggal jerangkong itu!""Maaf Kek! Maksud kami bukan itu. !""Kalian masih belum cukup umur untuk menjajal Lonceng Kematian."Sementara itu Lonceng Kematian mulai bergerak perlahan dan akhirnya berhenti."Orang tua di atas atap," Bintang cepat menjawab. "Kami bertiga mana berani bertindak congkak menjajal kehebatan loncengmu! Terus terang kami sangat kagum. Itu saja! Kami tidak ada maksud untuk menjajalnya!"Kakek teleng cuma menyeringai sinis mendengar uc
Ketika lonceng mulai bergerak dan berputar ke kiri Bintang segera berlari-lari kecil ke arah berlawanan. Setiap kedua kakinya menjejak kayu roda, dia kerahkan tenaga dalam. Maksudnya hendak mencoba menjebol kayu lonceng untuk melihat apa yang tersembunyi di sebelah bawah. Luar biasanya ternyata kayu itu atos sekali!Selagi Bintang mencari akal apa yang harus dilakukannya tiba-tiba kakek teleng ketukkan pipanya kepinggiran lonceng seraya berseru."Satu!"“Dung...!”Lonceng bergetar lalu menggemuruh berputar lebih cepat. Di sebelah depannya Bintang melihat bendera kuning bergerak menuju ke arahnya lalu lewat di bawah kedua kakinya. Bintang melirik tajam pada si kakek, memandang ke bawah ke arah dua temannya lalu kembali memperhatikan lonceng yang berputar semakin cepat, membuat dia harus berlari lebih cepat pula. Tak lama kemudian bendera kuning muncul kembali untuk kedua kalinya. Lonceng berputar semakin kencang. Dengan Ilmu meringankan tubuh y
BERKAT ilmu kesaktian yang dimiliki Ruhrinjani si kakek tidak melihat ke empat orang itu. Padahal saat itu Bintang dan dua kawannya dan perempuan berpakaian putih hanya satu langkah saja di samping kirinya. Seandainya si kakek menggerakkan tangannya ke samping pasti dia akan menyentuh sosok Arya yang saat itu tegak tak bergerak di bawah pohon.Ilmu kesaktian yang dimiliki Ruhrinjani itu bernama Menutup Mata Memutus Pandang. Konon itu Adalah salah satu dari beberapa ilmu kesaktian yang diturunkan Para Dewi Dari Negeri Atas Langit kepada perempuan bernasib malang itu. Namun bagaimanapun hebatnya kesaktian tersebut celakanya kesaktian ini tidak membuat Ruhrinjani mampu melenyapkan Bintang, Bayu, Arya dan dirinya dari pandangan mata Pateleng. Sambil dekapkan capingnya di depan dada sepasang mata' kakek teleng itu perhatikan tanah yang basah tepat di antara kedua kaki Arya. Pateleng mendekat lalu berjongkok di depan tanah yang basah. Arya pejamkan mata. Unt