10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Jangan bohong! Semua bukti sudah jelas, dan kamu masih berusaha mengelak?” ucap pria paruh baya itu. “Atau kamu menuduh saya asal bicara!?” Irene menunduk, tidak berani menatap bosnya yang sedang berdiri di hadapan. Matanya berkaca-kaca karena dimarahi seperti itu. Setelah makan siang tadi, tiba-tiba Irene dipanggil oleh atasannya tersebut dan dituduh merugikan perusahaan karena menyetujui harga penjualan produk yang tidak standar. Padahal Irene tidak pernah melakukannya! Namun, bosnya menyodorkan bukti bahwa memang sistem di komputer Irene lah yang mengonfirmasi hal tersebut, membuat perusahaan menanggung kerugian hingga nyaris satu miliar. “Kamu dipecat!” Bos Irene berucap kembali dengan nada keras. “HRD akan bantu buat hitung nominal ganti rugi yang harus kamu bayar.” Sepasang mata Irene membeliak tidak percaya. Sontak ia mengangkat wajahnya dan menatap sang atasan. “T-tapi, Pak. Bukan saya–” Brak! “Cukup, Irene!” raung sang CEO semakin keras, kali ini sembari menghantam m
“Bajingan Jeremy! Gimana bisa dia menusukmu dari belakang seperti ini!?” Irene hanya menggeleng lemah. Setelah diusir seperti sampah, Irene memutuskan untuk pergi ke rumah sahabat dekatnya, Giana. Irene menceritakan semua yang terjadi padanya, kesialan bertubi-tubi yang terjadi dalam kurun waktu setengah hari saja. Hasilnya, kini gadis tomboy dengan rambut cepak dan tindikan anting di sana sini itu mengoceh penuh amarah. “Temen kantormu juga berengsek, Ir!” rutuk Giana. “Jangan-jangan kamu sengaja disingkirkan biar ada yang naik jabatan?” Irene menggeleng lagi, tatapannya tampak kosong. Ia tidak tahu dan otaknya sedang tidak bisa diajak berpikir. Kepalanya sedang dipenuhi dengan utang satu miliar, teganya Jeremy, dan asumsi bagaimana bisa Jeremy menjual tanah dan rumahnya, padahal aset-aset tersebut ada atas nama Irene. “Kita lapor polisi saja, Ir,” usul Giana. “Ini masuk ke pencurian dan penipuan! Bisa jadi juga pemalsuan surat.” Namun, Irene menolak. Ia tidak punya bukti. J
“Si—silakan, Pak Adam.” Suara Irene terdengar lemah menjawab Adam. Adam pun menghampiri Irene yang sudah duduk di salah satu sofa yang disediakan, kemudian meletakkan beberapa berkas di hadapan gadis muda itu seraya berkata, “Background checked. Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Deg! Jantung Irene seolah berhenti sesaat ketika Adam menyebut insiden yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Terlebih lagi, ada foto dan data Irene di berkas yang baru saja diletakkan di depannya. Spontan ia membantah, “Tapi saya tidak bersalah! Saya—” “Saya tahu,” potong Adam sambil mengangkat telapak tangan ke arah Irene, memintanya untuk tenang. “Saya hanya menyebut kalau Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Lagi, Adam melanjutkan, “Kalau tidak bersalah, berarti maksudnya Anda dijebak?” Dahi Irene mengkerut, heran karena sepertinya Adam sangat mengetahui apa yang terjadi padanya di perusahaan lama. “Bagaimana Anda tahu kalau saya bermasalah di perusahaan lama saya?” “Sepertinya
Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam. “Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.” “Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.” Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.” “Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat. “Tapi—” Adam segera mengangkat tangannya dengan
“Keturunan?! Sekarang?!” pekik Irene dalam hati saat memahami apa yang diinginkan Adam darinya malam ini. Ia hanya bisa memelototi punggung Adam yang semakin menjauh meninggalkannya begitu saja setelah mengatakan hal memalukan tadi. Belum reda paniknya, Nannia datang mendekati Irene dan berkata, “Mari, Non Irene. Saya sudah menyiapkan lulur mandi.” Irene menatap sang asisten rumah tangga dengan tatapan horor, seolah ia tengah berhadapan dengan zombie yang akan memakan otaknya. “Lulur?!” Nannia mengangguk. Ia tersenyum singkat sambil membantu Irene beranjak dari sofa tempatnya duduk. “Tidak hanya lulur. Ada juga ratus rempah dan treatment lainnya, untuk malam Nona dan Tuan.” Walau Irene kerap mempertanyakan semua kegunaan dari hal yang disebutkan Nannia, asistennya itu dengan sabar meladeni sambil membawa gadis itu kembali ke kamar untuk persiapan malam pertama. Bukannya Irene tidak tahu menahu soal persiapan menjadi pengantin, karena ia sendiri adalah mantan calon pengantin seb
Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai. Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya. Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.” Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior N
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L