Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai.
Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.
“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.
Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”
Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya.
Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.”
Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior Noora?” tanya Irene mengkonfirmasi ulang.
Tidak ada yang menyadari wajah Noora berubah kecut karena merasa seperti diejek dengan pertanyaan Irene tersebut.
“Tidak. Noora akan dipindah ke divisi baru. Itu saja. Semangat bekerja!” ujar staf personalia itu sambil berjalan menjauh keluar dari ruang sekretariat.
Secepat kilat Noora kembali memasang raut wajah ceria dan mulai menjelaskan semua yang perlu disampaikan. Karena sikap ramah Noora, Irene berharap banyak kalau pekerjaannya saat ini akan terasa lebih baik dibanding yang dulu.
“Setiap ada dokumen yang masuk, pisahkan sesuai departemennya. Nanti kamu pelajari direktur-direkturnya dan departemen apa yang mereka pegang. Oke?” Noora menjelaskan.
Irene mengangguk. Sedikit banyak pekerjaannya mirip seperti di perusahaan lama.
“Nah, kalau di sini, nanti gantian pesan menu makan siang buat direksi. Sebelum jam 11 tanyain masing-masing direktur, pada mau makan apa. Mereka santai aja kok orangnya.” Julia—salah satu rekan kerja Irene nanti, menambahkan.
Noora mengangguk, membenarkan. “Oh iya, bener. Aku sampai lupa soal tugas itu.”
Irene memang belum bertemu dengan direktur yang lain, tapi membayangkan Adam sebagai orang yang santai sepertinya agak sulit. Adam yang ia lihat kaku dan tak banyak senyum.
“Cuma, jangan terlalu santai sama Pak Adam. Dia kan CEO. Dia juga anak yang punya perusahaan.” Kali ini seorang pria paruh baya yang adalah kepala sekretaris–Galleon, menyelipkan pesan lain.
Lagi-lagi Noora mengangguk. “Sama Pak Adam agak susah sih. Tapi tenang aja, kalau ada apa-apa kamu bisa tanya Pak Galleon kok.”
“Yup! Semoga betah ya, Irene.” Galleon dan Julia tersenyum ramah. Irene pun merasa sangat diterima di sana.
***
Beberapa hari berlalu. Seperti yang diinginkan pihak personalia, Irene mampu mengerjakan semua bahkan sebelum 1 minggu berlalu. Dengan begitu, Noora sudah sepenuhnya pindah ke divisi baru.
Sesuai jadwal, sepulang kerja Irene harus bertemu lagi dengan Darren, dokter kandungan yang akan memantau proses kelahiran keturunan untuk Adam. Ia menemui Darren bersama Adam dan Leon di ruang makan.
“Mulai malam ini, minum obat ini 1 kali saat malam.” Darren menyodorkan satu plastik berisi 5 butir tablet obat.
Detik berikutnya ia menyodorkan obat lain sambil melanjutkan penjelasannya, “Kalau yang ini vitamin, pagi saja. Semua diminum sesudah makan, karena kamu terdeteksi punya sakit lambung. Minum dengan air putih ya, jangan teh apalagi kopi.”
“Oke, Dok.”
Irene mengambil obat-obatan itu sementara Darren beralih kepada Adam.
“Ternyata, Pak Adam juga dapat obat ya,” batin Irene sambil melirik ke arah meja di sebelahnya.
Obat yang harus dikonsumsi Adam bahkan lebih banyak dari miliknya.
“Buat apa obat ini?” tanya Adam sambil mengerutkan dahi.
Darren mendengus sambil tertawa kecil. Jawabnya, “Bikin sehat sperma, Dam. Santai.”
Adam mengangguk paham. Demikian Pun, Adam tetap menanyakan satu demi satu obat yang harus dikonsumsi.
Tiba-tiba Irene berpikir, “Apa dia lagi ngajarin aku ya, buat nanya segala hal?”
Kemudian gadis itu membolak-balik plastik obat di tangannya sambil membatin, “Aku bahkan nggak tahu ini obat apa. Yang ini tadi vitamin, ini buat apa?”
“Oke. Dua hari lagi, kalian bisa coba. Jadi, jaga diri jangan sampai sakit.” Darren menutup penjelasannya kemudian pamit dari ruang makan.
Merasa canggung karena tidak ada yang bisa dibahas dengan Adam, Irene bermaksud pamit, tetapi Adam mendahuluinya dengan membuka percakapan. Menahan Irene di sana.
“Bagaimana pekerjaanmu di kantor?” tanyanya. “Kudengar bagian personalia cukup puas karena kamu bisa beradaptasi sebelum tenggat waktu yang ditetapkan.”
Irene mengangguk. “Sedikit banyak sama seperti pekerjaan di perusahaan lama. Sulitnya cuma menggabungkan pesanan makan siang kalau direktur sudah jawab ‘terserah’,” keluh sang istri menuai kekehan singkat dari Adam.
“Apalagi kalau Ibu Lily sudah memutuskan untuk memasak di kantor,” tambah Irene lagi.
“Well, kalau mereka membuatmu susah, kau bisa bilang kalau aku ingin makan chinese food. Mereka tak akan berani pesan macam-macam.”
Ucapan Adam membuat Irene langsung menoleh dengan wajah super ceria. Ia tidak menyangka kalau seorang Adam yang dingin dan tidak peduli, rela menyerahkan namanya untuk dipakai sebagai tameng soal makan siang.
Seolah dinding di antara mereka runtuh, Irene merasa nyaman dan langsung bertanya banyak hal soal menu makanan yang bisa dan tidak bisa dikonsumsi oleh Adam.
Adam sebenarnya tidak terlalu peduli dengan hal ini, tetapi menurut Leon ia harus membangun hubungan sebelum melakukan malam pertama dengan seorang wanita. Jadi, disinilah ia memutar otak bagaimana membuat Irene nyaman di dekatnya.
“Demi tujuanku merebut Allaster Corporation,” batin Adam.
“Kalau begitu aku pamit ke kamar. Selamat malam, Pak Adam, Pak Leon.”
Adam mengangguk sambil berdehem pelan. Ia mengamati Irene yang terlihat ceria dibanding saat ia masuk ke ruang makan tadi.
“Apa sebegitu susahnya mengurus makanan direksi? Apa sebaiknya kami mengurus sendiri makanan kami?” tanya Adam meminta pendapat Leon.
Leon yang sudah pernah beberapa kali berada di kantor, memperhatikan hal ini sebagai pekerjaan yang memang menyulitkan para sekretaris.
“Saya rasa, untuk Mrs. Lily agak sulit menahan beliau agar tidak memasak di kantor. Ia selalu menganggap Anda dan semua direktur seperti anak sendiri. Menyajikan makanan ala rumah baginya pasti sesuatu yang sangat berharga,” komentar Leon.
Namun, Adam mendengus geli. “Berharga? Kurasa dia hanya mau mengambil simpatiku agar tertarik dengan putrinya. Aku tidak percaya dengan hal seperti itu.”
Tanpa menunggu, Adam segera beranjak dari kursi makan menuju kamarnya sendiri.
***
Sampai hari kedelapan, Adam rutin melakukan pendekatan ringan pada Irene untuk membuat wanita itu nyaman. Dan hari ini, karena rapat yang cukup panjang membuat Adam terlambat pulang dari kantor.
Sementara itu, Irene yang pulang tepat waktu, sudah dipoles ulang oleh Nannia untuk bersiap melakukan ritual malam pertamanya dengan Adam.
Gadis itu sudah menunggu di kamar Adam. Duduk mematung di sisi tempat tidur, bersiap diterkam kapan saja oleh sang empunya kamar.
Cklak!
Jantung Irene seolah jatuh ke perut saat mendengar pintu kamar dibuka. Adam yang baru saja masuk ke kamarnya pun tertegun melihat Irene di sana.
“Ah … uhm. Pak Leon bilang saya harus menunggu di sini, ka–kalau-kalau Pak Adam mau—”
“Mh-hm,” potong Adam yang tak mau mendengar penjelasan Irene.
Pria itu sadar kalau semua rencana ini adalah keinginannya, tapi ia tidak menyangka kalau berdua saja dengan seorang wanita bisa membuat tubuhnya bereaksi seperti pria normal.
“Tak keberatan kalau aku tidak mandi dulu?” tanya Adam sambil melonggarkan dasinya.
Irene mengangguk sambil mencengkram erat jubah tidurnya. Selengkap apapun Nannia membuatnya siap, hati Irene belum siap dengan apa yang akan ia alami beberapa saat kemudian ini.
Adam mendekatinya dan mulai mencumbu leher Irene. Baru saja lututnya naik ke atas tempat tidur, pintu kamar terbuka lebar.
Suara terkejut yang seperti dibuat-buat terdengar mengejek, “Oh! Apa aku mengganggu malammu?”
Hai! Akhirnya sudah bisa update sesuai keputusan EIH nih. Nantikan cerita selanjutnya ya. ^_^
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L
Dengan banyaknya hal yang diserap Irene malam ini, ia akhirnya kehabisan energi dan terlelap tanpa ia sadari. Ditambah ketegangan malam pertama yang sekali lagi hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena pada akhirnya tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adam. Begitupun, ia cukup bersyukur, karena kedatangan Aldrich membuat Adam tidak jadi melahapnya malam ini. Irene masih belum siap menerima pria tersebut. “Ah … sudah tidur ternyata,” gumam Adam yang akhirnya selesai bicara dengan Aldrich. Dan ketika kembali ke kamar, ia malah mendapati Irene terlelap dengan posisi membentang di atas tempat tidurnya. “Kenapa juga tidurnya miring begini. Apa dia tipe yang tidurnya nggak bisa diem ya?” Adam mencoba membetulkan posisi tidur Irene dan menyelimuti gadis itu. Ia menatap tempat tidurnya kemudian beralih ke sofa dan memutuskan, “Sebaiknya aku tidur di sofa. Besok aku minta Leon menjebol kamar sebelah.”
Wajah Irene terlihat panik, karena ia tidak menyangka kalau Aldrich akan langsung menembaknya dengan pernyataan seperti itu. "Wow! Sepertinya aku sudah harus menggunakan keahlian baruku sebagai artis!" keluhnya dalam hati. Dengan netra berkaca-kaca, Irene tergagap seolah terkejut dengan ucapan Aldrich. “Si—siapa yang bilang?” Sambil memamerkan cengiran kekanakan, Aldrich menjawab, “Kak Adam. Kalian benar menikah secara kontrak, kan?” Irene sadar kalau Aldrich hanya ingin memancing. Adik laki-laki dari suaminya itu seperti mengarahkan pikiran Irene bahwa Adam memberitahu Aldrich soal rahasia ini. Yang tidak diketahui Aldrich, semua informasi terkait hubungan Adam dengan keluarga, sudah diketahui oleh Irene. Berusaha keras menangis seperti orang patah hati, Irene kemudian berjongkok di tempatnya, membuat Aldrich menaikkan salah satu alisnya. Heran. Tak lama kemudian
“Omong kosong, Claire. Semua sudah berakhir. Tidak ada pentingnya mengungkit hal itu,” tegur Adam dengan mata menyipit.Namun, sepertinya Claire tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus membahas hubungan spesial yang pernah hadir di antara mereka.Artis cantik itu merengek, “Kau tahu, aku sakit hati saat Aldrich mengatakan kau sudah menikah. Katakan, apa dia lebih cantik dariku, Adam?”“Ha?! Menikah?!” bisik Julia dengan mata melotot, karena tak sengaja mendapat berita di luar perkiraan.Saat itulah Irene memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak mungkin membiarkan Julia mendengar pengakuan dari mulut Adam kalau pria itu benar-benar sudah menikah. Kalau sampai te
Tanpa disadari, langkah membawanya berhenti di depan pintu ruangan Adam. Dengan berat gadis itu mengetuk pintu sang CEO Bright Co.Ltd. Dua kali ketuk sebelum sang penguasa ruangan memberi izin masuk. “Bapak cari saya?” tanya Irene sambil memasuki ruangan Adam dan berjalan mendekati meja kerja sang atasan.Adam mengangguk sambil berdehem singkat. “Ada masalah dengan penerimaan dokumen?” tanyanya sambil menandatangani sisa dokumen yang menjadi tanggung jawabnya.Di ujung air mata yang hampir tumpah Irene mengangguk tanpa bisa menjelaskan apapun. Ia tidak tahu apakah ini juga perbuatan seseorang untuk menjebaknya lagi atau murni kesalahpahaman.Adam yang melihat raut panik dan terpukul di wajah Irene tiba-tiba merasakan amarah yang besar menyelimuti hatinya. Ia tidak berpikir bahwa perasaan ingin marah demi Irene karena perbuatan seseorang yang mencoreng nama gadis itu, bisa muncul dalam hatinya.“Hm, kurasa kurang tepat kalau bahas hasil pengamatan kasus dia di kantor lamanya sekarang.
“Yeah. Waktu kejadiannya terlalu tepat.” Derrick menjawab sambil menyunggingkan senyum geli, membayangkan masih ada yang bertindak kotor demi jabatan.Sementara Ferdian larut dalam ucapan Derrick, pria itu sudah beranjak. Lagi katanya, “Ayo, Adam minta kita ke ruangannya.”Ferdian mengangguk sambil beranjak dari kursi, mengikuti Derrick. Pria itu masih tak berkomentar karena tengah memikirkan ucapan Adam juga di ruang rapat tadi. Batinnya, “Kalau penilaianku soal Irene, tanpa masalah dokumen hilang kemarin, memang seperti yang disebut Adam. Anak itu kerjanya bagus.”Tengah larut dalam pertimbangannya sendiri, ia dikagetkan dengan ucapan Derrick, “Kurasa anak itu menyembunyikan sesuatu.” Derrick merujuk pada Adam.“Menyembunyikan sesuatu? Apa maksudmu, Rick? Siapa?” tanya Ferdian dengan dahi berkerut-kerut dan bibir yang mengerucut, berusaha mencari tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.Derrick mengedikkan bahunya. “Adam. Something like … mungkin Irene itu pacar rahasia?”Mengangga
Ha! Ha! Ha!“Gila! Jadi, tebakan Derrick hampir benar?!” pekik Ferdian yang sejenak lupa dengan kerugian 3 milyar tadi.Kedua temannya benar-benar tak berniat menahan diri saat tergelak, tertawa lepas begitu saja.Tidak pernah sedikitpun Adam melirik perempuan selain Claire dan sekarang malah mengaku kalau seorang gadis muda biasa dengan jabatan sekretaris adalah istrinya.Bukan sekedar pacar.Wajah Adam terlihat kesal saat menghentak napas, tetapi tak bisa dipungkiri hati kecilnya merasa ada luapan emosi positif saat menyebut Irene sebagai istrinya. Begitu pun, ia tidak berniat menunjukkan perasaannya secara gamblang.
Adam terdiam sesaat. Ia cukup khawatir melihat Irene panik karena harus mendatangi kantor lamanya sendirian. “Kau mau ditemani Regan?” tanya Adam memberi usulan. Namun, bayangan ia masuk dengan seorang bodyguard nampak terlalu berlebihan. Ia pun memutuskan untuk memberanikan diri menolak tawaran Adam. “Nggak apa-apa, Pak. Saya sendiri saja. Bapak nggak lama, kan?”Adam mengangguk. Ia sudah memberitahu rekan bisnisnya kalau saat ini ia tidak punya waktu banyak untuk membahas bisnis, tetapi mereka cukup memaksa dan mengatakan bahwa pertemuannya tidak akan melebihi dari 30 menit. “Tidak akan lama,” jawab Adam, meyakinkan Irene lagi. Irene pun menyanggupi tugas yang diberikan Adam saat ini padanya. Ia segera turun dari mobil, tak ingin menunda urusan sang atasan lebih lama lagi.Dengan berat hati, ia membiarkan mobil itu membawa Adam menjauh darinya. Walau hanya sebentar, Irene merasa seolah ia tidak mengenakan pakaian apapun. Seolah sedikit sentuhan saja bisa menghancurkan hidupnya.