“Keturunan?! Sekarang?!” pekik Irene dalam hati saat memahami apa yang diinginkan Adam darinya malam ini.
Ia hanya bisa memelototi punggung Adam yang semakin menjauh meninggalkannya begitu saja setelah mengatakan hal memalukan tadi. Belum reda paniknya, Nannia datang mendekati Irene dan berkata, “Mari, Non Irene. Saya sudah menyiapkan lulur mandi.” Irene menatap sang asisten rumah tangga dengan tatapan horor, seolah ia tengah berhadapan dengan zombie yang akan memakan otaknya. “Lulur?!” Nannia mengangguk. Ia tersenyum singkat sambil membantu Irene beranjak dari sofa tempatnya duduk. “Tidak hanya lulur. Ada juga ratus rempah dan treatment lainnya, untuk malam Nona dan Tuan.” Walau Irene kerap mempertanyakan semua kegunaan dari hal yang disebutkan Nannia, asistennya itu dengan sabar meladeni sambil membawa gadis itu kembali ke kamar untuk persiapan malam pertama. Bukannya Irene tidak tahu menahu soal persiapan menjadi pengantin, karena ia sendiri adalah mantan calon pengantin sebelum Jeremy merusak hubungan mereka. Hanya saja, ia berpikir kalau hubungannya dengan Adam tidak perlu se-spesial ini, sampai harus melakukan ritual seperti pernikahan sungguhan. Setelah berjam-jam Irene terkurung di kamar mandi, digosok lulur dengan penuh semangat oleh Nannia, akhirnya ia keluar dari sana dengan tubuh terasa ringan. Bahkan sekarang kamarnya menjadi sangat wangi. Seolah belum puas dengan semua treatment tadi, Nannia muncul lagi dengan gaun satin berwarna hitam mengkilat. “Baju apa itu?!” pekik Irene panik. Dengan wajah riang, sang ART berkata, “Ini gaun tidur Nona untuk malam ini. Mari saya bantu pakaikan.” Seketika Irene mengangakan mulutnya, tak percaya ia akan benar-benar mengenakan gaun malam seperti yang sering muncul di iklan media sosial. Tak punya tenaga untuk berdebat, Irene pun membiarkan ART itu melakukan apa yang harus ia kerjakan. Wajah Nannia terlihat puas saat mengamati betapa pas gaun itu membalut tubuh majikan perempuannya. “Tuan pasti akan terpesona. Anda cantik sekali, Nona Irene.” Irene ingin protes, tetapi ia ingat peringatan Leon bahwa pernikahan kontrak mereka tidak boleh diketahui staf lain. Hanya pihak laboratorium dan juga Leon saja yang tahu. “Mari, saya antar, Nona.” Dengan bersemangat Nannia membuka pintu kamar, menunggu Irene beranjak dari kursi. Dengan langkah gontai Irene mengekor di belakang sang ART. Untung saja gaun malam tadi dilengkapi dengan jubah yang agak tebal. Semakin jauh Irene dengan kamarnya, semakin panik ia rasa. Karena semakin dekat dirinya dengan kamar Adam yang entah ada di mana. Batinnya, “Apa benar malam ini aku akan merelakan diri pada pria yang baru kukenal hanya dalam hitungan hari? Apa bisa aku minta waktu untuk mengenalnya dulu?” Pikirannya sendiri malah membuat dirinya emosi. “Cih! Buat apa aku mengenalnya? Toh dia hanya butuh mesin pencetak bayi saja!” “Nona, sudah sampai.” Netra Irene mengerjap mendengar pemberitahuan sang ART. Ia tak sadar kalau mereka sudah berdiri di depan sebuah ruangan dengan dua pintu lebar. Seolah tahu ada yang datang, pintu tersebut terbuka dan wajah Adam muncul dengan raut yang menakutkan bagi Irene. “Sudah datang. Masuk!” perintah Adam sambil berbalik masuk kembali ke ruangannya. Nannia segera memberi isyarat sang majikan perempuannya itu untuk masuk mengikuti perintah Adam. Setelah menarik napas dalam-dalam, Irene melangkahkan kaki ke dalam ruangan. Ia terkejut ketika pintu tiba-tiba tertutup sendiri, membuatnya menoleh ke belakang. Saat itulah ia tersadar kalau dirinya tidak hanya sendirian dengan Adam. Leon terlihat berdiri di dekat pintu dan di sofa sudah ada seorang pria paruh baya dengan jas laboratorium. Pikiran negatif Irene benar-benar menakutinya kali ini, “Ha?! Apa kami akan melakukan malam pertama dengan disaksikan orang-orang ini?!” “Irene. Apa yang kau lakukan berdiri di sana?” tanya Adam yang sudah menempati sofa dua orang. Pria itu kemudian menepuk sisi kosong di sebelahnya sambil memberi perintah, “Duduk!” Seperti robot, Irene segera melakukan apa yang diinginkan Adam. Ia sudah tidak bisa berpikir rasional, karena tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya sebentar lagi. “Ini Darren. Dia dokter kandungan. Dia juga profesor.” Adam memperkenalkan pria berjas putih itu. Darren pun langsung menyapa dan berkata, “Saya perlu menanyakan beberapa hal. Mohon dijawab ya Nona Irene.” Gadis yang diajak bicara itu mengangguk menyanggupi. Ternyata Darren menanyakan berbagai hal terkait masa haid-nya. Sementara bertukar tanya jawab dengan Darren, Irene jadi tidak sadar kalau Adam tengah menatapnya dengan intens. Bahkan kening pria yang secara hukum sudah sah menjadi suaminya itu sampai berkerut-kerut heran. “Kenapa dia pakai gaun malam? Apa memang biasa tidur dengan gaun malam? Apa semua perempuan seperti itu?” batin Adam bertanya-tanya. Belum mendapat jawaban dari pertanyaan itu, Adam menyadari aroma wangi dari tubuh Irene. “Sabun kah?” pikirnya lagi mulai menebak-nebak. Kini netranya membulat, menebak apa yang menjadi alasan gadis itu datang mengenakan gaun malam dengan tubuh yang wangi. “Apa perempuan ini pikir dia ke sini untuk melakukannya denganku?” batin Adam terkejut. Karena pikiran itulah, wajah Adam tiba-tiba memanas. Mencoba mengalihkan pikirannya, Adam langsung menyentak, “Masih lama, Darren?” “Pertanyaanku sudah beres. Aku sedang mengkalkulasi masa suburnya. Sabar sedikit.” Darren menjawab tanpa mengangkat wajahnya dari dokumen yang tengah ia utak-atik. Irene yang mendengarkan percakapan barusan pun semakin menyadari betapa Adam hanya memperlakukannya sebagai media untuk mencapa tujuannya. “Apa juga yang aku harapkan? Dari awal juga sudah tahu. Tapi kenapa rasanya sedih ya,” keluh Irene dalam hati. Setelah beberapa saat, Darren akhirnya bersuara, “Nona Irene, 8 hari lagi Anda akan memasuki masa subur. Saya akan memberikan beberapa resep obat yang harus diminum 6 hari setelah hari ini.” Irene terdiam. Ada ketakutan bahwa obat yang akan ia konsumsi merusak tubuhnya. Bagaimanapun ia tetap punya hak untuk tubuhnya. “Bagaimana kalau obatnya merusak tubuh saya, Dok?” Darren terdiam sesaat. Bukan karena bimbang tetapi karena ia tidak tahu bagaimana memberitahu Irene bahwa dirinya adalah satu dari 10 orang jenius yang menciptakan obat sesuai dengan kondisi tubuh pasien. Jadi, ketakutan Irene sebenarnya adalah sesuatu yang tidak perlu. Alih-alih Darren yang menjawab, Adam berkata, “Kalau tubuhmu rusak, aku yang akan membunuh Darren. Kupastikan itu.” Mendapat jawaban seperti itu, Irene tak lagi membantah. Ia tidak tahu berapa persen kebenaran yang terkandung dalam kalimat mengerikan itu, tapi entah kenapa Irene mempercayainya 100%. Melihat Irene tenang, Darren melanjutkan penjelasannya. Dan setelah panjang lebar Darren bicara, pertemuan mereka pun selesai. Darren dan Leon segera meninggalkan ruang kamar Adam. “Kau bisa kembali ke kamarmu.” Irene mengangguk dengan terheran-heran. Ia keluar dari kamar Adam masih dengan wajah melongo. “Nggak jadi malam pertama,” batinnya memberitahu dirinya sendiri. Ingin senang, tapi kesal. Senang karena ia masih punya waktu 8 hari untuk tidak berurusan dengan Adam. Namun juga kesal, karena ia membuang banyak waktu untuk panik dan ketakutan soal malam pertama ini. Dalam hati Irene meraung, “Sia-sia kulitku sakit karena digosok Nannia!”Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai. Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya. Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.” Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior N
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L
Dengan banyaknya hal yang diserap Irene malam ini, ia akhirnya kehabisan energi dan terlelap tanpa ia sadari. Ditambah ketegangan malam pertama yang sekali lagi hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena pada akhirnya tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adam. Begitupun, ia cukup bersyukur, karena kedatangan Aldrich membuat Adam tidak jadi melahapnya malam ini. Irene masih belum siap menerima pria tersebut. “Ah … sudah tidur ternyata,” gumam Adam yang akhirnya selesai bicara dengan Aldrich. Dan ketika kembali ke kamar, ia malah mendapati Irene terlelap dengan posisi membentang di atas tempat tidurnya. “Kenapa juga tidurnya miring begini. Apa dia tipe yang tidurnya nggak bisa diem ya?” Adam mencoba membetulkan posisi tidur Irene dan menyelimuti gadis itu. Ia menatap tempat tidurnya kemudian beralih ke sofa dan memutuskan, “Sebaiknya aku tidur di sofa. Besok aku minta Leon menjebol kamar sebelah.”
Wajah Irene terlihat panik, karena ia tidak menyangka kalau Aldrich akan langsung menembaknya dengan pernyataan seperti itu. "Wow! Sepertinya aku sudah harus menggunakan keahlian baruku sebagai artis!" keluhnya dalam hati. Dengan netra berkaca-kaca, Irene tergagap seolah terkejut dengan ucapan Aldrich. “Si—siapa yang bilang?” Sambil memamerkan cengiran kekanakan, Aldrich menjawab, “Kak Adam. Kalian benar menikah secara kontrak, kan?” Irene sadar kalau Aldrich hanya ingin memancing. Adik laki-laki dari suaminya itu seperti mengarahkan pikiran Irene bahwa Adam memberitahu Aldrich soal rahasia ini. Yang tidak diketahui Aldrich, semua informasi terkait hubungan Adam dengan keluarga, sudah diketahui oleh Irene. Berusaha keras menangis seperti orang patah hati, Irene kemudian berjongkok di tempatnya, membuat Aldrich menaikkan salah satu alisnya. Heran. Tak lama kemudian
“Omong kosong, Claire. Semua sudah berakhir. Tidak ada pentingnya mengungkit hal itu,” tegur Adam dengan mata menyipit.Namun, sepertinya Claire tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus membahas hubungan spesial yang pernah hadir di antara mereka.Artis cantik itu merengek, “Kau tahu, aku sakit hati saat Aldrich mengatakan kau sudah menikah. Katakan, apa dia lebih cantik dariku, Adam?”“Ha?! Menikah?!” bisik Julia dengan mata melotot, karena tak sengaja mendapat berita di luar perkiraan.Saat itulah Irene memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak mungkin membiarkan Julia mendengar pengakuan dari mulut Adam kalau pria itu benar-benar sudah menikah. Kalau sampai te
Tanpa disadari, langkah membawanya berhenti di depan pintu ruangan Adam. Dengan berat gadis itu mengetuk pintu sang CEO Bright Co.Ltd. Dua kali ketuk sebelum sang penguasa ruangan memberi izin masuk. “Bapak cari saya?” tanya Irene sambil memasuki ruangan Adam dan berjalan mendekati meja kerja sang atasan.Adam mengangguk sambil berdehem singkat. “Ada masalah dengan penerimaan dokumen?” tanyanya sambil menandatangani sisa dokumen yang menjadi tanggung jawabnya.Di ujung air mata yang hampir tumpah Irene mengangguk tanpa bisa menjelaskan apapun. Ia tidak tahu apakah ini juga perbuatan seseorang untuk menjebaknya lagi atau murni kesalahpahaman.Adam yang melihat raut panik dan terpukul di wajah Irene tiba-tiba merasakan amarah yang besar menyelimuti hatinya. Ia tidak berpikir bahwa perasaan ingin marah demi Irene karena perbuatan seseorang yang mencoreng nama gadis itu, bisa muncul dalam hatinya.“Hm, kurasa kurang tepat kalau bahas hasil pengamatan kasus dia di kantor lamanya sekarang.
“Yeah. Waktu kejadiannya terlalu tepat.” Derrick menjawab sambil menyunggingkan senyum geli, membayangkan masih ada yang bertindak kotor demi jabatan.Sementara Ferdian larut dalam ucapan Derrick, pria itu sudah beranjak. Lagi katanya, “Ayo, Adam minta kita ke ruangannya.”Ferdian mengangguk sambil beranjak dari kursi, mengikuti Derrick. Pria itu masih tak berkomentar karena tengah memikirkan ucapan Adam juga di ruang rapat tadi. Batinnya, “Kalau penilaianku soal Irene, tanpa masalah dokumen hilang kemarin, memang seperti yang disebut Adam. Anak itu kerjanya bagus.”Tengah larut dalam pertimbangannya sendiri, ia dikagetkan dengan ucapan Derrick, “Kurasa anak itu menyembunyikan sesuatu.” Derrick merujuk pada Adam.“Menyembunyikan sesuatu? Apa maksudmu, Rick? Siapa?” tanya Ferdian dengan dahi berkerut-kerut dan bibir yang mengerucut, berusaha mencari tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.Derrick mengedikkan bahunya. “Adam. Something like … mungkin Irene itu pacar rahasia?”Mengangga
Ha! Ha! Ha!“Gila! Jadi, tebakan Derrick hampir benar?!” pekik Ferdian yang sejenak lupa dengan kerugian 3 milyar tadi.Kedua temannya benar-benar tak berniat menahan diri saat tergelak, tertawa lepas begitu saja.Tidak pernah sedikitpun Adam melirik perempuan selain Claire dan sekarang malah mengaku kalau seorang gadis muda biasa dengan jabatan sekretaris adalah istrinya.Bukan sekedar pacar.Wajah Adam terlihat kesal saat menghentak napas, tetapi tak bisa dipungkiri hati kecilnya merasa ada luapan emosi positif saat menyebut Irene sebagai istrinya. Begitu pun, ia tidak berniat menunjukkan perasaannya secara gamblang.