Share

Bab 4. Satu Atap

Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam. 

“Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. 

Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.”

“Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. 

Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.”

Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.”

“Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat.

“Tapi—”

Adam segera mengangkat tangannya dengan telapak mengarah pada Irene, memintanya berhenti merengek. 

”Saya tidak mencari istri. Saya hanya perlu kamu melahirkan putra untuk saya. Saya tidak ingin berlama-lama dalam pernikahan ini,” ungkap Adam dengan tatapan dingin.

Tak bisa membalas perkataan Adam, Irene menarik tubuhnya yang tanpa sadar semakin condong ke depan. 

Sambil mengurut keningnya seolah Irene menambahkan beban pikiran, Adam menekan tombol di bawah meja.

Detik berikutnya pintu ruangan terbuka. Leon masuk ke dalam, siap menerima perintah dari Adam. 

“Leon, tolong bawa Irene ke kamar yang sudah disiapkan. Beli semua yang dia butuhkan tanpa terkecuali.”

“Dimengerti Tuan Adam.” Leon membungkuk tenang dan menyanggupi permintaan Adam. 

Pria paruh baya tersebut segera menyapa Irene, “Mari, Nona. Saya antar ke kamar.”

Tak bisa lagi keluar dari perjanjian yang sudah ditandatangani, Irene pun hanya bisa menerima semua yang sudah digariskan. Ia kembali mengikuti Leon menuju ruangan yang akan menjadi kamar tidurnya sampai ia melahirkan seorang anak laki-laki untuk Adam.

“Silakan, Nona.” Leon membukakan pintu sebuah ruangan, mempersilakan Irene untuk masuk. 

Irene tercengang melihat ruang kamarnya yang luas. Ia tidak pernah berpikir kalau Adam akan memberikan ruangan yang bagus untuknya. “Ini kamar saya beneran, Pak Leon?”

Leon membungkuk sedikit, membenarkan ucapan Irene. Ia juga menambahkan, “Tolong kabari saya kebutuhan harian yang diperlukan. Saya akan meminta staf untuk mengurusnya. Termasuk jenis mobil yang Nona inginkan.”

“Mo–mobil?!” pekik Irene kaget. Ia tidak pernah mendapati orang membeli mobil seperti berbelanja di swalayan.

“Sesuai dengan perintah dari Tuan Adam, mobil sudah tersedia sebelum Nona bekerja. Termasuk supir dan asisten pribadi untuk di rumah.”

Pusing karena mendengar kalimat berlevel tinggi itu, Irene segera mengangkat telapak tangannya, meminta Leon berhenti sejenak. “Tu–tunggu dulu, Pak Leon. Untuk supir, saya nggak perlu. Dan lagi, bakal kelihatan aneh kalau staf baru memakai supir.”

Leon terlihat menimbang ucapan Irene. Ia kemudian mengangguk setuju. “Akan saya sertakan laporan ini pada Tuan Adam. Menurut saya ini beralasan, jadi saya akan turuti. Apa ada lagi yang mau ditanyakan, Nona Irene?”

Irene terdiam sesaat. Pikirannya masih berat mengingat besok ia akan menjadi istri seorang pria yang baru ditemuinya hari ini.

“Pak Leon, apa setelah menikah nanti saya berarti harus … seranjang dengan Pak Adam?” Gadis itu berusaha menghindari kata ‘bercinta’, tetapi hanya kalimat itu yang bisa digunakan untuk bertanya.

Leon tersenyum menenangkan, tetapi jawabannya jauh dari yang diharapkan Irene. “Nona dan Tuan akan satu ranjang dalam kegiatan tertentu saja. Selebihnya, Tuan Adam akan berada di ruangannya.”

Irene mengangguk paham. Ia sudah panik ketika melihat kamar yang besar termasuk ukuran ranjang yang tidak biasa, kalau-kalau ia akan sekamar dengan Adam. 

Setidaknya ia punya area di mana dirinya bisa bernapas lega tanpa kehadiran Adam yang menekan. 

Sementara Irene larut dalam pikirannya, Leon berkeliling kamar, memastikan kalau-kalau ada yang dibutuhkan lagi oleh majikan barunya itu. 

Setelah ia mencatat semua yang dibutuhkan, Leon kembali bertanya, “Nona, saya akan keluar membeli perlengkapan harian Anda, sekalian saya memesan mobil untuk nona. Apa ada preference dari nona?” 

Irene melongo menatap Leon. Sinisnya dalam hati, “Siapa juga yang belanja keperluan harian sekalian beli mobil? Dasar orang kaya!”

Merasa sia-sia larut memikirkan keputusan yang sudah ia buat, Irene memutuskan untuk menyenangkan diri sendiri. Sejak dulu ia sangat ingin punya mobil Mitzubizi.

“Zepander Mitzubizi!” pekiknya dengan wajah terlihat lebih hidup.

Leon pun turut bersyukur karena setidaknya, Irene terlihat lebih ceria. Sebagai pria yang juga memiliki anak gadis, ia mengerti seperti apa beratnya hidup Irene.

Hanya saja, ia dan juga staf lainnya hanyalah seorang pekerja yang dibayar, yang tidak punya kuasa untuk melindungi Irene. Jadi, sedikit senyuman dari Irene sudah turut membuatnya bersyukur.

“Baik sudah saya catat. Apa ada yang masih diperlukan?” tanya Leon terakhir kalinya.

Irene menggeleng lemah.

“Kalau begitu, Nannia yang akan menjadi asisten rumah tangga khusus untuk nona. Ia yang akan mengatur kebutuhan Nona ke depannya.”

***

Keesokan harinya. Sekitar pukul 7 malam, Adam pulang lebih cepat dari kantor. 

Seperti yang disebutkan oleh Adam, ia memanggil petugas catatan sipil untuk mencatat pernikahan rahasia mereka. Pernikahan tercatat akan menguatkan posisi Irene sehingga tidak akan lari dari perjanjian kontrak mereka. 

Namun, tidak ada pesta pernikahan. Bahkan acara makan-makan sederhana pun tidak. Hanya sebuah formalitas. 

“Impianku bikin nikahan ala-ala disney princess kandas sudah,” keluh Irene dalam hati sambil menandatangani dokumen-dokumen yang disodorkan petugas.

“Baik, sudah selesai semua. Dokumen akan dikirim besok pagi, Pak Adam.”

Adam mengangguk, memberi isyarat pada Leon untuk mengantar kepergian mereka. 

Sementara itu, Irene terlihat tak bersemangat di sampingnya. Adam sedikit terganggu dengan wajah sedih wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya itu. 

Ia berdehem pelan kemudian bertanya, “Mobilmu sudah sampai?”

Irene mengangguk tanpa suara. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk meladeni Adam.

Sebenarnya, Leon juga melaporkan pertanyaan-pertanyaan Irene kemarin pada Adam, membuat pria itu mempertimbangkan banyak hal sepanjang malam hingga hari ini. 

“Menurut saya, pernikahan kontrak seperti ini jelas bukan impian wanita, Tuan Adam. Jadi, mohon dimaklumi jika Nona Irene terlihat terpaksa menjalaninya.” Itulah yang dikatakan Leon semalam padanya. 

Namun, tentu saja, hal itu tidak mempengaruhi keputusannya. Ia harus segera membuat Irene mengandung dan melahirkan putranya. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkan perasaan orang lain. 

“Itu juga kenapa aku membuat mesin yang bisa membaca seberapa tinggi kesempatan perempuan melahirkan bayi laki-laki. Dengan begitu, aku tidak perlu banyak berhubungan. Cukup satu atau dua kali,” batin Adam, membenarkan metodenya.

“Bersihkan diri dan datang ke kamarku malam ini.”

Wajah Irene terlihat seperti orang bodoh karena ia tak begitu paham kenapa harus datang ke kamar Adam selarut ini.

“Ke kamar Bapak?” tanyanya memastikan kalau telinganya tidak salah dengar. 

Adam mengangguk singkat sambil beranjak dari kursinya. Ia kemudian berkata, “Aku tidak punya banyak waktu. Kau harus segera memberiku keturunan laki-laki.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status