Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam.
“Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.” “Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.” Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.” “Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat. “Tapi—” Adam segera mengangkat tangannya dengan telapak mengarah pada Irene, memintanya berhenti merengek. ”Saya tidak mencari istri. Saya hanya perlu kamu melahirkan putra untuk saya. Saya tidak ingin berlama-lama dalam pernikahan ini,” ungkap Adam dengan tatapan dingin. Tak bisa membalas perkataan Adam, Irene menarik tubuhnya yang tanpa sadar semakin condong ke depan. Sambil mengurut keningnya seolah Irene menambahkan beban pikiran, Adam menekan tombol di bawah meja. Detik berikutnya pintu ruangan terbuka. Leon masuk ke dalam, siap menerima perintah dari Adam. “Leon, tolong bawa Irene ke kamar yang sudah disiapkan. Beli semua yang dia butuhkan tanpa terkecuali.” “Dimengerti Tuan Adam.” Leon membungkuk tenang dan menyanggupi permintaan Adam. Pria paruh baya tersebut segera menyapa Irene, “Mari, Nona. Saya antar ke kamar.” Tak bisa lagi keluar dari perjanjian yang sudah ditandatangani, Irene pun hanya bisa menerima semua yang sudah digariskan. Ia kembali mengikuti Leon menuju ruangan yang akan menjadi kamar tidurnya sampai ia melahirkan seorang anak laki-laki untuk Adam. “Silakan, Nona.” Leon membukakan pintu sebuah ruangan, mempersilakan Irene untuk masuk. Irene tercengang melihat ruang kamarnya yang luas. Ia tidak pernah berpikir kalau Adam akan memberikan ruangan yang bagus untuknya. “Ini kamar saya beneran, Pak Leon?” Leon membungkuk sedikit, membenarkan ucapan Irene. Ia juga menambahkan, “Tolong kabari saya kebutuhan harian yang diperlukan. Saya akan meminta staf untuk mengurusnya. Termasuk jenis mobil yang Nona inginkan.” “Mo–mobil?!” pekik Irene kaget. Ia tidak pernah mendapati orang membeli mobil seperti berbelanja di swalayan. “Sesuai dengan perintah dari Tuan Adam, mobil sudah tersedia sebelum Nona bekerja. Termasuk supir dan asisten pribadi untuk di rumah.” Pusing karena mendengar kalimat berlevel tinggi itu, Irene segera mengangkat telapak tangannya, meminta Leon berhenti sejenak. “Tu–tunggu dulu, Pak Leon. Untuk supir, saya nggak perlu. Dan lagi, bakal kelihatan aneh kalau staf baru memakai supir.” Leon terlihat menimbang ucapan Irene. Ia kemudian mengangguk setuju. “Akan saya sertakan laporan ini pada Tuan Adam. Menurut saya ini beralasan, jadi saya akan turuti. Apa ada lagi yang mau ditanyakan, Nona Irene?” Irene terdiam sesaat. Pikirannya masih berat mengingat besok ia akan menjadi istri seorang pria yang baru ditemuinya hari ini. “Pak Leon, apa setelah menikah nanti saya berarti harus … seranjang dengan Pak Adam?” Gadis itu berusaha menghindari kata ‘bercinta’, tetapi hanya kalimat itu yang bisa digunakan untuk bertanya. Leon tersenyum menenangkan, tetapi jawabannya jauh dari yang diharapkan Irene. “Nona dan Tuan akan satu ranjang dalam kegiatan tertentu saja. Selebihnya, Tuan Adam akan berada di ruangannya.” Irene mengangguk paham. Ia sudah panik ketika melihat kamar yang besar termasuk ukuran ranjang yang tidak biasa, kalau-kalau ia akan sekamar dengan Adam. Setidaknya ia punya area di mana dirinya bisa bernapas lega tanpa kehadiran Adam yang menekan. Sementara Irene larut dalam pikirannya, Leon berkeliling kamar, memastikan kalau-kalau ada yang dibutuhkan lagi oleh majikan barunya itu. Setelah ia mencatat semua yang dibutuhkan, Leon kembali bertanya, “Nona, saya akan keluar membeli perlengkapan harian Anda, sekalian saya memesan mobil untuk nona. Apa ada preference dari nona?” Irene melongo menatap Leon. Sinisnya dalam hati, “Siapa juga yang belanja keperluan harian sekalian beli mobil? Dasar orang kaya!” Merasa sia-sia larut memikirkan keputusan yang sudah ia buat, Irene memutuskan untuk menyenangkan diri sendiri. Sejak dulu ia sangat ingin punya mobil Mitzubizi. “Zepander Mitzubizi!” pekiknya dengan wajah terlihat lebih hidup. Leon pun turut bersyukur karena setidaknya, Irene terlihat lebih ceria. Sebagai pria yang juga memiliki anak gadis, ia mengerti seperti apa beratnya hidup Irene. Hanya saja, ia dan juga staf lainnya hanyalah seorang pekerja yang dibayar, yang tidak punya kuasa untuk melindungi Irene. Jadi, sedikit senyuman dari Irene sudah turut membuatnya bersyukur. “Baik sudah saya catat. Apa ada yang masih diperlukan?” tanya Leon terakhir kalinya. Irene menggeleng lemah. “Kalau begitu, Nannia yang akan menjadi asisten rumah tangga khusus untuk nona. Ia yang akan mengatur kebutuhan Nona ke depannya.” *** Keesokan harinya. Sekitar pukul 7 malam, Adam pulang lebih cepat dari kantor. Seperti yang disebutkan oleh Adam, ia memanggil petugas catatan sipil untuk mencatat pernikahan rahasia mereka. Pernikahan tercatat akan menguatkan posisi Irene sehingga tidak akan lari dari perjanjian kontrak mereka. Namun, tidak ada pesta pernikahan. Bahkan acara makan-makan sederhana pun tidak. Hanya sebuah formalitas. “Impianku bikin nikahan ala-ala disney princess kandas sudah,” keluh Irene dalam hati sambil menandatangani dokumen-dokumen yang disodorkan petugas. “Baik, sudah selesai semua. Dokumen akan dikirim besok pagi, Pak Adam.” Adam mengangguk, memberi isyarat pada Leon untuk mengantar kepergian mereka. Sementara itu, Irene terlihat tak bersemangat di sampingnya. Adam sedikit terganggu dengan wajah sedih wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya itu. Ia berdehem pelan kemudian bertanya, “Mobilmu sudah sampai?” Irene mengangguk tanpa suara. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk meladeni Adam. Sebenarnya, Leon juga melaporkan pertanyaan-pertanyaan Irene kemarin pada Adam, membuat pria itu mempertimbangkan banyak hal sepanjang malam hingga hari ini. “Menurut saya, pernikahan kontrak seperti ini jelas bukan impian wanita, Tuan Adam. Jadi, mohon dimaklumi jika Nona Irene terlihat terpaksa menjalaninya.” Itulah yang dikatakan Leon semalam padanya. Namun, tentu saja, hal itu tidak mempengaruhi keputusannya. Ia harus segera membuat Irene mengandung dan melahirkan putranya. Tidak ada waktu untuk mempertimbangkan perasaan orang lain. “Itu juga kenapa aku membuat mesin yang bisa membaca seberapa tinggi kesempatan perempuan melahirkan bayi laki-laki. Dengan begitu, aku tidak perlu banyak berhubungan. Cukup satu atau dua kali,” batin Adam, membenarkan metodenya. “Bersihkan diri dan datang ke kamarku malam ini.” Wajah Irene terlihat seperti orang bodoh karena ia tak begitu paham kenapa harus datang ke kamar Adam selarut ini. “Ke kamar Bapak?” tanyanya memastikan kalau telinganya tidak salah dengar. Adam mengangguk singkat sambil beranjak dari kursinya. Ia kemudian berkata, “Aku tidak punya banyak waktu. Kau harus segera memberiku keturunan laki-laki.”“Keturunan?! Sekarang?!” pekik Irene dalam hati saat memahami apa yang diinginkan Adam darinya malam ini. Ia hanya bisa memelototi punggung Adam yang semakin menjauh meninggalkannya begitu saja setelah mengatakan hal memalukan tadi. Belum reda paniknya, Nannia datang mendekati Irene dan berkata, “Mari, Non Irene. Saya sudah menyiapkan lulur mandi.” Irene menatap sang asisten rumah tangga dengan tatapan horor, seolah ia tengah berhadapan dengan zombie yang akan memakan otaknya. “Lulur?!” Nannia mengangguk. Ia tersenyum singkat sambil membantu Irene beranjak dari sofa tempatnya duduk. “Tidak hanya lulur. Ada juga ratus rempah dan treatment lainnya, untuk malam Nona dan Tuan.” Walau Irene kerap mempertanyakan semua kegunaan dari hal yang disebutkan Nannia, asistennya itu dengan sabar meladeni sambil membawa gadis itu kembali ke kamar untuk persiapan malam pertama. Bukannya Irene tidak tahu menahu soal persiapan menjadi pengantin, karena ia sendiri adalah mantan calon pengantin seb
Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai. Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya. Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.” Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior N
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L
Dengan banyaknya hal yang diserap Irene malam ini, ia akhirnya kehabisan energi dan terlelap tanpa ia sadari. Ditambah ketegangan malam pertama yang sekali lagi hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena pada akhirnya tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adam. Begitupun, ia cukup bersyukur, karena kedatangan Aldrich membuat Adam tidak jadi melahapnya malam ini. Irene masih belum siap menerima pria tersebut. “Ah … sudah tidur ternyata,” gumam Adam yang akhirnya selesai bicara dengan Aldrich. Dan ketika kembali ke kamar, ia malah mendapati Irene terlelap dengan posisi membentang di atas tempat tidurnya. “Kenapa juga tidurnya miring begini. Apa dia tipe yang tidurnya nggak bisa diem ya?” Adam mencoba membetulkan posisi tidur Irene dan menyelimuti gadis itu. Ia menatap tempat tidurnya kemudian beralih ke sofa dan memutuskan, “Sebaiknya aku tidur di sofa. Besok aku minta Leon menjebol kamar sebelah.”
Wajah Irene terlihat panik, karena ia tidak menyangka kalau Aldrich akan langsung menembaknya dengan pernyataan seperti itu. "Wow! Sepertinya aku sudah harus menggunakan keahlian baruku sebagai artis!" keluhnya dalam hati. Dengan netra berkaca-kaca, Irene tergagap seolah terkejut dengan ucapan Aldrich. “Si—siapa yang bilang?” Sambil memamerkan cengiran kekanakan, Aldrich menjawab, “Kak Adam. Kalian benar menikah secara kontrak, kan?” Irene sadar kalau Aldrich hanya ingin memancing. Adik laki-laki dari suaminya itu seperti mengarahkan pikiran Irene bahwa Adam memberitahu Aldrich soal rahasia ini. Yang tidak diketahui Aldrich, semua informasi terkait hubungan Adam dengan keluarga, sudah diketahui oleh Irene. Berusaha keras menangis seperti orang patah hati, Irene kemudian berjongkok di tempatnya, membuat Aldrich menaikkan salah satu alisnya. Heran. Tak lama kemudian
“Omong kosong, Claire. Semua sudah berakhir. Tidak ada pentingnya mengungkit hal itu,” tegur Adam dengan mata menyipit.Namun, sepertinya Claire tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus membahas hubungan spesial yang pernah hadir di antara mereka.Artis cantik itu merengek, “Kau tahu, aku sakit hati saat Aldrich mengatakan kau sudah menikah. Katakan, apa dia lebih cantik dariku, Adam?”“Ha?! Menikah?!” bisik Julia dengan mata melotot, karena tak sengaja mendapat berita di luar perkiraan.Saat itulah Irene memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak mungkin membiarkan Julia mendengar pengakuan dari mulut Adam kalau pria itu benar-benar sudah menikah. Kalau sampai te
Tanpa disadari, langkah membawanya berhenti di depan pintu ruangan Adam. Dengan berat gadis itu mengetuk pintu sang CEO Bright Co.Ltd. Dua kali ketuk sebelum sang penguasa ruangan memberi izin masuk. “Bapak cari saya?” tanya Irene sambil memasuki ruangan Adam dan berjalan mendekati meja kerja sang atasan.Adam mengangguk sambil berdehem singkat. “Ada masalah dengan penerimaan dokumen?” tanyanya sambil menandatangani sisa dokumen yang menjadi tanggung jawabnya.Di ujung air mata yang hampir tumpah Irene mengangguk tanpa bisa menjelaskan apapun. Ia tidak tahu apakah ini juga perbuatan seseorang untuk menjebaknya lagi atau murni kesalahpahaman.Adam yang melihat raut panik dan terpukul di wajah Irene tiba-tiba merasakan amarah yang besar menyelimuti hatinya. Ia tidak berpikir bahwa perasaan ingin marah demi Irene karena perbuatan seseorang yang mencoreng nama gadis itu, bisa muncul dalam hatinya.“Hm, kurasa kurang tepat kalau bahas hasil pengamatan kasus dia di kantor lamanya sekarang.
“Yeah. Waktu kejadiannya terlalu tepat.” Derrick menjawab sambil menyunggingkan senyum geli, membayangkan masih ada yang bertindak kotor demi jabatan.Sementara Ferdian larut dalam ucapan Derrick, pria itu sudah beranjak. Lagi katanya, “Ayo, Adam minta kita ke ruangannya.”Ferdian mengangguk sambil beranjak dari kursi, mengikuti Derrick. Pria itu masih tak berkomentar karena tengah memikirkan ucapan Adam juga di ruang rapat tadi. Batinnya, “Kalau penilaianku soal Irene, tanpa masalah dokumen hilang kemarin, memang seperti yang disebut Adam. Anak itu kerjanya bagus.”Tengah larut dalam pertimbangannya sendiri, ia dikagetkan dengan ucapan Derrick, “Kurasa anak itu menyembunyikan sesuatu.” Derrick merujuk pada Adam.“Menyembunyikan sesuatu? Apa maksudmu, Rick? Siapa?” tanya Ferdian dengan dahi berkerut-kerut dan bibir yang mengerucut, berusaha mencari tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri.Derrick mengedikkan bahunya. “Adam. Something like … mungkin Irene itu pacar rahasia?”Mengangga