Share

Bab 7. Langit Kamar yang Sama

Cih! 

Adam berdecak kesal. 

Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. 

Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. 

“Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.

Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”

“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. 

Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.

Lagi, tamu tak diundang itu bertanya, “Apa wanita ini istrimu? Kau pandai sekali memilih istri. Cantik.” 

Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi entah kenapa Irene merasa takut dengan kehadiran pria yang memanggil Adam dengan sebutan kakak. Ia pun segera beringsut mendekati Adam dan bersembunyi di balik tubuh tinggi sang suami yang tengah berdiri membelakanginya.

Menghela napas kesal, Adam tak punya pilihan selain mengenalkan mereka. “Irene, honey. Ini adikku, Aldrich. Al, ini istriku. Irene.”

Otak Irene sempat membeku saat Adam menggunakan panggilan sayang itu. Namun, ia sadar kalau itu adalah isyarat baginya agar bersikap layaknya seorang istri. 

Spontan Irene menganggukkan kepala dan menyapa, “Senang bertemu denganmu, Aldrich.”

“Hai! Kakak ipar. Aku juga senang akhirnya bisa melihat istri kakakku. Dia sangat menentang ide untuk membagikan foto kalian.”

“Diam, Al.” Adam tak berniat membiarkan Aldrich berada di kamar pribadinya lebih lama lagi. Jadi, ia menambahkan, “Kita bicara di ruang kerja saja.”

Agar terlihat lebih natural, Adam mendekat dan mengecup kening Irene sambil berkata, “Hon, kau tidur saja duluan. Aku menyusul nanti.”

“Aw! Goodnight, kakak ipar cantik!” seru Aldrich sambil dipaksa keluar dari kamar itu oleh Adam yang terus mendorong punggung sang adik.

Irene mengangguk lemas di tempatnya berdiri. Ia benar-benar tidak menyangka kalau tugasnya jadi bertambah. Menjadi artis dadakan dengan peran istri kesayangan CEO.

Barulah setelah Adam menutup pintu kamar, Irene bisa bernapas lega. 

“Mau mati rasanya. Udah deg-degan mau malam pertama, malah kedatangan adiknya Pak Adam,” keluh Irene sambil menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. “Kayaknya mereka nggak akur ya. Apa aku salah?”

Tengah larut dalam pikirannya, tiba-tiba pintu kamar diketuk. Irene langsung melompat lagi dari kasur dan membetulkan jubah malamnya.

“Sebaiknya aku sekalian balik ke kamar,” batin Irene sambil membuka pintu kamar itu. 

Namun, ketika pintu dibuka, Irene melihat Nannia sudah berada di sana dengan koper miliknya. “Nannia? Ngapain bawa-bawa koper saya?”

“Non Irene, perintah dari Pak Leon, untuk sementara waktu Nona pakai kamar Tuan Adam. Saya akan segera membawa semua barang-barang Nona ke sini. Apa ada yang penting perlu diambil selain pakaian dan tas kerja?”

Netra Irene membelalak, kaget dengan keputusan tiba-tiba ini. “Tapi, kenapa?”

Nannia tersenyum sambil menjawab, “Kan sudah resmi menikah. Memang harus satu kamar, kan?”

Rasanya Irene ingin berteriak, memprotes Leon yang pernah mengatakan hal yang berbeda dengan yang terjadi saat ini. 

“Katanya cuma kalau ada hal yang penting aja aku sekamar sama Pak Adam! Sekarang kenapa jadi begini?!” raung Irene dalam hati.

Tak sampai 10 menit, semua barang-barang Irene sudah berada di kamar Adam. Sambil bersenandung Nannia meletakkan semua itu di tempat masing-masing, tinggallah Irene termenung meratapi nasibnya. 

“Non, sudah saya rapikan barang-barang Nona. Pakaian ada di lemari, sabun-sabun dan semua kebutuhan mandi sudah ada di kamar mandi. Selamat malam, Non Irene.”

Irene hanya bisa mengangguk dan membiarkan ART-nya itu keluar dari kamar yang sekarang menjadi kamar Irene juga.

“Aduh! Kenapa jadi begini ya?!” keluh Irene sambil mengacak-acak rambutnya. 

Sibuk meratapi diri, seseorang kembali mengetuk pintu kamar Adam. Kali ini Leon mendatanginya. 

“Nona, saya perlu menjelaskan beberapa hal,” ujar Leon sambil melangkah masuk ke dalam kamar. 

Melihat wajah Leon yang absen senyuman, Irene bisa menangkap kalau apa yang akan dikatakan Leon adalah hal yang kurang menyenangkan. 

Setelah pintu tertutup rapat, Leon mulai membuka mulut, “Tuan Aldrich berencana menginap selama 2 minggu di sini. Oleh karena itu, sampai beliau pergi dari sini, Nona Irene mohon menjadikan kamar ini sebagai kamar pribadi Nona juga.”

“Apa?! 2 minggu, Pak Leon? Apa tidak bisa diusir saja?” keluh Irene yang sudah membayangkan kelelahan yang akan ia tanggung karena menahan rasa canggung berada di kamar yang sama dengan Adam.

Leon menggelengkan kepala, merasa kecewa juga dengan keadaan yang terjadi sekarang. “Ada kemungkinan ini juga adalah perintah dari Tuan besar untuk memata-matai Tuan Adam. Jadi, saya mohon kerjasama Nona untuk membuat pernikahan ini tak terlihat dipaksakan.”

Mulut Irene spontan membuka untuk protes, tapi tidak ada kalimat yang terpikirkan yang bisa ia lontarkan. Ia sudah menandatangani perjanjian itu, bahkan Adam sudah memenuhi kewajibannya dengan menyelesaikan utang Irene terhadap perusahaan lamanya.

“Saya bukan lulusan sekolah artis, Pak Leon. Bagaimana saya harus pura-pura?” Lagi, Irene mengeluhkan besarnya tanggung jawab yang harus ia emban. 

Karena kalau salah langkah sedikit saja, ia akan menghancurkan seluruh rencana Adam. 

Kali ini Leon tersenyum. “Tenang saja, Nona. Sebisa mungkin, Tuan Adam akan berusaha menjauhkan Tuan Aldrich dari Nona. Kemungkinan besar Nona harus berpura-pura adalah saat makan pagi bersama.”

Dahi Irene berkerut tak setuju. “Saya kan harus berangkat ke kantor, Pak Leon.”

“Ah … Tuan Adam akan mengurus hal itu.  Nona bisa berangkat saat Tuan Aldrich sudah tidak ada di rumah. Jangan sampai Tuan Aldrich mengetahui Anda bekerja di perusahaan Bright.” Leon menjelaskan dengan tenang, karena sebenarnya yang mengurus semua itu adalah Leon. Ditambah lagi, ia sudah selesai mengurus hal ini sebelum mendatangi Irene tadi. 

“Bagaimana kalau Aldrich datang ke kantor?”

“Tidak perlu khawatir. Tuan Aldrich tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di kantor Bright Co.Ltd. Hal itu sudah menjadi perjanjian Tuan Adam dengan Tuan besar Adolf Allaster.”

Setelah penjelasan panjang lebar itu, Leon akhirnya pamit.

Irene menatap sekeliling kamar Adam kemudian menghela napas panjang, membayangkan 2 minggu ke depan ia akan pulang ke kamar ini. 

“Nggak cuma satu atap, tapi malah satu kamar,” keluh Irene sembari berbaring di atas tempat tidurnya. 

Sisi kiri yang ia pilih, dekat dengan kamar mandi, kalau-kalau ia mau kabur saking gugupnya. 

“Memandang langit-langit yang sama dengan Pak Adam. Bagaimana aku bisa tidur di samping pria itu?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status