“Apa?!” Aimee berbalik lagi menghadapi Irene. Dengkusan pelannya jelas terdengar, mencemooh pengakuan Irene yang ia anggap gurauan belaka. “Ir, saya tahu kamu sangat sakit hati dengan semua ini, tapi kalau kamu sampai bawa-bawa nama sekretaris Pak Adam, kamu bisa kena masalah lebih besar. Saya yakin kamu nggak akan sanggup terima konsekuensinya.” Aimee berusaha menasehati.Tak kunjung dipercaya, Irene menambahkan, “Pak Adam bilang beliau mau ketemu Pak Dave. Kalau Ibu nggak siapin ruangan, nanti Pak Adam marah.”Aimee sedikit tergoyahkan ketika Irene bicara demikian. Kalau sampai apa yang diucapkan Irene adalah kenyataan, jabatannya dipertaruhkan di sana. Namun, untuk percaya pada kenyataan sepertinya memang tidak mudah. Aimee berusaha menekan Irene lagi. “Ir, nggak mungkin kamu jadi sekretaris Pak Adam. Nggak mungkin dia mempekerjakan orang yang dianggap sudah merugikan perusahaan.” “Tapi, Bu—”Ucapan Irene terhenti ketika seseorang membuka pintu ruang rapat. Wajah Tiara yang mur
“Astaga! Astaga! Lihat nggak siapa yang barusan lewat?!” pekik Dinda sambil menepuk-nepuk punggung temannya. Arin—Rekan resepsionisnya mengangguk penuh semangat. “Iya, iya! Pak Adam dateng. Kukira si Irene cuma nipu aja.”Dinda mengerutkan dahinya. “Lho, jadi kamu nggak percaya sama yang dibilang Mbak Irene tadi?”“Mana mungkin percaya sih. Kamu nggak tahu aja kondisinya dulu waktu si Irene di pecat. Aneh ya, bisa-bisanya dia jadi sekretaris Pak Adam. Dia tidur sama—”Namun, Dinda langsung membekap mulut temannya itu. “Jangan nuduh sembarangan. Mbak Irene bukan orang begitu!” “Iya, iya. Tapi Pak Adam ganteng banget ya!” Arin kembali bersemangat sendiri, tak menghiraukan ucapan rekannya tadi.Karena ucapan Arin mengenai pemecatan Irene saat itu, Dinda berpikir untuk segera menghubungi ruang sekretaris direksi untuk memberitahu kedatangan Adam. Ia takut kalau-kalau Irene mendapat masalah di sana.“Halo, Kak Shiren, Bu Aimee ada?” tanya Dinda saat mendengar suara si penerima telepon.
“Ha?! Gila!”“Kita semua kena tipu.”Lagi-lagi semua staf dibuat terkesiap oleh Adam. Mereka selama ini ternyata sudah jahat, ikut menuduh dan menyalahkan Irene yang sebenarnya tidak bersalah. “Well, karena kalian tidak menyiapkan ruang rapat, saya tidak keberatan rapat di sini sambil berdiri. Saya hanya akan mengumumkan adanya perubahan susunan manajemen D’Bright Distributor Company.”Irene mengangguk. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan mencatat notulen rapat sebagai bukti sah dari apa yang akan dibahas, termasuk merekam semua ucapan dan percakapan di dalamnya.Mendengar kalimat Adam, wajah Dave memucat. Ia bisa menebak apa yang akan dilakukan Adam terhadapnya. Namun, ia tak mungkin membiarkan dirinya dipermalukan di depan semua staf-nya. “Tu–tunggu dulu, Pak Adam. Ma–mari saya antar ke ruang rapat—”“Tidak perlu. Saya sudah membuang banyak waktu. Untuk masalah peng-input-an harga yang merugikan perusahaan beberapa bulan lalu, akan ada tindakan dari pihak personalia. Semua yang d
“Bulan madu.”Adam memandang langit-langit kamarnya sambil mengingat percakapan dengan Darren sore tadi. Ia tidak pernah mempertimbangkan adanya bulan madu setelah sebuah pernikahan. “Benar juga. Pernikahan normal seharusnya diikuti dengan bulan madu,” ujarnya membenarkan usulan Darren walau percakapan mereka sudah selesai sejak tadi.Ia kemudian tertegun dengan kejanggalan pernikahannya sendiri. “Apa karena nggak ada bulan madu, makanya Aldrich diminta mencari tahu soal pernikahanku?” gumamnya pada diri sendiri.Namun, membayangkan dirinya pergi menikmati bulan madu dengan istri kontraknya ….Adam menggeram pelan kemudian mengubur wajahnya di atas bantal. “Kenapa rasanya seperti akan jadi perjalanan yang menyenangkan?”“Benar juga. Memang harus ada bulan madu, supaya pernikahan terlihat nyata,” putus Adam yang semakin bersemangat untuk merencanakan bulan madunya.Tanpa bisa dicegah, tangannya sudah meraih ponsel yang tergeletak di atas meja nakas di samping kanan tempat tidurnya. I
Bandara sepagi ini cukup ramai, padahal masih hari kerja. Jumat malam, Adam mau tak mau memasukkan bubuk tidur untuk Irene. Ia harus membawa Irene menuju bandara sekitar pukul 2 dini hari. Tanpa sepengetahuan Irene, mereka akan pergi ke Bali untuk bulan madu. “Kuharap dia nggak akan marah. Ini semua ide Darren,” harap Adam sambil melirik ke kursi pesawat di sampingnya, di mana Irene masih terlelap. Pria itu tengah merasa bersalah. Ia seperti sedang menjebak Irene saat ini. "Tapi kata Darren, Irene pasti menolak kalau dia tahu aku akan membawanya bulan madu."Lagi, ia menyalahkan Darren. “Padahal aku berniat membahas ini dengan Irene. Aku tidak ingin memaksanya.”Tak tahu harus bersikap bagaimana saat Irene bangun nanti, Adam semakin pusing dibuat. “Harusnya aku hentikan saja rencana Darren kemarin,” gerutu Adam. Detik berikutnya, Adam seolah tersadar kalau ia bertingkah aneh, dengan memperhatikan perasaan Irene. Batinya, “Ugh! Kenapa juga aku jadi mempertimbangkan perasaan Irene
Setelah berkendara cukup lama, mobil yang membawa Irene dan Adam berhenti di depan sebuah bangunan minimalis yang cukup menarik perhatian Irene. Desainnya sederhana tapi tetap terkesan mewah. “Wow. Ini vilanya?” gumam Irene sambil mengamati setiap detail. Vila itu memiliki taman kecil yang cantik. Persis seperti keinginan Irene sejak dulu—punya rumah kecil hanya satu lantai dengan taman mungil. Adam merasa puas melihat Irene senang dengan vilanya. Ia kemudian menepuk punggung gadis itu dan berkata, “Masuk dan istirahat dulu. Ada yang akan menyiapkan makanan nanti.”“Oh … aku berarti belum mandi ya?”Adam mendengus geli. “Menurutmu?”Irene hanya cekikikan saja mendengar Adam tetap merespon hal-hal kecil yang ia utarakan. Sementara masing-masing mereka beristirahat, para staf rumah tangga sibuk menyiapkan hidangan dan beragam makanan ringan untuk majikan mereka.Irene pun tidak tanggung-tanggung. Ia menikmati waktu sendirinya dengan berendam di bak kamar mandi. “Ah … aku bisa dengar
“Ayo!” seru Irene dengan wajah sumringah. Mereka pun segera menuju ke belakang vila dan menikmati pemandangan pantai. Irene tidak menyangka akan menemukan restoran di pinggir pantai yang cukup ramai dengan pengunjung. “Apa kita boleh makan di sana?” tanya Irene penasaran. Adam mengangguk. “Boleh. Mungkin sarapan besok pagi kita bisa coba makan di sana.”“Oke!”Setelah puas menikmati pasir pantai, mereka kembali ke dalam vila. Bersamaan dengan datangnya pakaian untuk Irene. Tidak ada yang menyadari bahwa seseorang sepertinya mengenali Irene dari kejauhan. Walau sepertinya, orang tersebut tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.Dan karena hari ini hari pertama Irene dan Adam dalam satu rumah berdua saja, Adam memutuskan untuk tidak menyentuh Irene. Ia memberi waktu bagi Irene untuk mempersiapkan dirinya. Malam itu, Irene ternyata tidak bisa terlelap. Deburan ombak yang siang tadi terasa nyaman didengar, kini seperti suara yang menakutkan. Ia memutuskan untuk mendengarkan musik deng
Keesokan paginya, Irene terbangun dengan mata membelalak dan tubuh kaku.Bukan karena kerasukan, tetapi karena ia langsung menyadari kalau Adam masih ada di sampingnya. Memeluk Irene seolah itu adalah hal biasa.“Mati aku! Posisi apa ini?! Apa semalam terjadi sesuatu? Tapi aku nggak ingat,” pekik Irene panik dalam pikirannya. Ia mencoba mengingat-ingat tapi sepertinya tidak ada hal lain yang mereka lakukan selain …“Kissed! Aku dan Adam ci-” Netra Irene semakin terbuka lebar setelah mengingat apa yang terjadi semalam. Ia bahkan tidak berani menyebut kata itu walau hanya dalam benaknya. “Sudah bangun setelah meninggalkanku semalam, hm?” sindir Adam yang sebenarnya sejak tadi sudah bangun dan memilih menikmati pagi di sisi Irene. Padahal ia tidak berniat bersikap lembut seperti ini, tetapi melihat wajah lelap Irene yang tanpa beban itu membuatnya ingin berada di sana, menyaksikan gadis itu bangun dari tidurnya. Siapa sangka, setelah Irene terbangun, gadis itu malah sibuk membuat ban