BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA

BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA

last updateTerakhir Diperbarui : 2022-03-10
Oleh:  Meisya JasmineTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 Peringkat. 1 Ulasan
41Bab
57.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Kupikir, ibu mertua baik padaku. Ternyata, semua palsu belaka. Di depanku dia bermulut manis. Namun, saat di belakang, dia malah menghina dan merendahkanku di depan temannya. Aku tak sanggup lagi untuk tinggal seatap dengannya. Kupilih untuk menyingkir demi memulihkan luka di jiwa.

Lihat lebih banyak

Bab 1

1

BAGIAN 1

“Silakan, Bu,” ucapku sembari meletakkan jajanan pasar dan dua cangkir teh melati panas ke atas meja tamu.

            “Wah, Bu Agit. Menantunya makin cantik aja. Udah gitu, sregep pula. Beda banget sama menantu saya di rumah.” Bu Puji, sahabat ibu mertuaku, mulai memuji.

            “Lho, tentu, Bu Puji! Istrinya siapa dulu, Faris! Anakku itu berhasil mendidik istrinya, Bu Puji. Dia mampu membimbing Gista hingga bisa jadi istri saleha seperti sekarang ini. Betul kan, Gis?” Ibu mulai meninggikan anaknya. Membuatku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk.

            “Iya, Bu,” sahutku pelan.

            Tampak, rekahan senyum di wajah tua Ibu makin merona. Aku ikut senang rasanya. Dipuji di depan teman dekat mertua itu seperti habis mendapat doorprize kulkas.

            “Alhamdulillah. Semoga rumah tangganya selalu adem ayem, ya. Jangan kaya anak mantuku. Saban hari tengkar melulu! Pusing banget kepalaku.” Bu Puji yang mengenakan hijab hitam dan sebuah bros emas besar di dadanya itu membenarkan letak kacamata minusnya. Wanita paruh baya yang memiliki tubuh cuku berisi tersebut kelihatannya sangat pusing setiap membahas anak dan mantu.

            “Amin. Eh, ayo, Bu. Dicicipi,” ucapku mempersilakan Bu Puji untuk mengambil jajanan yang sejak Subuh tadi kubuat sendiri. Ada nagasari, kroket kentang, dan arem-arem. Semua makanan tradisional itu memang tiap harinya kubuat untuk dititipkan ke pasar. Hasilnya sangat lumayan untuk tambahan uang belanja. Maklumlah. Namanya juga IRT. Harus pandai-pandai berkarya supaya dapur semakin ngepul.

            “Makasih, ya, Gista.” Bu Puji langsung menyomot sebuah arem-arem. Dengan cekatan jemarinya membuka daun pisang yang menjadi pembungkus panganan berbahan dasar nasi tersebut.

            “Gis, ke belakang dulu, ya. Ibu mau ngobrol tentang bisnis sama Bu Puji,” ucap mertuaku seraya mengelus lenganku sekilas.

            Aku pun mengangguk. Buru-buru beranjak dan berjalan menuju belakang.

            “Ah, Bu Puji. Gista itu sama aja kaya Diana. Ada kalanya menyebalkan. Yang aku nggak suka, dia itu sarjana. Cuma, ngapain sih, di rumah aja? Mana cuma dagang makanan receh begini! Bikin malu aja sama tetangga.”

            Belum juga aku jauh meninggalkan ruang tamu, Ibu sudah berceloteh dengan suara bisik-bisik tetapi sanggup untuk menembus telingaku.

            Aku langsung termangu. Langkah pun sontak terpaku. Ibu yang kukira sangat baik dan lembut, nyatanya membicarakanku di belakang.

            “Ya, suruh aja kerja, Bu Agit!” Kudengar sahutan Bu Puji disela mengunyah makanan. Aku yang berhenti di ruang tengah, memutuskan untuk berdiri di belakang dinding pembatas dan menguping. Hatiku panas, tetapi aku penasaran untuk terus mendengar.

            “Faris yang ogah. Katanya, istri saleha itu harus di rumah. Si Gistanya juga bodoh. Mau-mau aja. Katanya mau program hamil. Nyatanya mana? Setengah tahun juga nggak bunting!”

            Kuremas jilbab yang menutupi dada. Aku memejamkan mata sesaat. Menarik napas demi mengusir sesaknya paru.

            Ya Allah … Ibu. Sungguh lembut tutur katamu selama ini. Kamu yang dulu menyuruhku resign dari kantor sebulan sebelum menikah. Katamu, istri yang baik adalah istri yang mau tinggal di rumah. Persis dirimu. Namun, mengapa sekarang kamu yang mengucapkan dengan lantang di hadapan kawanmu, bahwa aku ini membuat malu?

            “Aduh, repot juga ya, Bu Agit. Beban itu namanya!” Sahutan Bu Puji kian membuatku sakit hati. Dada ini makin panas saja seperti baru terbakar.

            “Iya, emang! Capek aku lihatin dia numpang di rumah ini. Sebulan dua bulan sih, masih senang aja. Kalau udah hampir setahun begini, rasanya kok, ya gimana gitu.”

            Lekas aku beringsut dari dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah rumah Mas Faris. Nampan yang kubawa untuk menghidangkan makanan dan minuman pun, segera kuletakkan begitu saja ke atas meja makan.

            Buru-buru aku masuk kamar. Menguncinya dari dalam, kemudian mengambil ponsel dari atas tempat tidur.

            “Oh, rupanya begitu toh, yang Ibu pikirkan tentangku. Baik, Bu. Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan selama ini.”

            Kutekan nomor mantan bosku yang masih tersimpan di ponsel. Tanpa ragu, aku pun langsung meneleponnya.

            “Assalamualaikum, Pak Ken. Maaf Gista mengganggu. Pak, apakah masih ada lowongan sekretaris di kantor? Saya butuh pekerjaan, Pak.” Suaraku serak sekaligus bergetar. Tangis yang hendak meluap di pelupuk, kutahan sekuat tenaga. Penuh harap di dada bahwa Pak Ken mengatakan ada lowongan untukku.

            “Waalaikumsalam. Hai, Gista. Apa kabarmu?”

            “Baik, Pak.” Aku makin resah. Bukan basa-basi yang kumau. Namun, pekerjaan!

            “Sekretaris, ya? Tidak ada. Sudah terisi oleh orang lain.”

            Dadaku mencelos. Air mataku pun luruh membasahi pipi. Ya Allah, ke mana harus kucari pekerjaan?

            “Cuma orangnya baru mau aku pecat karena kerjaannya nggak becus dan serinng kabur-kaburan. Kapan kamu mulai bisa kerja?”

            Aku ternganga. Sontak terkejut dengan jawaban dari Pak Ken. Ya Allah, keajaiban itu nyata adanya!

            “Besok, Pak. Saya bisa besok!” seruku bersemangat.

            “Oke. Datanglah ke sini. Jangan bawa apa pun termasuk berkas. Semua dokumenmu masih tersimpan dalam map gobi di ruanganku.”

            Aku tersenyum lebar. Lekas kuhapus air mata di pipi dan tersenyum lebar. Ibu mertuaku yang terhormat, kita lihat saja besok. Bisakah kamu tinggal di rumah besar ini tanpa bantuanku yang sudah seperti babu saban harinya, saat aku mulai bekerja kembali!

(Bersambung)

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Husna Mufida
wah keren nih semoga cepat lanjut yah
2022-02-24 21:49:55
0
41 Bab
1
BAGIAN 1“Silakan, Bu,” ucapku sembari meletakkan jajanan pasar dan dua cangkir teh melati panas ke atas meja tamu.            “Wah, Bu Agit. Menantunya makin cantik aja. Udah gitu, sregep pula. Beda banget sama menantu saya di rumah.” Bu Puji, sahabat ibu mertuaku, mulai memuji.            “Lho, tentu, Bu Puji! Istrinya siapa dulu, Faris! Anakku itu berhasil mendidik istrinya, Bu Puji. Dia mampu membimbing Gista hingga bisa jadi istri saleha seperti sekarang ini. Betul kan, Gis?” Ibu mulai meninggikan anaknya. Membuatku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk.            “Iya, Bu,” sahutku pelan.            Tampak, rekahan senyum di wajah tua Ibu makin merona. Aku ikut senang
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
2
BAGIAN 2            Siang itu, aku benar-benar merasa jengkel yang luar biasa. Merasa baru saja dikhianati oleh orang yang terduga. Ibu, sudah kuanggap seperti mamaku sendiri. Rela kutinggalkan rumah kedua orangtuaku yang nyaman, demi hidup membersamai Mas Faris dan ibunya yang telah ditinggal oleh bapak mertuaku menikah dengan wanita lain di Kalimantan sana.Ikhlas kulayani Ibu seperti kepada mama kandungku. Padahal, dia sendiri punya anak perempuan dan anaknya itu ogah tinggal di sini. Namanya Farah. Dek Farah, aku memanggilnya. Farah belum menikah. Dia bekerja di luar kota dan hidup mengontrak. Mungkin dia menghindari hidup bersama ibunya di sini. Aku saja baru tahu seperti apa sifat asli mertuaku yang munafik.            Mulai hari ini, aku harus lebih waspada pada Ibu. Apa yang dia ucapkan, jelas bukan berasal dari hatinya. Semua hanya tipu daya.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
3
BAGIAN 3            “Gista, kamu ini kenapa?” Mas Faris tiba-tiba membuka pintu kamar tidur kami lebar-lebar. Dia masuk dengan wajah yang setengah gusar dan setengah bimbang.            Aku terduduk di ranjang. Desiran di dada rasanya masih membabi buta. Tanganku bahkan sampai tremor saking emosinya.            “Astaghfirullah,” lirihku seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.            Terdengar suara derap langkah kaki Mas Faris yang kian mendekat. Pria dengan tinggi 170 sentimeter dan berbobot 75 kilogram itu lalu kulihat duduk di sampingku. Aku yang baru membuka mata pun mengerling tajam ke arahnya.            “Gis, istighfar!
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
4
BAGIAN 4            “Gis, kamu mau ngapain?!” Mas Faris menahan tanganku erat ketika aku hendak membuka pintu lemari. Kuat kutepis, tetapi dia enggan untuk melepas.            “Lepas!”            “Nggak! Aku nggak akan ngelepasin kamu, Gis! Kamu istriku. Kamu nggak bisa seenaknya kaya gini.” Napas Mas Faris terdengar menderu. Kilatan di kedua netranya yang pekat membuatku agak gentar. Namun, kukuatkan tekad untuk memberikan perlawan ke tiap blunder yang Mas Faris buat.            “Kamu suamiku. Kamu juga nggak pantes untuk giniin aku, Mas! Satu, kamu nggak mau dengerin aku. Dua, kamu lebih mihak ke ibumu padahal dia salah. Dan tiga, jangankan mau minta maaf, yang ada malahan kamu merasa paling
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
5
BAGIAN 5            “Nggak usah. Kamu di sini aja sama ibumu. Dia lebih berhak mendapatkan kasih sayang dan kehadiranmu ketimbang aku!” Aku membuang muka. Tangisan Mas Faris malah terdengar kian keras.            Aku enggan untuk peduli. Gegas kukemaskan diri. Menukar pakaian dengan sepotong gamis satin bermotif abstrak warna abu-putih-merah muda. Sebuah pasmina crinkle berwarna cokelat tua pun kukenakan dengan hanya sebuah jarum pentul untuk mengencangkan bagian dagu. Selebihnya, dua sisi pasmina itu asal kulemparkan ke atas dua pundak.            Tanpa perlu mematut diri di depan cermin, aku beringsut seraya menyambar tas jinjingku dari genggaman Mas Faris.            “Gis … aku ikut.” Dia beru
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
6
BAGIAN 6            “Lepas!” Aku berontak. Berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Mas Faris. Apalagi, suara klakson di depan sana terdengar sangat membisingkan gara-gara lalu lintas sempat macet akibat aksi memalukan suamiku.            “Bikin malu aja!” kataku jengkel.            Mas Faris pun melepaskan pelukannya. Gegas, aku masuk ke mobil. Mukaku sudah merah sekali pasti. Rasa malu yang mendera akibat jadi tontonan orang ramai, membuatku buru-buru masuk ke mobil untuk menyembunyikan diri.            Suamiku ikut masuk. Dia buru-buru menyalakan mesin. Perlahan dia memajukan mobilnya dan menyetir dalam kecepatan sedang.            “Gis,
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
7
BAGIAN 7            Dua puluh menitan lebih berkendara, akhirnya kami tiba di depan halaman rumah orangtuaku. Dua minggu lalu terakhir kali aku main ke sini. Menjenguk adikku, Gio, yang terkena demam tifoid alias tipes. Rasanya, aku sudah rindu sekali ingin tidur di ranjang kamarku yang lega. Menikmati harumnya kamar masa remajaku yang penuh kenangan.            Lekas aku turun dari mobil sambil menjinjing tas. Mas Faris yang secepat kilat menyusul pun, merampas tasku. Demi terlihat baik, dia membawakan tas itu sampai ke depan pintu.            “Gis, aku mohon. Bicara yang baik-baik saja. Katakan kalau kamu rindu dan ingin menginap di sini,” ucap Mas Faris dengan mata yang penuh pinta.            “Iya,” sahutku.
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-28
Baca selengkapnya
8
BAGIAN 8POV AUTHOR            “Ma, bawa Gista ke kamar. Kamu, Gio, masuk ikut Mama. Papa mau bicara empat mata dengan laki-laki ini.” Herlambang memberikan perintah pada keluarganya. Tanpa dibantah sepatah kata pun, ketiganya langsung menurut.            Hazra—istri dari Herlambang yang berkulit putih bersih dengan wajah persis mirip putri sulungnya, kini merangkul Gista untuk masuk ke kamar. Begitu juga dengan Gio. Cowok 17 tahun yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu pun mengikuti langkah mama dan kakaknya.            Kini, tinggal Herlambang bersama sang menantu yang berdiri di ruang tamu. Tangan Herlambang yang cukup kekar dan penuh kekuatan meski usia tak muda lagi itu pun melepaskan cengkeramannya dari kerah baju Faris.     &nbs
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-01-31
Baca selengkapnya
9
BAGIAN 9            “Gista, Mama sebenarnya … nggak mau kamu gegabah dalam mengambil keputusan.” Mama tiba-tiba menasihatiku ketika kami hanya berduaan di kamar. Beliau duduk di atas ranjangku, sementara aku berbaring di atas pangkuannya dengan air mata yang kini perlahan menitik.            “S-sakit rasanya, Ma,” lirihku sambil menghapus jejak bulir kesedihan di pipi.            “Iya, Mama tahu, Sayang. Tapi, kamu harus tahu, kalau setiap pernikahan itu pasti ada cobaannya. Pernikahanmu baru seumur jagung. Bukankah semuanya bisa diselesaikan baik-baik?” Kalimat demi kalimat yang Mama lontarkan begitu bijaksana. Akan tetapi, sedikit pun rasanya aku bergeming dari nasihat itu.            Kugele
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-02-01
Baca selengkapnya
10
BAGIAN 10            “Ih, ngaco kamu!” Aku mengibaskan tangan sambil cepat-cepat mengusap ujung pelupuk.            “Eh, iya nggak, sih?”            “Mau hamil apa enggak, tetap aja bisa cerai. Nggak ngaruh. Aku tetap mau cerai. Titik!” Aku bersikukuh dengan segala keras kepalaku. Andai kata memang hamil, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi? Lebih baik aku di sini membesarkan anakku, ketimbang harus bersama Mas Faris dan ibunya. Aku sudah ogah!            “Kamu mau tes urin, nggak? Apa mau aku beliin?” Gio yang penuh perhatian itu bertanya sambil menatapku dalam.            Aku yang masih agak eneg, hanya bisa menerawang ke langit
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-02-02
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status