BAGIAN 33
Mas Faris sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang berada di lantai dua. Informasi itu kami dapatkan dari perawat jaga IGD tempat suamiku tadinya dirawat. Kami pun gegas naik ke lantai dua. Menuju ke ruang VIP 1 tempat Mas Faris menginap.
Baru saja kaki kami menginjakkan lorong yang menghubungkan ruang demi ruangan VIP, suara ribut-ribut sudah terdengar menggelegar. Pekik jerit dan adu mulut riuh rendah. Dua orang satpam bahkan tampak kewalahan untuk melerai pertengkaran itu.
“Semua gara anakmu! Anakku sekarang mati! Cepat tanggung jawab! Hidupkan anakku lagi!” Pekik itu menggema memenuhi lorong. Berasal dari beberapa meter di depan sana. Tak jauh dari sebuah pintu dengan plang di atasnya yang tertulis VIP 1.
BAGIAN 34 “Gista!” Ibu yang tengah duduk sambil menangis tersedu di samping tempat tidur Mas Faris langsung berseru memanggil namaku. Beliau bangkit. Terlihat sisa air mata yang membasahi wajah kusut Ibu. Aku baru saja masuk ke ruangan tempat Mas Faris menginap. Di dampingi Mama dan Papa. Di dalam ruangan, kulihat sudah ada Farah dan Pak Ken. Sedang Mas Faris masih terbaring lemah di atas pembaringan, lengkap dengan pelindung leher dan perban di kepalanya. “Iya, Bu.” Aku menyahut dengan suara datar. Mendatangi Ibu tanpa sebuah perasaan apa pun di dada. Semuanya biasa. Aku sepertinya memang sudah kehilangan respect kepada ibu mertuaku.
BAGIAN 35 “Eh, mukanya biasa aja, dong. Jangan tegang kaya gitu!” Pak Ken meledekku. Membuat detakan jantung semakin tambah kencang saja. “Ih, udah ah. Bapak pulang sana!” Usirku sambil mengibaskan tangan. “Tuh, kan. Bapak lagi. Ayolah, Gis. Mas Ken. Cepet! Aku pengen dengar kamu ngomong begitu.” “Nggak! Nggak ada mas ken-mas kenan! Sekali Bapak ya tetap aja bapak!” Pak Ken terlihat mengembuskan napasnya. “Susah. Keras kepala,” gumamnya pelan. “Siapa yang keras kepala? Aku? Emang!&r
BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di
BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki
BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya
BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel
BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang
BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”
BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”
BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang
BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel
BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya
BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki
BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di
BAGIAN 35 “Eh, mukanya biasa aja, dong. Jangan tegang kaya gitu!” Pak Ken meledekku. Membuat detakan jantung semakin tambah kencang saja. “Ih, udah ah. Bapak pulang sana!” Usirku sambil mengibaskan tangan. “Tuh, kan. Bapak lagi. Ayolah, Gis. Mas Ken. Cepet! Aku pengen dengar kamu ngomong begitu.” “Nggak! Nggak ada mas ken-mas kenan! Sekali Bapak ya tetap aja bapak!” Pak Ken terlihat mengembuskan napasnya. “Susah. Keras kepala,” gumamnya pelan. “Siapa yang keras kepala? Aku? Emang!&r
BAGIAN 34 “Gista!” Ibu yang tengah duduk sambil menangis tersedu di samping tempat tidur Mas Faris langsung berseru memanggil namaku. Beliau bangkit. Terlihat sisa air mata yang membasahi wajah kusut Ibu. Aku baru saja masuk ke ruangan tempat Mas Faris menginap. Di dampingi Mama dan Papa. Di dalam ruangan, kulihat sudah ada Farah dan Pak Ken. Sedang Mas Faris masih terbaring lemah di atas pembaringan, lengkap dengan pelindung leher dan perban di kepalanya. “Iya, Bu.” Aku menyahut dengan suara datar. Mendatangi Ibu tanpa sebuah perasaan apa pun di dada. Semuanya biasa. Aku sepertinya memang sudah kehilangan respect kepada ibu mertuaku.
BAGIAN 33 Mas Faris sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang berada di lantai dua. Informasi itu kami dapatkan dari perawat jaga IGD tempat suamiku tadinya dirawat. Kami pun gegas naik ke lantai dua. Menuju ke ruang VIP 1 tempat Mas Faris menginap. Baru saja kaki kami menginjakkan lorong yang menghubungkan ruang demi ruangan VIP, suara ribut-ribut sudah terdengar menggelegar. Pekik jerit dan adu mulut riuh rendah. Dua orang satpam bahkan tampak kewalahan untuk melerai pertengkaran itu. “Semua gara anakmu! Anakku sekarang mati! Cepat tanggung jawab! Hidupkan anakku lagi!” Pekik itu menggema memenuhi lorong. Berasal dari beberapa meter di depan sana. Tak jauh dari sebuah pintu dengan plang di atasnya yang tertulis VIP 1.