Share

Bab 2. Tes Kandungan Terselubung

“Bajingan Jeremy! Gimana bisa dia menusukmu dari belakang seperti ini!?”

Irene hanya menggeleng lemah. 

Setelah diusir seperti sampah, Irene memutuskan untuk pergi ke rumah sahabat dekatnya, Giana. 

Irene menceritakan semua yang terjadi padanya, kesialan bertubi-tubi yang terjadi dalam kurun waktu setengah hari saja. Hasilnya, kini gadis tomboy dengan rambut cepak dan tindikan anting di sana sini itu mengoceh penuh amarah.

“Temen kantormu juga berengsek, Ir!” rutuk Giana. “Jangan-jangan kamu sengaja disingkirkan biar ada yang naik jabatan?”

Irene menggeleng lagi, tatapannya tampak kosong. Ia tidak tahu dan otaknya sedang tidak bisa diajak berpikir. Kepalanya sedang dipenuhi dengan utang satu miliar, teganya Jeremy, dan asumsi bagaimana bisa Jeremy menjual tanah dan rumahnya, padahal aset-aset tersebut ada atas nama Irene.

“Kita lapor polisi saja, Ir,” usul Giana. “Ini masuk ke pencurian dan penipuan! Bisa jadi juga pemalsuan surat.”

Namun, Irene menolak. Ia tidak punya bukti.

Jangankan bukti, ia kemari hanya membawa diri dan apa yang melekat di tubuhnya saja. Irene tampak linglung hingga Giana akhirnya hanya memeluknya saja untuk menguatkan hati.

“... Utang 1 miliar itu gimana ya, Gi,” gumam Irene setelah beberapa saat terlewat. “Tadinya aku mau jual tanah, tapi–”

Sayangnya, Giana pun sebenarnya bukan konglomerat yang memandang uang itu sebagai nominal kecil. Ia sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu, apalagi untuk dipinjamkan pada Irene. 

Namun, tiba-tiba, Giana teringat sesuatu.

“Aku ada ide, Ir!” Giana berteriak, keras. “Bisa, kamu bisa hasilkan satu miliar dalam waktu singkat, asal kamu ikuti saranku ini.”

Irene tampak kebingungan, tapi Giana langsung menyodorkan ponselnya pada Irene.

“Kamu lamar pekerjaan ini, nanti dapat 1 miliar kalau lolos!”

***

Keesokan harinya, setelah Irene mengisi formulir dan menerima email konfirmasi, ia dijemput seorang pria 

Irene benar-benar dijemput oleh seorang pria paruh baya yang menyapa hangat di depan rumah Giana. “Selamat pagi, Nona. Saya Leon, kepala asisten Tuan Bright.”

Pria itu membukakan pintu mobil seraya berkata, “Mari.” 

‘Tuan Bright berarti pemilik perusahaannya ya? Apa dia yang kirim email?’ batin Irene bertanya-tanya. 

Membalas sapaan sang kepala asisten, Irene membungkuk sedikit sambil memperkenalkan diri, “Senang bertemu. Saya Irene Jackson.”

Dengan langkah cepat Irene melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Ia merasa canggung karena diperlakukan seperti orang penting, padahal hanya seorang calon karyawan. Belum tentu juga diterima.

Sementara kendaraan sedan itu membawa Irene menuju tempat tes, Leon menjelaskan jadwalnya hari ini. “Untuk hari ini, Anda akan langsung mengikuti tes kesehatan. Setelah itu, akan dilakukan psikotes saja.”

“Apa saya bisa langsung pulang, Pak Leon?” tanya Irene sedikit panik, karena ia ingat dalam email disebutkan kalau mereka sudah menyiapkan hotel untuk tinggal sementara sampai tes selesai.

Leon kemudian menjawab, “Kalau gagal, bisa langsung pulang, Nona Irene. Supir akan mengantar Anda kembali ke rumah.”

Sepanjang perjalanan Leon menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui Irene, termasuk orang yang akan ia temui untuk wawancara nanti, yaitu Adam Bright.

Namun, Irene terkejut ketika Leon mengklaim bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Yang ia datangi bukanlah bangunan kantor seperti pada umumnya. Melainkan sebuah rumah mewah yang mereka capai setelah melewati gerbang panjang penuh dengan pepohonan rimbun. 

Jantung Irene berdebar kencang. Bukan karena bersemangat, tetapi akibat pikiran negatif yang kembali muncul. ‘Apa aku akan dibunuh di sini? Apa akan dijadikan bahan penelitian?’

“Mari, Nona.” Leon membuka jalan bagi gadis yang tengah berusaha menutupi rasa panik yang mulai merambati. 

Irene memang pecinta film-film thriller dan hal itu cukup mempengaruhi pikirannya saat ini. ‘Kalau mereka tahu aku gugup, nanti pasti langsung ditangkap dengan kasar. Aku harus tenang. Ugh! Giana, kalau sampai kau juga menjebakku, bakal nggak tenang hidupmu. Bakal aku gentayangin.’

Jelas-jelas saat ini mereka berada di tengah hutan. Entah ibukota bagian mana yang punya rumah seperti ini? Irene tidak pernah tahu.

Karena sudah di sana, Irene tak punya pilihan selain mengekor Leon yang membawanya sampai di sebuah ruangan dengan beragam mesin dan orang-orang berpakaian khusus laboratorium. 

Salah satu staf laboratorium itu menyadari kedatangan Irene dan Leon kemudian menyapa, “Oh! Kandidat untuk Tuan Adam ya, Pak Leon?” 

Leon terlihat menganggukkan kepala. “Benar. Tolong segera dilakukan tes yang dibutuhkan Tuan Adam.”

Dengan perintah dari Leon, staf tersebut langsung membawa Irene menuju salah satu mesin yang ditutupi tirai. 

Sebelum masuk ke dalam tirai, Irene melihat beberapa wanita yang sepertinya juga mengikuti tes yang sama dengannya.

“Silakan duduk di sini dan letakkan ujung jari yang mana saja di area ini, Nona.” 

Irene mengangguk. ‘Sepertinya nggak seram. Yang aneh cuma kenapa untuk tes sederhana seperti ini mereka mau bayar semahal ini?’

Tidak sampai 10 menit, staf tadi kembali dan mengatakan kalau tesnya sudah selesai.

Irene bergegas beranjak dari mesin yang ia duduki dan menghampiri Leon yang menunggu di dekat pintu keluar. “Sudah, Pak Leon. Selanjutnya bagaimana?”

Leon mengangguk. Ia meminta Irene menunggu sebentar di sana. 

Irene melihat pria paruh baya itu menghubungi seseorang dan tak lama setelah memasukkan ponselnya ke dalam kantong jas, Leon kembali dengan berita, “Hasilnya sudah dikirim langsung ke Tuan Adam. Mari, saya antar menemui beliau.”

Irene kembali mengekor Leon dan setelah melewati koridor yang panjang mereka tiba di depan sebuah ruangan. 

Tanpa mengetuk, Leon membuka pintu dan menyapa orang yang sepertinya pemilik ruangan itu. “Selamat sore, Tuan Adam. Kandidat Irene Jackson sudah datang.”

Irene melangkah masuk setelah Leon memberi isyarat padanya. Ia tidak melihat siapa-siapa di ruangan itu. Jantungnya semakin berdebar tak karuan. Bahkan Leon meninggalkannya begitu saja di ruangan asing tersebut.

Di tengah rasa gugup bercampur panik, sebuah suara berat mengejutkannya. “Duduk.”

Seorang pria dengan wajah tampan tanpa senyuman muncul dari balik rak buku di belakang meja kerjanya. Irene begitu terpesona sampai ia tak sadar mengangakan mulutnya.

Dengan tampang tak peduli, pria itu kembali bersuara, “Nona Irene Jackson, saya Adam Bright. Bisa kita mulai wawancaranya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status