“Bajingan Jeremy! Gimana bisa dia menusukmu dari belakang seperti ini!?”
Irene hanya menggeleng lemah. Setelah diusir seperti sampah, Irene memutuskan untuk pergi ke rumah sahabat dekatnya, Giana. Irene menceritakan semua yang terjadi padanya, kesialan bertubi-tubi yang terjadi dalam kurun waktu setengah hari saja. Hasilnya, kini gadis tomboy dengan rambut cepak dan tindikan anting di sana sini itu mengoceh penuh amarah. “Temen kantormu juga berengsek, Ir!” rutuk Giana. “Jangan-jangan kamu sengaja disingkirkan biar ada yang naik jabatan?” Irene menggeleng lagi, tatapannya tampak kosong. Ia tidak tahu dan otaknya sedang tidak bisa diajak berpikir. Kepalanya sedang dipenuhi dengan utang satu miliar, teganya Jeremy, dan asumsi bagaimana bisa Jeremy menjual tanah dan rumahnya, padahal aset-aset tersebut ada atas nama Irene. “Kita lapor polisi saja, Ir,” usul Giana. “Ini masuk ke pencurian dan penipuan! Bisa jadi juga pemalsuan surat.” Namun, Irene menolak. Ia tidak punya bukti. Jangankan bukti, ia kemari hanya membawa diri dan apa yang melekat di tubuhnya saja. Irene tampak linglung hingga Giana akhirnya hanya memeluknya saja untuk menguatkan hati. “... Utang 1 miliar itu gimana ya, Gi,” gumam Irene setelah beberapa saat terlewat. “Tadinya aku mau jual tanah, tapi–” Sayangnya, Giana pun sebenarnya bukan konglomerat yang memandang uang itu sebagai nominal kecil. Ia sendiri tidak memiliki uang sebanyak itu, apalagi untuk dipinjamkan pada Irene. Namun, tiba-tiba, Giana teringat sesuatu. “Aku ada ide, Ir!” Giana berteriak, keras. “Bisa, kamu bisa hasilkan satu miliar dalam waktu singkat, asal kamu ikuti saranku ini.” Irene tampak kebingungan, tapi Giana langsung menyodorkan ponselnya pada Irene. “Kamu lamar pekerjaan ini, nanti dapat 1 miliar kalau lolos!” *** Keesokan harinya, setelah Irene mengisi formulir dan menerima email konfirmasi, ia dijemput seorang pria Irene benar-benar dijemput oleh seorang pria paruh baya yang menyapa hangat di depan rumah Giana. “Selamat pagi, Nona. Saya Leon, kepala asisten Tuan Bright.” Pria itu membukakan pintu mobil seraya berkata, “Mari.” ‘Tuan Bright berarti pemilik perusahaannya ya? Apa dia yang kirim email?’ batin Irene bertanya-tanya. Membalas sapaan sang kepala asisten, Irene membungkuk sedikit sambil memperkenalkan diri, “Senang bertemu. Saya Irene Jackson.” Dengan langkah cepat Irene melangkahkan kakinya ke dalam mobil. Ia merasa canggung karena diperlakukan seperti orang penting, padahal hanya seorang calon karyawan. Belum tentu juga diterima. Sementara kendaraan sedan itu membawa Irene menuju tempat tes, Leon menjelaskan jadwalnya hari ini. “Untuk hari ini, Anda akan langsung mengikuti tes kesehatan. Setelah itu, akan dilakukan psikotes saja.” “Apa saya bisa langsung pulang, Pak Leon?” tanya Irene sedikit panik, karena ia ingat dalam email disebutkan kalau mereka sudah menyiapkan hotel untuk tinggal sementara sampai tes selesai. Leon kemudian menjawab, “Kalau gagal, bisa langsung pulang, Nona Irene. Supir akan mengantar Anda kembali ke rumah.” Sepanjang perjalanan Leon menjelaskan hal-hal yang perlu diketahui Irene, termasuk orang yang akan ia temui untuk wawancara nanti, yaitu Adam Bright. Namun, Irene terkejut ketika Leon mengklaim bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Yang ia datangi bukanlah bangunan kantor seperti pada umumnya. Melainkan sebuah rumah mewah yang mereka capai setelah melewati gerbang panjang penuh dengan pepohonan rimbun. Jantung Irene berdebar kencang. Bukan karena bersemangat, tetapi akibat pikiran negatif yang kembali muncul. ‘Apa aku akan dibunuh di sini? Apa akan dijadikan bahan penelitian?’ “Mari, Nona.” Leon membuka jalan bagi gadis yang tengah berusaha menutupi rasa panik yang mulai merambati. Irene memang pecinta film-film thriller dan hal itu cukup mempengaruhi pikirannya saat ini. ‘Kalau mereka tahu aku gugup, nanti pasti langsung ditangkap dengan kasar. Aku harus tenang. Ugh! Giana, kalau sampai kau juga menjebakku, bakal nggak tenang hidupmu. Bakal aku gentayangin.’ Jelas-jelas saat ini mereka berada di tengah hutan. Entah ibukota bagian mana yang punya rumah seperti ini? Irene tidak pernah tahu. Karena sudah di sana, Irene tak punya pilihan selain mengekor Leon yang membawanya sampai di sebuah ruangan dengan beragam mesin dan orang-orang berpakaian khusus laboratorium. Salah satu staf laboratorium itu menyadari kedatangan Irene dan Leon kemudian menyapa, “Oh! Kandidat untuk Tuan Adam ya, Pak Leon?” Leon terlihat menganggukkan kepala. “Benar. Tolong segera dilakukan tes yang dibutuhkan Tuan Adam.” Dengan perintah dari Leon, staf tersebut langsung membawa Irene menuju salah satu mesin yang ditutupi tirai. Sebelum masuk ke dalam tirai, Irene melihat beberapa wanita yang sepertinya juga mengikuti tes yang sama dengannya. “Silakan duduk di sini dan letakkan ujung jari yang mana saja di area ini, Nona.” Irene mengangguk. ‘Sepertinya nggak seram. Yang aneh cuma kenapa untuk tes sederhana seperti ini mereka mau bayar semahal ini?’ Tidak sampai 10 menit, staf tadi kembali dan mengatakan kalau tesnya sudah selesai. Irene bergegas beranjak dari mesin yang ia duduki dan menghampiri Leon yang menunggu di dekat pintu keluar. “Sudah, Pak Leon. Selanjutnya bagaimana?” Leon mengangguk. Ia meminta Irene menunggu sebentar di sana. Irene melihat pria paruh baya itu menghubungi seseorang dan tak lama setelah memasukkan ponselnya ke dalam kantong jas, Leon kembali dengan berita, “Hasilnya sudah dikirim langsung ke Tuan Adam. Mari, saya antar menemui beliau.” Irene kembali mengekor Leon dan setelah melewati koridor yang panjang mereka tiba di depan sebuah ruangan. Tanpa mengetuk, Leon membuka pintu dan menyapa orang yang sepertinya pemilik ruangan itu. “Selamat sore, Tuan Adam. Kandidat Irene Jackson sudah datang.” Irene melangkah masuk setelah Leon memberi isyarat padanya. Ia tidak melihat siapa-siapa di ruangan itu. Jantungnya semakin berdebar tak karuan. Bahkan Leon meninggalkannya begitu saja di ruangan asing tersebut. Di tengah rasa gugup bercampur panik, sebuah suara berat mengejutkannya. “Duduk.” Seorang pria dengan wajah tampan tanpa senyuman muncul dari balik rak buku di belakang meja kerjanya. Irene begitu terpesona sampai ia tak sadar mengangakan mulutnya. Dengan tampang tak peduli, pria itu kembali bersuara, “Nona Irene Jackson, saya Adam Bright. Bisa kita mulai wawancaranya?”“Si—silakan, Pak Adam.” Suara Irene terdengar lemah menjawab Adam. Adam pun menghampiri Irene yang sudah duduk di salah satu sofa yang disediakan, kemudian meletakkan beberapa berkas di hadapan gadis muda itu seraya berkata, “Background checked. Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Deg! Jantung Irene seolah berhenti sesaat ketika Adam menyebut insiden yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Terlebih lagi, ada foto dan data Irene di berkas yang baru saja diletakkan di depannya. Spontan ia membantah, “Tapi saya tidak bersalah! Saya—” “Saya tahu,” potong Adam sambil mengangkat telapak tangan ke arah Irene, memintanya untuk tenang. “Saya hanya menyebut kalau Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Lagi, Adam melanjutkan, “Kalau tidak bersalah, berarti maksudnya Anda dijebak?” Dahi Irene mengkerut, heran karena sepertinya Adam sangat mengetahui apa yang terjadi padanya di perusahaan lama. “Bagaimana Anda tahu kalau saya bermasalah di perusahaan lama saya?” “Sepertinya
Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam. “Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.” “Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.” Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.” “Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat. “Tapi—” Adam segera mengangkat tangannya dengan
“Keturunan?! Sekarang?!” pekik Irene dalam hati saat memahami apa yang diinginkan Adam darinya malam ini. Ia hanya bisa memelototi punggung Adam yang semakin menjauh meninggalkannya begitu saja setelah mengatakan hal memalukan tadi. Belum reda paniknya, Nannia datang mendekati Irene dan berkata, “Mari, Non Irene. Saya sudah menyiapkan lulur mandi.” Irene menatap sang asisten rumah tangga dengan tatapan horor, seolah ia tengah berhadapan dengan zombie yang akan memakan otaknya. “Lulur?!” Nannia mengangguk. Ia tersenyum singkat sambil membantu Irene beranjak dari sofa tempatnya duduk. “Tidak hanya lulur. Ada juga ratus rempah dan treatment lainnya, untuk malam Nona dan Tuan.” Walau Irene kerap mempertanyakan semua kegunaan dari hal yang disebutkan Nannia, asistennya itu dengan sabar meladeni sambil membawa gadis itu kembali ke kamar untuk persiapan malam pertama. Bukannya Irene tidak tahu menahu soal persiapan menjadi pengantin, karena ia sendiri adalah mantan calon pengantin seb
Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai. Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya. Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.” Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior N
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L
Dengan banyaknya hal yang diserap Irene malam ini, ia akhirnya kehabisan energi dan terlelap tanpa ia sadari. Ditambah ketegangan malam pertama yang sekali lagi hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena pada akhirnya tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adam. Begitupun, ia cukup bersyukur, karena kedatangan Aldrich membuat Adam tidak jadi melahapnya malam ini. Irene masih belum siap menerima pria tersebut. “Ah … sudah tidur ternyata,” gumam Adam yang akhirnya selesai bicara dengan Aldrich. Dan ketika kembali ke kamar, ia malah mendapati Irene terlelap dengan posisi membentang di atas tempat tidurnya. “Kenapa juga tidurnya miring begini. Apa dia tipe yang tidurnya nggak bisa diem ya?” Adam mencoba membetulkan posisi tidur Irene dan menyelimuti gadis itu. Ia menatap tempat tidurnya kemudian beralih ke sofa dan memutuskan, “Sebaiknya aku tidur di sofa. Besok aku minta Leon menjebol kamar sebelah.”
Wajah Irene terlihat panik, karena ia tidak menyangka kalau Aldrich akan langsung menembaknya dengan pernyataan seperti itu. "Wow! Sepertinya aku sudah harus menggunakan keahlian baruku sebagai artis!" keluhnya dalam hati. Dengan netra berkaca-kaca, Irene tergagap seolah terkejut dengan ucapan Aldrich. “Si—siapa yang bilang?” Sambil memamerkan cengiran kekanakan, Aldrich menjawab, “Kak Adam. Kalian benar menikah secara kontrak, kan?” Irene sadar kalau Aldrich hanya ingin memancing. Adik laki-laki dari suaminya itu seperti mengarahkan pikiran Irene bahwa Adam memberitahu Aldrich soal rahasia ini. Yang tidak diketahui Aldrich, semua informasi terkait hubungan Adam dengan keluarga, sudah diketahui oleh Irene. Berusaha keras menangis seperti orang patah hati, Irene kemudian berjongkok di tempatnya, membuat Aldrich menaikkan salah satu alisnya. Heran. Tak lama kemudian
“Omong kosong, Claire. Semua sudah berakhir. Tidak ada pentingnya mengungkit hal itu,” tegur Adam dengan mata menyipit.Namun, sepertinya Claire tidak mau menyerah begitu saja. Ia terus membahas hubungan spesial yang pernah hadir di antara mereka.Artis cantik itu merengek, “Kau tahu, aku sakit hati saat Aldrich mengatakan kau sudah menikah. Katakan, apa dia lebih cantik dariku, Adam?”“Ha?! Menikah?!” bisik Julia dengan mata melotot, karena tak sengaja mendapat berita di luar perkiraan.Saat itulah Irene memutuskan untuk mengetuk pintu. Ia tidak mungkin membiarkan Julia mendengar pengakuan dari mulut Adam kalau pria itu benar-benar sudah menikah. Kalau sampai te