“Jangan bohong! Semua bukti sudah jelas, dan kamu masih berusaha mengelak?” ucap pria paruh baya itu. “Atau kamu menuduh saya asal bicara!?”
Irene menunduk, tidak berani menatap bosnya yang sedang berdiri di hadapan. Matanya berkaca-kaca karena dimarahi seperti itu. Setelah makan siang tadi, tiba-tiba Irene dipanggil oleh atasannya tersebut dan dituduh merugikan perusahaan karena menyetujui harga penjualan produk yang tidak standar. Padahal Irene tidak pernah melakukannya! Namun, bosnya menyodorkan bukti bahwa memang sistem di komputer Irene lah yang mengonfirmasi hal tersebut, membuat perusahaan menanggung kerugian hingga nyaris satu miliar. “Kamu dipecat!” Bos Irene berucap kembali dengan nada keras. “HRD akan bantu buat hitung nominal ganti rugi yang harus kamu bayar.” Sepasang mata Irene membeliak tidak percaya. Sontak ia mengangkat wajahnya dan menatap sang atasan. “T-tapi, Pak. Bukan saya–” Brak! “Cukup, Irene!” raung sang CEO semakin keras, kali ini sembari menghantam meja, mengejutkan Irene. “Silakan kamu angkat kaki dari sini. Saya tidak mau dengar apapun darimu lagi.” “Pak–” “Keluar!” Pada akhirnya, Irene gagal untuk membela dirinya. Selain itu, Irene juga tidak punya bukti yang kuat, serta tidak ada yang mau bersaksi untuknya. Padahal, saat kejadian itu, jelas-jelas semua anggota timnya melihat sendiri kalau Irene dipanggil untuk rapat dan tidak ada di meja kerja. Namun, seakan mereka memang sengaja bekerja sama untuk menendangnya dari sana. Irene kembali ke mejanya, merasa linglung. Mungkin ia tidak akan sepusing ini jika ia hanya dipecat saja. Namun … satu miliar itu? Bagaimana Irene bisa membayar ganti rugi itu? “Irene, kamu baik-baik saja?” Netra Irene menatap Bu Aimee, sang kepala sekretaris—wanita paruh baya berkulit putih yang biasa duduk di belakangnya itu. Pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mengkonfrontasi wanita itu dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pemecatannya ini atau diam saja. Kenapa seakan-akan semua menggiringnya untuk pergi dari sini? Pada akhirnya, Irene berucap, “Bu Aimee, kenapa Ibu bersaksi palsu? Ibu kan jelas-jelas tahu kalau saya dipangil rapat saat kejadian.” Bu Aimee tampak bersalah. “Maaf, Ir. Saya–” “Aduh, Mbak, kenapa jadi menyalahkan Bu Aimee? Harusnya Mbak itu justru minta maaf!” Tiba-tiba, salah seorang rekan kerjanya menyela obrolan Irene dan langsung mengomel dengan suara nyaring, memancing perhatian seluruh orang yang ada di lantai tersebut. “Jangan tidak tahu diri begitu. Saya jadi nggak respek lagi sama Mbak.” Langsung saja, terdengar kasak-kusuk di lantai tersebut. “Oh, itu orangnya? Si Irene?” “Gila, nggak tahu malu banget. Mau nyalahin orang lain.” “Orangnya kayak nggak becus kerja begitu.” Irene memejamkan matanya, menahan rasa sakit hati dan air mata yang mengancam akan keluar. Ia tidak menyadari, orang yang tadi menyela obrolannya tengah tersenyum sinis diam-diam. “Aku dengar Mbak sudah diberhentikan. Kalau begitu, terima saja! Jangan menyeret orang yang tidak bersalah begitu.” *** “Kasus ini ditutup tanpa investigasi lebih lanjut.” Ucapan HRD itu terngiang di kepala Irene dalam perjalanannya pulang ke rumah. Sejak awal, masalahnya di kantor ini sudah aneh, apalagi dengan penyelesaian seperti ini. Ada banyak kecurigaan yang ada dalam diri Irene, tapi semuanya kalah oleh tuntutan 1 miliar untuk menutup kerugian perusahaan yang dibebankan padanya. Irene bisa merasakan aura dingin menjalar dari tengkuk leher dan menyebar ke punggungnya. “Satu miliar? Uang dari mana?” gumam Irene lemah. “Dan … harus kubayar akhir bulan ini?” Manik mata Irene kini dilapisi cairan bening yang berkumpul semakin banyak di pelupuknya. Ia kembali memejamkan mata, membuat sebagian cairan tadi jatuh menelusur pipinya. “Sakit jiwa!” gerutunya. Ia mencoba menenangkan diri sebelum sampai di rumah. “Mungkin aku harus jual mobil,” pikir gadis itu kemudian. “Seenggaknya, aku masih punya rumah dan mobil. Mungkin aku harus jual tanah warisan dari Mama Papa juga.” Irene mengangguk, seolah setuju dengan keputusannya, sekalipun dengan terpaksa. Rumah yang dihuni sekarang pun merupakan warisan berharga peninggalan kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan pesawat terbang saat ia berusia 18 tahun. Ia tinggal di sana dengan tunangannya, pria yang sedang merencanakan pernikahan bersamanya dalam waktu dekat. “Yah, sepertinya pernikahan harus diundur,” gumam Irene. “Namun, Jeremy pasti mengerti kalau–” Ucapan Irene terhenti. Sepasang matanya terbelalak saat melihat barang-barang Irene ada di halaman luar rumahnya. Buru-buru gadis itu menghampiri rumahnya. “Apa-apaan ini!?” teriaknya. “Apa yang kalian lakukan di rumah saya!?” Teriakan Irene yang terdengar marah memancing perhatian para pekerja dan seorang pria paruh baya yang ada di sana. “Heh! Siapa yang mengizinkan gadis ini masuk?” bentak pria paruh baya tersebut. “Seret dia keluar!” “Bapak siapa?” balas Irene. Bingung, sedih, dan marah bercampur jadi satu. “Ini rumah saya!” “Halah, ngaku-ngaku!” sergah pria asing tersebut. “Rumah ini sudah saya beli dari pemiliknya, Pak Jeremy!” Apa? Kaki Irene lemas hingga ia terduduk di lantai. Tunangannya sendiri menjual rumah Irene? “Kalau kamu ada masalah, ya hubungi saja Pak Jeremy. Jangan buat ribut di rumah baru saya!” Seakan tidak punya rasa belas kasih, pria paruh baya itu memerintahkan pada para pekerjanya untuk menyeret Irene keluar dan melemparkannya ke jalanan. Entah berapa lama Irene terdiam di sana untuk memproses apa yang baru saja terjadi hingga kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sang kekasih. Sekali. Dua kali. Tidak diangkat. “Berengsek. Jeremy … tidak mungkin kamu melakukan ini padaku, kan?” gumam Irene putus asa. Pada usahanya yang ketiga, akhirnya panggilan Irene diangkat. “Irene,” ucap Jeremy singkat. “Ada apa kamu menghubungiku?” “Ada apa?” ulang Irene. Kemarahan membuncah di dadanya karena sahutan pria itu. “Kamu menjual rumahku dan kamu justru bertanya ada apa!?” “Ah.” Di seberang saluran telepon, Jeremy menghela napas. “Kamu sudah memberikan rumah dan tanah itu untukku, Ir. Terserah padaku mau kuapakan.” Irene mengernyit. Namun, sorot matanya tampak murka. “Aku tidak pernah memberikan–!” “Dan, Irene,” potong Jeremy. “Mulai hari ini, kita tidak lagi punya hubungan apa-apa.”“Bajingan Jeremy! Gimana bisa dia menusukmu dari belakang seperti ini!?” Irene hanya menggeleng lemah. Setelah diusir seperti sampah, Irene memutuskan untuk pergi ke rumah sahabat dekatnya, Giana. Irene menceritakan semua yang terjadi padanya, kesialan bertubi-tubi yang terjadi dalam kurun waktu setengah hari saja. Hasilnya, kini gadis tomboy dengan rambut cepak dan tindikan anting di sana sini itu mengoceh penuh amarah. “Temen kantormu juga berengsek, Ir!” rutuk Giana. “Jangan-jangan kamu sengaja disingkirkan biar ada yang naik jabatan?” Irene menggeleng lagi, tatapannya tampak kosong. Ia tidak tahu dan otaknya sedang tidak bisa diajak berpikir. Kepalanya sedang dipenuhi dengan utang satu miliar, teganya Jeremy, dan asumsi bagaimana bisa Jeremy menjual tanah dan rumahnya, padahal aset-aset tersebut ada atas nama Irene. “Kita lapor polisi saja, Ir,” usul Giana. “Ini masuk ke pencurian dan penipuan! Bisa jadi juga pemalsuan surat.” Namun, Irene menolak. Ia tidak punya bukti. J
“Si—silakan, Pak Adam.” Suara Irene terdengar lemah menjawab Adam. Adam pun menghampiri Irene yang sudah duduk di salah satu sofa yang disediakan, kemudian meletakkan beberapa berkas di hadapan gadis muda itu seraya berkata, “Background checked. Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Deg! Jantung Irene seolah berhenti sesaat ketika Adam menyebut insiden yang terjadi padanya beberapa hari yang lalu. Terlebih lagi, ada foto dan data Irene di berkas yang baru saja diletakkan di depannya. Spontan ia membantah, “Tapi saya tidak bersalah! Saya—” “Saya tahu,” potong Adam sambil mengangkat telapak tangan ke arah Irene, memintanya untuk tenang. “Saya hanya menyebut kalau Anda bermasalah di pekerjaan sebelumnya.” Lagi, Adam melanjutkan, “Kalau tidak bersalah, berarti maksudnya Anda dijebak?” Dahi Irene mengkerut, heran karena sepertinya Adam sangat mengetahui apa yang terjadi padanya di perusahaan lama. “Bagaimana Anda tahu kalau saya bermasalah di perusahaan lama saya?” “Sepertinya
Netra Irene membulat mendengar perkataan Adam. “Tu–tunggu sebentar Pak Adam, apa maksudnya dengan saya tinggal di rumah Bapak?” tanya Irene yang sepertinya tidak bisa mengikuti arah tujuan pikiran Adam. Dahi Adam berkerut kesal, tak suka jika ucapannya dipertanyakan. “Pernikahan dihitung mulai besok, akan lebih mudah mengontrolmu dari dekat.” “Besok?! Secepat itu, Pak?!” pekiknya terkejut. Ia tak berpikir kalau statusnya akan berubah hanya dalam hitungan hari. Adam menghela napas tak sabaran karena harus menjelaskan banyak hal pada Irene. “Saya tidak bisa membuang waktu. Toh ini hanya formalitas untuk menjaga norma, sebelum saya menyentuh Anda.” Secepat kilat Irene mencari alasan dan berusaha membuat pria kaku itu mengubah keputusannya. “Baiklah saya paham. Tapi, bukankah ini hal rahasia. Kalau saya ada di rumah Pak Adam, akan lebih mudah terbongkar.” “Tidak masalah. Kita hanya harus lebih berhati-hati.” Adam membalas singkat. “Tapi—” Adam segera mengangkat tangannya dengan
“Keturunan?! Sekarang?!” pekik Irene dalam hati saat memahami apa yang diinginkan Adam darinya malam ini. Ia hanya bisa memelototi punggung Adam yang semakin menjauh meninggalkannya begitu saja setelah mengatakan hal memalukan tadi. Belum reda paniknya, Nannia datang mendekati Irene dan berkata, “Mari, Non Irene. Saya sudah menyiapkan lulur mandi.” Irene menatap sang asisten rumah tangga dengan tatapan horor, seolah ia tengah berhadapan dengan zombie yang akan memakan otaknya. “Lulur?!” Nannia mengangguk. Ia tersenyum singkat sambil membantu Irene beranjak dari sofa tempatnya duduk. “Tidak hanya lulur. Ada juga ratus rempah dan treatment lainnya, untuk malam Nona dan Tuan.” Walau Irene kerap mempertanyakan semua kegunaan dari hal yang disebutkan Nannia, asistennya itu dengan sabar meladeni sambil membawa gadis itu kembali ke kamar untuk persiapan malam pertama. Bukannya Irene tidak tahu menahu soal persiapan menjadi pengantin, karena ia sendiri adalah mantan calon pengantin seb
Sejak hari di mana persiapan malam pertamanya menjadi sia-sia, 3 hari berlalu dengan damai. Dan karena sudah mulai bekerja, Irene kini harus membagi pikirannya sebagai istri kontrak Adam dan juga sebagai staf sekretaris Bright Co.Ltd.“Irene, ini Noora. Dia yang akan mengajari semua pekerjaan yang biasa dikerjakan.” Staf personalia yang mengantar Irene mengenalkan seorang wanita muda dengan rambut pendek di bawah telinga.Wanita bernama Noora itu langsung mengulurkan tangan dengan senyum ramahnya. “Hai! Aku Noora. Santai saja ya, Irene.”Gugup, Irene langsung menyambut jabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya. Sebelum meninggalkan Irene dan Noora untuk melanjutkan pekerjaan, staf personalia itu berpesan, “Irene, saya harap satu minggu cukup buat kamu sudah menguasai semua pekerjaan, jadi Noora tidak perlu direpotkan setelah pindah divisi nanti.” Irene terkejut. Ia tak menyangka kalau dirinya akan menggantikan posisi Noora. “Oh?! Saya pikir saya akan satu divisi dengan senior N
Cih! Adam berdecak kesal. Posisinya benar-benar sedang tak ingin diganggu dan hasratnya sudah terlanjur tersentuh dengan aura malam pertama, tapi si pengganggu sepertinya tak peduli. Sementara Irene terkesiap. Tak menyangka kalau ada yang berani membuka kamar pribadi Adam tanpa mengetuk pintu. “Seharusnya kau mengunci pintu, Kakakku. Atau kau lebih suka dilihat orang?” kekehan sinis mengikuti di belakang kalimat tanya itu.Dengan wajah kesal, Adam turun dari tempat tidur dan menghujamkan pandangannya pada si pengganggu. Ia menyisir kasar rambutnya seraya melemparkan protes keras, “Kau yang harusnya punya sopan santun, Al.”“Aw … maaf kalau begitu. Aku hanya terlalu bersemangat untuk memberi ucapan selamat pada kakak iparku,” ujar laki-laki yang wajahnya sangat muda itu. Ada sedikit kemiripan dengan Adam terlihat di sana. Seperti lesung pipit yang terbentuk saat tersenyum, Irene pernah menangkap keberadaan lesung pipit itu saat Adam berbincang dengannya di ruang makan kala lalu.L
Dengan banyaknya hal yang diserap Irene malam ini, ia akhirnya kehabisan energi dan terlelap tanpa ia sadari. Ditambah ketegangan malam pertama yang sekali lagi hanyalah sebuah kesia-siaan belaka, karena pada akhirnya tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Adam. Begitupun, ia cukup bersyukur, karena kedatangan Aldrich membuat Adam tidak jadi melahapnya malam ini. Irene masih belum siap menerima pria tersebut. “Ah … sudah tidur ternyata,” gumam Adam yang akhirnya selesai bicara dengan Aldrich. Dan ketika kembali ke kamar, ia malah mendapati Irene terlelap dengan posisi membentang di atas tempat tidurnya. “Kenapa juga tidurnya miring begini. Apa dia tipe yang tidurnya nggak bisa diem ya?” Adam mencoba membetulkan posisi tidur Irene dan menyelimuti gadis itu. Ia menatap tempat tidurnya kemudian beralih ke sofa dan memutuskan, “Sebaiknya aku tidur di sofa. Besok aku minta Leon menjebol kamar sebelah.”
Wajah Irene terlihat panik, karena ia tidak menyangka kalau Aldrich akan langsung menembaknya dengan pernyataan seperti itu. "Wow! Sepertinya aku sudah harus menggunakan keahlian baruku sebagai artis!" keluhnya dalam hati. Dengan netra berkaca-kaca, Irene tergagap seolah terkejut dengan ucapan Aldrich. “Si—siapa yang bilang?” Sambil memamerkan cengiran kekanakan, Aldrich menjawab, “Kak Adam. Kalian benar menikah secara kontrak, kan?” Irene sadar kalau Aldrich hanya ingin memancing. Adik laki-laki dari suaminya itu seperti mengarahkan pikiran Irene bahwa Adam memberitahu Aldrich soal rahasia ini. Yang tidak diketahui Aldrich, semua informasi terkait hubungan Adam dengan keluarga, sudah diketahui oleh Irene. Berusaha keras menangis seperti orang patah hati, Irene kemudian berjongkok di tempatnya, membuat Aldrich menaikkan salah satu alisnya. Heran. Tak lama kemudian