Home / Urban / Kontrak Rahasia: Melahirkan Putra Tuan Presdir / Bab 1. Fitnah dan Pengkhianatan

Share

Kontrak Rahasia: Melahirkan Putra Tuan Presdir
Kontrak Rahasia: Melahirkan Putra Tuan Presdir
Author: Lovely Bintang

Bab 1. Fitnah dan Pengkhianatan

“Jangan bohong! Semua bukti sudah jelas, dan kamu masih berusaha mengelak?” ucap pria paruh baya itu. “Atau kamu menuduh saya asal bicara!?”

Irene menunduk, tidak berani menatap bosnya yang sedang berdiri di hadapan. Matanya berkaca-kaca karena dimarahi seperti itu.

Setelah makan siang tadi, tiba-tiba Irene dipanggil oleh atasannya tersebut dan dituduh merugikan perusahaan karena menyetujui harga penjualan produk yang tidak standar.

Padahal Irene tidak pernah melakukannya!

Namun, bosnya menyodorkan bukti bahwa memang sistem di komputer Irene lah yang mengonfirmasi hal tersebut, membuat perusahaan menanggung kerugian hingga nyaris satu miliar.

“Kamu dipecat!” Bos Irene berucap kembali dengan nada keras. “HRD akan bantu buat hitung nominal ganti rugi yang harus kamu bayar.”

Sepasang mata Irene membeliak tidak percaya. Sontak ia mengangkat wajahnya dan menatap sang atasan.

“T-tapi, Pak. Bukan saya–”

Brak!

“Cukup, Irene!” raung sang CEO semakin keras, kali ini sembari menghantam meja, mengejutkan Irene. “Silakan kamu angkat kaki dari sini. Saya tidak mau dengar apapun darimu lagi.”

“Pak–”

“Keluar!”

Pada akhirnya, Irene gagal untuk membela dirinya. Selain itu, Irene juga tidak punya bukti yang kuat, serta tidak ada yang mau bersaksi untuknya. Padahal, saat kejadian itu, jelas-jelas semua anggota timnya melihat sendiri kalau Irene dipanggil untuk rapat dan tidak ada di meja kerja.

Namun, seakan mereka memang sengaja bekerja sama untuk menendangnya dari sana.

Irene kembali ke mejanya, merasa linglung. 

Mungkin ia tidak akan sepusing ini jika ia hanya dipecat saja. Namun … satu miliar itu?

Bagaimana Irene bisa membayar ganti rugi itu?

“Irene, kamu baik-baik saja?”

Netra Irene menatap Bu Aimee, sang kepala sekretaris—wanita paruh baya berkulit putih yang biasa duduk di belakangnya itu. Pikirannya berkecamuk. 

Haruskah ia mengkonfrontasi wanita itu dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pemecatannya ini atau diam saja. Kenapa seakan-akan semua menggiringnya untuk pergi dari sini?

Pada akhirnya, Irene berucap, “Bu Aimee, kenapa Ibu bersaksi palsu? Ibu kan jelas-jelas tahu kalau saya dipangil rapat saat kejadian.”

Bu Aimee tampak bersalah. “Maaf, Ir. Saya–”

“Aduh, Mbak, kenapa jadi menyalahkan Bu Aimee? Harusnya Mbak itu justru minta maaf!” Tiba-tiba, salah seorang rekan kerjanya menyela obrolan Irene dan langsung mengomel dengan suara nyaring, memancing perhatian seluruh orang yang ada di lantai tersebut. “Jangan tidak tahu diri begitu. Saya jadi nggak respek lagi sama Mbak.”

Langsung saja, terdengar kasak-kusuk di lantai tersebut.

“Oh, itu orangnya? Si Irene?”

“Gila, nggak tahu malu banget. Mau nyalahin orang lain.”

“Orangnya kayak nggak becus kerja begitu.”

Irene memejamkan matanya, menahan rasa sakit hati dan air mata yang mengancam akan keluar. Ia tidak menyadari, orang yang tadi menyela obrolannya tengah tersenyum sinis diam-diam.

“Aku dengar Mbak sudah diberhentikan. Kalau begitu, terima saja! Jangan menyeret orang yang tidak bersalah begitu.”

***

“Kasus ini ditutup tanpa investigasi lebih lanjut.”

Ucapan HRD itu terngiang di kepala Irene dalam perjalanannya pulang ke rumah. Sejak awal, masalahnya di kantor ini sudah aneh, apalagi dengan penyelesaian seperti ini.

Ada banyak kecurigaan yang ada dalam diri Irene, tapi semuanya kalah oleh tuntutan 1 miliar untuk menutup kerugian perusahaan yang dibebankan padanya.

Irene bisa merasakan aura dingin menjalar dari tengkuk leher dan menyebar ke punggungnya. 

“Satu miliar? Uang dari mana?” gumam Irene lemah. “Dan … harus kubayar akhir bulan ini?”

Manik mata Irene kini dilapisi cairan bening yang berkumpul semakin banyak di pelupuknya. Ia kembali memejamkan mata, membuat sebagian cairan tadi jatuh menelusur pipinya. 

“Sakit jiwa!” gerutunya.

Ia mencoba menenangkan diri sebelum sampai di rumah.

“Mungkin aku harus jual mobil,” pikir gadis itu kemudian. “Seenggaknya, aku masih punya rumah dan mobil. Mungkin aku harus jual tanah warisan dari Mama Papa juga.” 

Irene mengangguk, seolah setuju dengan keputusannya, sekalipun dengan terpaksa.

Rumah yang dihuni sekarang pun merupakan warisan berharga peninggalan kedua orang tuanya yang meninggal karena kecelakaan pesawat terbang saat ia berusia 18 tahun. Ia tinggal di sana dengan tunangannya, pria yang sedang merencanakan pernikahan bersamanya dalam waktu dekat.

“Yah, sepertinya pernikahan harus diundur,” gumam Irene. “Namun, Jeremy pasti mengerti kalau–”

Ucapan Irene terhenti. Sepasang matanya terbelalak saat melihat barang-barang Irene ada di halaman luar rumahnya.  Buru-buru gadis itu menghampiri rumahnya.

“Apa-apaan ini!?” teriaknya. “Apa yang kalian lakukan di rumah saya!?”

Teriakan Irene yang terdengar marah memancing perhatian para pekerja dan seorang pria paruh baya yang ada di sana.

“Heh! Siapa yang mengizinkan gadis ini masuk?” bentak pria paruh baya tersebut. “Seret dia keluar!”

“Bapak siapa?” balas Irene. Bingung, sedih, dan marah bercampur jadi satu. “Ini rumah saya!”

“Halah, ngaku-ngaku!” sergah pria asing tersebut. “Rumah ini sudah saya beli dari pemiliknya, Pak Jeremy!”

Apa?

Kaki Irene lemas hingga ia terduduk di lantai. 

Tunangannya sendiri menjual rumah Irene?

“Kalau kamu ada masalah, ya hubungi saja Pak Jeremy. Jangan buat ribut di rumah baru saya!”

Seakan tidak punya rasa belas kasih, pria paruh baya itu memerintahkan pada para pekerjanya untuk menyeret Irene keluar dan melemparkannya ke jalanan.

Entah berapa lama Irene terdiam di sana untuk memproses apa yang baru saja terjadi hingga kemudian ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sang kekasih.

Sekali. Dua kali. Tidak diangkat.

“Berengsek. Jeremy … tidak mungkin kamu melakukan ini padaku, kan?” gumam Irene putus asa.

Pada usahanya yang ketiga, akhirnya panggilan Irene diangkat.

“Irene,” ucap Jeremy singkat. “Ada apa kamu menghubungiku?”

“Ada apa?” ulang Irene. Kemarahan membuncah di dadanya karena sahutan pria itu. “Kamu menjual rumahku dan kamu justru bertanya ada apa!?”

“Ah.” Di seberang saluran telepon, Jeremy menghela napas. “Kamu sudah memberikan rumah dan tanah itu untukku, Ir. Terserah padaku mau kuapakan.”

Irene mengernyit. Namun, sorot matanya tampak murka. “Aku tidak pernah memberikan–!”

“Dan, Irene,” potong Jeremy. “Mulai hari ini, kita tidak lagi punya hubungan apa-apa.”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Say_the name
kasian banget si Irene
goodnovel comment avatar
Inura Lubyanka
Si jeremy bikin kesel!!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status