“Nggak usah dipikirkan masalah itu. Jalani saja hubungan kita seperti di rumah. Dengan begini, kau nggak repot kan? Tinggal bersikap padaku seperti biasa kau di rumah saja.”Irene terdiam menatap Adam. Ia merasa ada yang tidak beres dengan otak pria itu. Di awal pertemuan mereka terasa sekali aura ‘lahirkan anakku dan kita selesai’. Namun sekarang, Irene sama sekali tidak merasakan hawa seperti itu lagi. “Apa benar nggak apa-apa? Apa aku bisa menganggap kita saling cinta dan bersikap layaknya pasangan di luar sana?” tanya Irene lagi. Hatinya meluap dengan harapan. Adam tertegun cukup lama ketika mendengar ucapan Irene. Untungnya dia bukan tipe pria yang wajahnya bisa memerah karena tersipu. Kemudian, pria itu mengangguk setuju. “Yeah. Sure. Yang penting kau senang dan nggak stres, Irene. Nggak baik buat kesehatanmu sekarang.”Diam-diam, Irene tersenyum kecut. Harapannya langsung hancur mendengar ucapan Adam. “Tapi begini juga sudah diluar perkiraan. Dulu, kupikir aku akan diabaika
Satu minggu sudah berlalu sejak kejadian itu. Suasana kerja di ruang sekretariat sudah kembali normal. Sementara Irene tetap menyibukkan diri bekerja sebagai sekretaris, Adam pun tengah sibuk mencari keberadaan Jeremy. Sang CEO sudah memenuhi 2 permintaan Irene yaitu membayarkan denda pada perusahaan lama Irene dan membelikan city car. Ia bahkan sudah membersihkan nama Irene dari tuduhan-tuduhan jahat. Dan kali ini, ia berniat untuk menyelesaikan permintaan gadis itu yang terakhir, sebelum anaknya lahir. Mengambil kembali semua harta warisan yang sudah direbut Jeremy darinya. “Pria ini sepertinya cukup lihai bersembunyi. Kau benar-benar tak dapat info apapun Galv?”Pria dengan bekas luka memanjang dari atas alis sampai di bawah mata kanannya itu membungkuk. “Maaf, Bos. Kami belum berhasil melacaknya.”Adam mengurut dahinya. Frustrasi. “Apa kau sudah bisa membuat janji dengan pemilik rumah yang baru itu?”Lagi-lagi Galva membuat Adam kecewa dengan gelengan kepalanya. “Menurut kete
Mendapat kabar baik dari Galva, Adam pun segera memanggil Irene untuk mendiskusikan kalau-kalau gadis itu ingin ikut menemui mantan tunangannya.“Aku memang bilang pada Galva kalau aku akan membawamu, hanya karena aku pikir kau akan memaksa untuk ikut, Ir,” ungkap Adam. Lagi, tambahnya, “Sebenarnya akan lebih baik kalau kau menunggu semua selesai dan menemui orang itu dari balik jeruji besi. Apalagi kondisi kesehatanmu sedang tidak terlalu baik.”Irene berpikir keras, menimbang ini dan itu. Jelas ia sangat ingin menemui Jeremy. Yang paling ingin diketahuinya adalah apa pernah sekali saja, Jeremy mencintainya? Apa sejak awal ia memang sudah merencanakan itu.“Terus kalau aku sudah tahu jawabannya apa, memang aku mau maafin dia kalau semisal dia punya alasan baik di balik tindakan kriminalnya ini?” batin Irene meragu.Namun, ia sangat ingin mendengarnya. Ia berharap kalau dirinya bukanlah wanita bodoh mudah diperdaya, seperti apa yang pernah dikatakan mendiang orang tuanya. “Kau ini s
Suasana ruangan serba putih itu terasa murung. Hanya suara-suara lembut Nannia yang berjalan mondar-mandir dari sofa duduk ke ranjang pasien, mengecek kondisi Irene yang baru saja keluar dari ruang operasi. “Belum sadar juga ya. Bagaimana ini? Aku takut terjadi sesuatu dengan nona-ku,” gumam Nannia dengan wajah berkerut-kerut, khawatir. Cklak!Blam!Nannia membalik tubuhnya hampir seketika, kala mendengar suara pintu kamar perawatan itu dibuka dan ditutup lagi. “Pak Leon?” sapa Nannia dengan nada berbisik. “Bagaimana dengan kondisi Tuan Adam?”Leon menggelengkan kepalanya dengan raut wajah pedih. “Beliau masih belum keluar dari ruang operasi.”Pria itu terdiam memandangi Irene yang masih terbaring tak sadarkan diri setelah lolos dari ruang operasi dan dinyatakan menjalani rawat jalan ringan. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. “Kenapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana aku harus memberitahu mereka mengenai bayi yang mereka tunggu-tunggu?” batin Leon merasa menyesal karena tidak b
Netra Irene semakin dipenuhi oleh air mata, melihat kehadiran Giana di depan matanya. Seperti orang meracau, Irene mengeluarkan semua kesedihan dalam pelukan sang sahabat. “Aku kehilangan anakku! Dan sekarang Adam tidak lagi menginginkanku. Apa yang harus aku lakukan, Gi?” raung Irene tak peduli kalau ia harusnya menjaga kerahasiaan pernikahannya dengan Adam. Giana pun pusing dibuatnya. Semua yang diutarakan Irene, sama sekali tidak pernah tergambar dalam benaknya. “Kehilangan anak? Kapan dia nikah?” batin Giana penuh pertanyaan. “Apa sudah punya anak sebelum nikah? Siapa Adam ini?”Sementara mendengarkan semua curahan hati Irene, pikirannya terfokus pada nama yang selalu disebut Irene dalam ceritanya barusan. Hanya ada satu Adam yang bisa ia pikirkan. “Jangan bilang dia Adam Bright Allaster? Nggak mungkin kan? Aduh! Apa yang sudah dilakukan anak ini?!”Semua pertanyaan itu hanya bisa terlontar dalam benaknya. Giana memutuskan untuk tidak bertanya pada pasien yang sepertinya seda
Sementara itu, di ruang perawatan Irene. Lagi-lagi gadis itu menangis diam-diam. Ia tahu kekecewaan hatinya lah yang membuat ia meneteskan air mata.Entah itu kecewa karena kehilangan bayinya, ataupun karena Adam sama sekali tidak ada beritanya. “Ir … kau harus makan.” Giana berusaha membujuk sahabatnya itu untuk setidaknya mengkonsumsi bubur yang dibeli oleh Nannia. “Gi, kalau Adam nggak butuh aku lagi, boleh nggak aku tinggal di rumahmu?” tanya Irene di sela isakan tangisnya. Setelah kemarin Leon menjelaskan pada Giana, Irene memutuskan untuk menceritakan kisahnya dari awal ia bertemu Adam. Jadi, Giana sudah mengetahui rahasia di balik hubungan Irene dengan Adam.Menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Giana mengangguk beberapa kali dengan mantap. “Nggak usah nanya, Ir. Itu juga rumahmu. Kau bisa datang kapanpun kau mau.”Irene mengangguk. Ia kemudian memutuskan menuruti perkataan Giana untuk mengisi perutnya supaya ia bisa cepat keluar dari rumah sakit dan menyelesaikan urusannya de
“Berani sekali kamu menuduh Mama, Al! Kau pikir Mama setega itu?!”Ucapan Sarah terus terngiang di telinga Aldrich, sementara ia berkendara menuju rumah sakit di mana Adam dirawat. Sudah hampir satu minggu setelah ia mendengar pembicaraan Sarah dengan Liu Feng malam itu. Dan tentu saja, Aldrich melontarkan pertanyaan menuduh itu pada Sarah bukan karena tidak tahu. Entah bagaimana, ia berharap sang ibu mengaku dan menyesalinya, tetapi sepertinya itu hanyalah harapan kosong bagi Aldrich.Dan karena sama sekali tidak mendapat jawaban dari Leon terkait kondisi sang kakak, Aldrich memutuskan untuk berkunjung. Walau ia sempat mendengar Sarah menyebutkan bahwa Adam masih dalam kondisi koma, ia berharap sang kakak sudah sadarkan diri saat ini.“Mama masih bisa bilang begitu. Aku nggak tahu mana yang bisa kupercaya lagi,” gumamnya bermonolog. Netranya tertuju pada benda mungil yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya. Dalam benda yang kecil itu, ia menyimpan bukti ucapan sang ibu yang me
“Adam!” batin Irene sambil melompat dari sofa di mana ia duduk dan mengambil langkah besar mendekati ranjang rawat inap. “Saya akan panggil suster. Tolong jaga Tuan Adam sebentar, Nona.” Irene menganggukkan kepala atas permintaan Leon. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Adam di samping pria itu. Melihat mata yang sudah satu minggu tertutup kini terbuka membuat Irene menangis penuh syukur. “Thanks God, you’re awake, Adam,” ujar Irene sambil menyentuhkan dahinya dengan punggung tangan Adam yang ia genggam erat-erat. Adam mencoba memanggil Irene, tapi ia menyerah. Ia merasa tak punya kekuatan bahkan untuk mengangkat jemarinya lebih lagi. “Maaf, aku menyeretmu ke dalam kondisi bahaya. Seharusnya hari itu aku nggak perlu mengajakmu menemui Jeremy,” sesal Adam dalam hati.Tak lama kemudian suster datang dan mengecek kondisi Adam. Dokter pun menyusul kemudian dan menyatakan bahwa kondisi pasiennya kini sudah stabil. “Hanya butuh waktu untuk menyesuaikan saja. Seminggu tak sadarkan dir
10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Tidak, tidak! Ma–maksudku, iya. Ah! Bukan! Tunggu sebentar!” pekik Giana panik. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Irene yang tak bisa percaya bahwa sang sahabat menyembunyikan berita baik itu, mengiriminya tatapan penuh protes, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.“Oke, oke. Kujelaskan. Aku tunangan, yes. Tapi bukan berarti aku sedang hamil.”“Tunangan!” pekik Irene dengan nada kesal. “Kenapa aku nggak diundang?!” Giana terkekeh, walau ia tahu Irene sedang kesal betulan. Dengan sabar ia menjelaskan, “Kau tahu kondisimu 3 bulan lalu masih nggak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, Irene. Ini aja aku ke sini karena Adam sudah membuka gembok rumah kalian.”Bibir Irene maju 5 centi. Cemberut. Merajuk kesal, tapi tidak bisa membalas penjelasan Giana. Pasti Adam yang sudah memblokir semua kegiatan luar, supaya dirinya tidak berpikir untuk memaksakan diri hadir. “Siapa tunanganmu?” tanya Irene yang akhirnya menyerah. Dengan penuh semangat Giana mengel
“Tuan Adam, ini kainnya,” ucap Nannia yang akhirnya bisa masuk ke ruang makan.Sebenarnya sejak tadi ia sudah tiba di sana, tetapi karena melihat majikannya sedang saling mengutarakan rasa cintanya dengan bahasa tubuh, ia memutuskan untuk menunggu sampai ada celah baginya untuk masuk.Adam segera mengambil kain itu dan melingkarkannya di tubuh Irene yang memeluk Noah. “Bilang kalau terlalu kencang ya.”“Mm. Sudah pas,” ujar Irene sambil menganggukkan kepala. “Thanks, Adam.”Sementara Irene menaruh perhatian penuh pada Noah, Adam memanggil Leon untuk membahas kebutuhan makan malam yang ia janjikan pada Irene. “Pesan kotatsu*. Juga meja makan pendek. Kursi yang lembut dan empuk untuk Irene bisa duduk di lantai. Siapkan untuk malam ini.” Adam memberi perintah pada Leon. Pria tua yang mendengarkan sang majikan, melirik jam yang melingkar di tangannya. Jelas waktunya tidak akan cukup jika harus memesan kotatsu asli dari Jepang.Namun, Leon tetap menjawab, “Baik, Tuan Adam. Akan segera sa
3 bulan setelah pemeriksaan.“Ini obatnya, Nyonya.” Nannia menyerahkan piring kecil berisi 5 butir pil yang harus diminum Irene. Semenjak hasil pengecekan rahim berjalan tak terlalu bagus, Darren sibuk mencarikan obat-obatan yang bisa memperkuat kondisi rahim dan juga janin di dalamnya.Rahim Irene sedikit melemah, sejak keguguran. Saat kehamilan Noah pun, Darren berusaha memberi semua yang terbaik, demi kehidupan sang putra mahkota itu. Saat itu, ia tidak memberitahu kondisi ini karena melahirkan Noah adalah sebuah keadaan yang harus terjadi bagaimanapun caranya. Setelah kehilangan bayi mereka karena kecelakaan yang ditimbulkan oleh Sarah, Darren tak punya hati untuk memberitahu mereka bahwa ada kondisi di mana 50% kehamilan Irene akan gagal. Karena itu, ia berjuang sendiri untuk menjaga kehamilan Irene. Namun, kali ini berbeda. Anak kedua bukan hal yang wajib terjadi. Adam sudah memenuhi syarat untuk menjadi pewaris Allaster. Itulah kenapa, akhirnya Darren memutuskan untuk memb
“Aku aman.”Ucapan yang terdengar mantap dari Giana tadi justru membuat Irene merasa was-was. Ia berharap bisa menempatkan orang yang ia percaya untuk menjaga Giana. Namun ia tahu, meminta Regan yang menjadi bodyguard Giana tidak akan disetujui Adam.Dan saat ini Irene sudah bersama Adam untuk kembali pulang. Tengah panik dengan semua bayangan negatif di kepalanya, Adam tiba-tiba berkata, “Ir, jangan khawatir. Masalah ini sudah kuceritakan pada Grandpa Allan. Kau tenang saja. Oke?”Irene menatap sang suami dengan tatapan terpana, seolah sang suami sudah melakukan hal terhebat baginya. Ia memeluk Adam erat sambil berkata, “Thanks, Adam. Aku nggak tahu lagi kalau sampai Giana terbawa-bawa dengan urusan Franz.”Adam mengusap punggung Irene dengan sayang. Walau Irene tidak meminta, tapi ia sudah menempatkan Regan di restoran Giana. Ia tidak suka melihat istrinya menghamburkan air mata kalau-kalau terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.“Sampai Grandpa Allan memberi tanda kalau kondisi sudah
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,
Mendengar cerita Franz, bahkan Adam mulai panik kalau tebakan Allan benar. Namun, mereka langsung menghela nafas lega ketika mendengar jawaban franz. “Sandra Billie. Kau kenal, Dad? Katanya dia sedang liburan ke sini dan aku diminta mengejarnya. Ugh! Memalukan sekali pekerjaan ini.”Allan tergelak mendengarnya. “Pernikahan bukan pekerjaan, Franz. Kurasa ayahmu sedang mencarikan asuransi untukmu. Kau tahu kan, kau nggak akan bisa menggantikannya walau ia turun dari posisinya sekarang.”“Cih! Pria tua itu memang selalu kurang kerjaan,” keluh Franz sambil menggaruk bahunya yang tiba-tiba gatal. Ia menatap orang-orang yang baru beberapa menit dikenalnya dan sadar bahwa dunia mereka jelas berbeda.Ketidaknyamanan itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Namun, baru saja ia akan membuka mulut untuk pamit, Irene turun dari lantai 2 bersama Noah.“Oh! Ada tamu?” sapa Irene sambil menggosok matanya yang mengantuk. “Apa aku mengganggu? Noah bangun cari kamu, Adam.”Adam tersenyum sambil me
Kembali ke satu menit yang lalu. Irene dan Adam mendengar Allan berbicara dengan seseorang, sepertinya melalui sambungan telepon. Walau hanya sekilas, mereka bisa mendengar nama asing yang diucapkan Allan. Franz.“Apa kau pernah dengar?” tanya Irene lagi pada Adam. “Sepertinya Grand marah sekali sama orang yang bernama Franz itu.”Sang suami menggeleng. Mereka memutuskan untuk tak lagi membahasnya dan masuk menuju ruang keluarga. Tak mereka sadari, ternyata Allan juga mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Irene sendiri pergi ke kamar untuk menidurkan Noah, sementara Adam berniat untuk menikmati waktu sendirinya di sofa ruang keluarga itu.Allan kemudian duduk di sampingnya dan menikmati teh yang masih ia bawa dari pesta kebun tadi. Dan setelah menyesap tehnya, ia kemudian bertanya, “Apa aku bisa pakai salah satu ruangan yang tak terpakai di rumahmu? Aku kedatangan tamu yang juga ingin kukenalkan pada kalian.” Tanpa bertanya lebih jauh, Adam mengangguk. “Sure, Grand. Aku akan min
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai