Mendapat kabar baik dari Galva, Adam pun segera memanggil Irene untuk mendiskusikan kalau-kalau gadis itu ingin ikut menemui mantan tunangannya.“Aku memang bilang pada Galva kalau aku akan membawamu, hanya karena aku pikir kau akan memaksa untuk ikut, Ir,” ungkap Adam. Lagi, tambahnya, “Sebenarnya akan lebih baik kalau kau menunggu semua selesai dan menemui orang itu dari balik jeruji besi. Apalagi kondisi kesehatanmu sedang tidak terlalu baik.”Irene berpikir keras, menimbang ini dan itu. Jelas ia sangat ingin menemui Jeremy. Yang paling ingin diketahuinya adalah apa pernah sekali saja, Jeremy mencintainya? Apa sejak awal ia memang sudah merencanakan itu.“Terus kalau aku sudah tahu jawabannya apa, memang aku mau maafin dia kalau semisal dia punya alasan baik di balik tindakan kriminalnya ini?” batin Irene meragu.Namun, ia sangat ingin mendengarnya. Ia berharap kalau dirinya bukanlah wanita bodoh mudah diperdaya, seperti apa yang pernah dikatakan mendiang orang tuanya. “Kau ini s
Suasana ruangan serba putih itu terasa murung. Hanya suara-suara lembut Nannia yang berjalan mondar-mandir dari sofa duduk ke ranjang pasien, mengecek kondisi Irene yang baru saja keluar dari ruang operasi. “Belum sadar juga ya. Bagaimana ini? Aku takut terjadi sesuatu dengan nona-ku,” gumam Nannia dengan wajah berkerut-kerut, khawatir. Cklak!Blam!Nannia membalik tubuhnya hampir seketika, kala mendengar suara pintu kamar perawatan itu dibuka dan ditutup lagi. “Pak Leon?” sapa Nannia dengan nada berbisik. “Bagaimana dengan kondisi Tuan Adam?”Leon menggelengkan kepalanya dengan raut wajah pedih. “Beliau masih belum keluar dari ruang operasi.”Pria itu terdiam memandangi Irene yang masih terbaring tak sadarkan diri setelah lolos dari ruang operasi dan dinyatakan menjalani rawat jalan ringan. Pikirannya penuh dengan berbagai hal. “Kenapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana aku harus memberitahu mereka mengenai bayi yang mereka tunggu-tunggu?” batin Leon merasa menyesal karena tidak b
Netra Irene semakin dipenuhi oleh air mata, melihat kehadiran Giana di depan matanya. Seperti orang meracau, Irene mengeluarkan semua kesedihan dalam pelukan sang sahabat. “Aku kehilangan anakku! Dan sekarang Adam tidak lagi menginginkanku. Apa yang harus aku lakukan, Gi?” raung Irene tak peduli kalau ia harusnya menjaga kerahasiaan pernikahannya dengan Adam. Giana pun pusing dibuatnya. Semua yang diutarakan Irene, sama sekali tidak pernah tergambar dalam benaknya. “Kehilangan anak? Kapan dia nikah?” batin Giana penuh pertanyaan. “Apa sudah punya anak sebelum nikah? Siapa Adam ini?”Sementara mendengarkan semua curahan hati Irene, pikirannya terfokus pada nama yang selalu disebut Irene dalam ceritanya barusan. Hanya ada satu Adam yang bisa ia pikirkan. “Jangan bilang dia Adam Bright Allaster? Nggak mungkin kan? Aduh! Apa yang sudah dilakukan anak ini?!”Semua pertanyaan itu hanya bisa terlontar dalam benaknya. Giana memutuskan untuk tidak bertanya pada pasien yang sepertinya seda
Sementara itu, di ruang perawatan Irene. Lagi-lagi gadis itu menangis diam-diam. Ia tahu kekecewaan hatinya lah yang membuat ia meneteskan air mata.Entah itu kecewa karena kehilangan bayinya, ataupun karena Adam sama sekali tidak ada beritanya. “Ir … kau harus makan.” Giana berusaha membujuk sahabatnya itu untuk setidaknya mengkonsumsi bubur yang dibeli oleh Nannia. “Gi, kalau Adam nggak butuh aku lagi, boleh nggak aku tinggal di rumahmu?” tanya Irene di sela isakan tangisnya. Setelah kemarin Leon menjelaskan pada Giana, Irene memutuskan untuk menceritakan kisahnya dari awal ia bertemu Adam. Jadi, Giana sudah mengetahui rahasia di balik hubungan Irene dengan Adam.Menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Giana mengangguk beberapa kali dengan mantap. “Nggak usah nanya, Ir. Itu juga rumahmu. Kau bisa datang kapanpun kau mau.”Irene mengangguk. Ia kemudian memutuskan menuruti perkataan Giana untuk mengisi perutnya supaya ia bisa cepat keluar dari rumah sakit dan menyelesaikan urusannya de
“Berani sekali kamu menuduh Mama, Al! Kau pikir Mama setega itu?!”Ucapan Sarah terus terngiang di telinga Aldrich, sementara ia berkendara menuju rumah sakit di mana Adam dirawat. Sudah hampir satu minggu setelah ia mendengar pembicaraan Sarah dengan Liu Feng malam itu. Dan tentu saja, Aldrich melontarkan pertanyaan menuduh itu pada Sarah bukan karena tidak tahu. Entah bagaimana, ia berharap sang ibu mengaku dan menyesalinya, tetapi sepertinya itu hanyalah harapan kosong bagi Aldrich.Dan karena sama sekali tidak mendapat jawaban dari Leon terkait kondisi sang kakak, Aldrich memutuskan untuk berkunjung. Walau ia sempat mendengar Sarah menyebutkan bahwa Adam masih dalam kondisi koma, ia berharap sang kakak sudah sadarkan diri saat ini.“Mama masih bisa bilang begitu. Aku nggak tahu mana yang bisa kupercaya lagi,” gumamnya bermonolog. Netranya tertuju pada benda mungil yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya. Dalam benda yang kecil itu, ia menyimpan bukti ucapan sang ibu yang me
“Adam!” batin Irene sambil melompat dari sofa di mana ia duduk dan mengambil langkah besar mendekati ranjang rawat inap. “Saya akan panggil suster. Tolong jaga Tuan Adam sebentar, Nona.” Irene menganggukkan kepala atas permintaan Leon. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Adam di samping pria itu. Melihat mata yang sudah satu minggu tertutup kini terbuka membuat Irene menangis penuh syukur. “Thanks God, you’re awake, Adam,” ujar Irene sambil menyentuhkan dahinya dengan punggung tangan Adam yang ia genggam erat-erat. Adam mencoba memanggil Irene, tapi ia menyerah. Ia merasa tak punya kekuatan bahkan untuk mengangkat jemarinya lebih lagi. “Maaf, aku menyeretmu ke dalam kondisi bahaya. Seharusnya hari itu aku nggak perlu mengajakmu menemui Jeremy,” sesal Adam dalam hati.Tak lama kemudian suster datang dan mengecek kondisi Adam. Dokter pun menyusul kemudian dan menyatakan bahwa kondisi pasiennya kini sudah stabil. “Hanya butuh waktu untuk menyesuaikan saja. Seminggu tak sadarkan dir
“Datang juga bahasan ini. Aku nggak siap! Belum siap!” batin Irene. Ia langsung menghentikan percakapan mereka. “Ah … perutku mules. Adam, aku ke toilet dulu. Sekalian aku beli makan siang. Bye!”Tanpa menoleh lagi, Irene segera keluar dari ruangan dan meninggalkan Adam begitu saja. Leon yang menunggu di luar kamar pun terkejut karena Irene tiba-tiba keluar tanpa menoleh ke mana-mana. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan ketika Leon masuk, ia malah mendapati majikan laki-lakinya tengah terbengong-bengong menatap ke arah pintu kamar.Leon berdehem pelan untuk memberitahu Adam mengenai kehadirannya, kemudian bertanya, “Tuan, apa ada yang terjadi dengan Nona Irene? Dia seperti terburu-buru.”Pandangan Adam akhirnya teralihkan dari pintu itu ke wajah Leon. Katanya, “Itu juga yang menjadi pertanyaanku, Leon. Apa menurutmu dia tidak mau melanjutkan kontraknya?”Kepala Leon miring sedikit, mencoba bertanya dalam diam mengenai apa arti ucapan Adam yang terakhir. Adam yang sudah
Baru saja Adam akan membuka pintu kamar, Galva muncul dan meminta waktu sang majikan. “Tuan, kami sudah menangkap pria itu lagi,” lapor Galva setelah mereka berada di dalam ruang kerja Adam. Pria itu mengangguk menerima informasi bagus tersebut. “Kali ini Sarah tidak akan bisa merusak rencana kita. Bagaimana soal investigasi kecelakaan?”“Jeremy sudah memberi pernyataan yang memberatkan Nyonya Sarah dan Liu Feng. Sebagai ganti, kita tidak akan menjebloskannya ke penjara.” Galva menjabarkan kondisi saat ini. “Kalau begitu, biarkan pihak yang berwajib mengurus semuanya. Aku juga harus membereskan harta warisan Irene yang diambil Jeremy,” putus Adam sambil beranjak dari kursinya. Namun sebelum ia menuju pintu yang terhubung dengan kamarnya, Adam menambahkan, “Besok, bawa Jeremy untuk menemui tuan rumah di rumah Irene.”“Baik, Bos.”Galva pun undur diri sementara Adam menutup pintu panyambung yang ada di antara ruang kerja dan kamar pribadinya.Karena kejadian pertama kali Irene harus