Sementara itu, di ruang perawatan Irene. Lagi-lagi gadis itu menangis diam-diam. Ia tahu kekecewaan hatinya lah yang membuat ia meneteskan air mata.Entah itu kecewa karena kehilangan bayinya, ataupun karena Adam sama sekali tidak ada beritanya. “Ir … kau harus makan.” Giana berusaha membujuk sahabatnya itu untuk setidaknya mengkonsumsi bubur yang dibeli oleh Nannia. “Gi, kalau Adam nggak butuh aku lagi, boleh nggak aku tinggal di rumahmu?” tanya Irene di sela isakan tangisnya. Setelah kemarin Leon menjelaskan pada Giana, Irene memutuskan untuk menceritakan kisahnya dari awal ia bertemu Adam. Jadi, Giana sudah mengetahui rahasia di balik hubungan Irene dengan Adam.Menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Giana mengangguk beberapa kali dengan mantap. “Nggak usah nanya, Ir. Itu juga rumahmu. Kau bisa datang kapanpun kau mau.”Irene mengangguk. Ia kemudian memutuskan menuruti perkataan Giana untuk mengisi perutnya supaya ia bisa cepat keluar dari rumah sakit dan menyelesaikan urusannya de
“Berani sekali kamu menuduh Mama, Al! Kau pikir Mama setega itu?!”Ucapan Sarah terus terngiang di telinga Aldrich, sementara ia berkendara menuju rumah sakit di mana Adam dirawat. Sudah hampir satu minggu setelah ia mendengar pembicaraan Sarah dengan Liu Feng malam itu. Dan tentu saja, Aldrich melontarkan pertanyaan menuduh itu pada Sarah bukan karena tidak tahu. Entah bagaimana, ia berharap sang ibu mengaku dan menyesalinya, tetapi sepertinya itu hanyalah harapan kosong bagi Aldrich.Dan karena sama sekali tidak mendapat jawaban dari Leon terkait kondisi sang kakak, Aldrich memutuskan untuk berkunjung. Walau ia sempat mendengar Sarah menyebutkan bahwa Adam masih dalam kondisi koma, ia berharap sang kakak sudah sadarkan diri saat ini.“Mama masih bisa bilang begitu. Aku nggak tahu mana yang bisa kupercaya lagi,” gumamnya bermonolog. Netranya tertuju pada benda mungil yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya. Dalam benda yang kecil itu, ia menyimpan bukti ucapan sang ibu yang me
“Adam!” batin Irene sambil melompat dari sofa di mana ia duduk dan mengambil langkah besar mendekati ranjang rawat inap. “Saya akan panggil suster. Tolong jaga Tuan Adam sebentar, Nona.” Irene menganggukkan kepala atas permintaan Leon. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Adam di samping pria itu. Melihat mata yang sudah satu minggu tertutup kini terbuka membuat Irene menangis penuh syukur. “Thanks God, you’re awake, Adam,” ujar Irene sambil menyentuhkan dahinya dengan punggung tangan Adam yang ia genggam erat-erat. Adam mencoba memanggil Irene, tapi ia menyerah. Ia merasa tak punya kekuatan bahkan untuk mengangkat jemarinya lebih lagi. “Maaf, aku menyeretmu ke dalam kondisi bahaya. Seharusnya hari itu aku nggak perlu mengajakmu menemui Jeremy,” sesal Adam dalam hati.Tak lama kemudian suster datang dan mengecek kondisi Adam. Dokter pun menyusul kemudian dan menyatakan bahwa kondisi pasiennya kini sudah stabil. “Hanya butuh waktu untuk menyesuaikan saja. Seminggu tak sadarkan dir
“Datang juga bahasan ini. Aku nggak siap! Belum siap!” batin Irene. Ia langsung menghentikan percakapan mereka. “Ah … perutku mules. Adam, aku ke toilet dulu. Sekalian aku beli makan siang. Bye!”Tanpa menoleh lagi, Irene segera keluar dari ruangan dan meninggalkan Adam begitu saja. Leon yang menunggu di luar kamar pun terkejut karena Irene tiba-tiba keluar tanpa menoleh ke mana-mana. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan ketika Leon masuk, ia malah mendapati majikan laki-lakinya tengah terbengong-bengong menatap ke arah pintu kamar.Leon berdehem pelan untuk memberitahu Adam mengenai kehadirannya, kemudian bertanya, “Tuan, apa ada yang terjadi dengan Nona Irene? Dia seperti terburu-buru.”Pandangan Adam akhirnya teralihkan dari pintu itu ke wajah Leon. Katanya, “Itu juga yang menjadi pertanyaanku, Leon. Apa menurutmu dia tidak mau melanjutkan kontraknya?”Kepala Leon miring sedikit, mencoba bertanya dalam diam mengenai apa arti ucapan Adam yang terakhir. Adam yang sudah
Baru saja Adam akan membuka pintu kamar, Galva muncul dan meminta waktu sang majikan. “Tuan, kami sudah menangkap pria itu lagi,” lapor Galva setelah mereka berada di dalam ruang kerja Adam. Pria itu mengangguk menerima informasi bagus tersebut. “Kali ini Sarah tidak akan bisa merusak rencana kita. Bagaimana soal investigasi kecelakaan?”“Jeremy sudah memberi pernyataan yang memberatkan Nyonya Sarah dan Liu Feng. Sebagai ganti, kita tidak akan menjebloskannya ke penjara.” Galva menjabarkan kondisi saat ini. “Kalau begitu, biarkan pihak yang berwajib mengurus semuanya. Aku juga harus membereskan harta warisan Irene yang diambil Jeremy,” putus Adam sambil beranjak dari kursinya. Namun sebelum ia menuju pintu yang terhubung dengan kamarnya, Adam menambahkan, “Besok, bawa Jeremy untuk menemui tuan rumah di rumah Irene.”“Baik, Bos.”Galva pun undur diri sementara Adam menutup pintu panyambung yang ada di antara ruang kerja dan kamar pribadinya.Karena kejadian pertama kali Irene harus
Terlalu gugup dengan pikirannya sendiri, Adam gagal menangkap raut kecewa baik dalam suara maupun wajah Irene. Ia berpikir gadis itu senang karena semua sudah selesai.“Apa kau senang semua ini sudah selesai?” tanya Adam berusaha menyembunyikan kekecewaannya karena menganggap Irene sangat menantikan hari kebebasan. Adam merasa ini kali pertama ia merasakan hatinya sakit. “Apa benar hanya aku yang terpengaruh dengan kedekatan kami? Apa dia tidak sedikit saja mulai menyukaiku?”Irene yang terdiam seribu bahasa membuat Adam ragu untuk bertanya.Gadis itu juga sibuk dengan pertimbangannya. “Apa alasanku buat minta diperpanjang? Aku belum ingin menyerah mendapatkan hatinya.” Dan tanpa bisa dicegah, Irene berkata, “Aku akan sangat berutang budi, kalau aku tidak membantumu sampai selesai, Adam. Kalau bisa, aku ingin melunasi utang budiku. Apa kau nggak butuh anak lagi?”Adam tertegun mendengar ucapan Irene. Terlebih karena otaknya tidak bisa mencerna dan tidak percaya kalau Irene akan men
Keesokan harinya, di ruang kerja Adam. Interkom di mejanya berbunyi dua kali. Dan yang menghubunginya adalah meja kepala sekretaris. “Ya, Gal?”Suara Galleon terdengar ragu, tapi ia menyampaikan juga pesannya, “Pak Adam, ada Pak Alfred di ruang santai direksi.”“Ha?! Grandpa Alfred?!” batin Adam yang spontan melepas genggaman tangannya pada pena tulis dan langsung keluar ruangan tanpa menjawab Galleon.Galleon masih memegangi gagang telepon saat Adam melewati bilik sekretaris menuju ruang santai direksi. “Apa yang dilakukan Grand di sini? Dia hanya pernah datang saat aku melakukan IPO. Apa urusannya di luar negeri sudah selesai?” pikir Adam, mencoba menebak apa yang diinginkan sang kakek.Dan ketika ia tiba di depan pintu ruangan, hatinya sedikit ragu. Selama ini, ia tahu kalau sang kakek tidak seperti Adolf maupun Sarah, tetapi kemungkinan pria tua itu memihak pada putranya dan memilih menutup mata atas perbuatan menantu perempuannya, bisa saja terjadi.“Que sera sera,” batin Adam
Di kantor Adam. Satu bulan setelah kunjungan Alfred terakhir.“Pak Adam, Miss Sachie mau ketemu bapak.” Julia menyampaikan pesan dari resepsionis melalui interkom meja.Sebenarnya Adam tengah berbincang dengan Alfred yang berkunjung lagi ke kantornya hari ini. Pria tua itu sedang membahas mengenai Sarah dan juga Aldrich. Mendengar informasi dari Julia, Alfred mengusulkan, “Ah … suruh saja dia masuk, Dam. Aku sudah lama nggak ketemu Sachie juga. Bukan hal yang perlu disembunyikan dari Grand kan?”Pria tua itu terkekeh mengejek. Jelas, ia masih merasa Adam menyembunyikan sesuatu darinya, yang belum ia ketahui sama sekali. Adam memutar bola matanya sambil berkomentar, “Tentu saja bukan, Grand. Paling masalah kerjaan.”Kemudian ia memberi respon pada Julia, “Suruh dia ke ruangan saya saja, Julia.”“Baik, Pak Adam.” Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya dengan tubuh sedikit padat dan tinggi badan di atas rata-rata para wanita, muncul dari balik pintu. “Selamat siang, Pak Adam, Pa
10 tahun sejak kelahiran Bella Jackson Allaster. Noah sudah berusia 12 tahun dan berhasil melompati kelas sehingga tahun ini ia sudah masuk SMP.“Apa kau yakin, kau bisa mengikuti pelajaran di SMP?” tanya Irene khawatir. “Kau bisa belajar dulu di rumah sampai usia 13 tahun, Noah.”Noah memutar bola matanya kemudian menoleh ke arah Adam yang sibuk mengisi piring Bella dengan berbagai menu sarapan. “Dad, please jelasin ke Momma. Dia terlalu khawatir.” “Momma hanya takut kau dibully, Noah,” ujar Adam menengahi. “Pertanyaannya hanya kamuflase. Tidak mungkin Momma meragukan kejeniusan Noah. Benar kan, Sayang?”Mendengar ucapan itu, Irene merasa tertegur. Ia baru sadar kalau ucapannya mengecilkan sang putra. Tak mau Noah sakit hati, Irene segera mengiyakan ucapan Adam.“Kau paling muda sendiri di SMP, Noah.”Dengan senyum penuh kebanggaan Noah menjawab, “Aku sudah dapat blue belt-ku, Mom. Jangan khawatir.”Adam menatap Irene kemudian tersenyum penuh arti. Meminta sang istri untuk berhenti
“Tidak, tidak! Ma–maksudku, iya. Ah! Bukan! Tunggu sebentar!” pekik Giana panik. Ia mengangkat kedua tangannya, berusaha menenangkan diri. Irene yang tak bisa percaya bahwa sang sahabat menyembunyikan berita baik itu, mengiriminya tatapan penuh protes, tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya.“Oke, oke. Kujelaskan. Aku tunangan, yes. Tapi bukan berarti aku sedang hamil.”“Tunangan!” pekik Irene dengan nada kesal. “Kenapa aku nggak diundang?!” Giana terkekeh, walau ia tahu Irene sedang kesal betulan. Dengan sabar ia menjelaskan, “Kau tahu kondisimu 3 bulan lalu masih nggak memungkinkan untuk turun dari tempat tidur, Irene. Ini aja aku ke sini karena Adam sudah membuka gembok rumah kalian.”Bibir Irene maju 5 centi. Cemberut. Merajuk kesal, tapi tidak bisa membalas penjelasan Giana. Pasti Adam yang sudah memblokir semua kegiatan luar, supaya dirinya tidak berpikir untuk memaksakan diri hadir. “Siapa tunanganmu?” tanya Irene yang akhirnya menyerah. Dengan penuh semangat Giana mengel
“Tuan Adam, ini kainnya,” ucap Nannia yang akhirnya bisa masuk ke ruang makan.Sebenarnya sejak tadi ia sudah tiba di sana, tetapi karena melihat majikannya sedang saling mengutarakan rasa cintanya dengan bahasa tubuh, ia memutuskan untuk menunggu sampai ada celah baginya untuk masuk.Adam segera mengambil kain itu dan melingkarkannya di tubuh Irene yang memeluk Noah. “Bilang kalau terlalu kencang ya.”“Mm. Sudah pas,” ujar Irene sambil menganggukkan kepala. “Thanks, Adam.”Sementara Irene menaruh perhatian penuh pada Noah, Adam memanggil Leon untuk membahas kebutuhan makan malam yang ia janjikan pada Irene. “Pesan kotatsu*. Juga meja makan pendek. Kursi yang lembut dan empuk untuk Irene bisa duduk di lantai. Siapkan untuk malam ini.” Adam memberi perintah pada Leon. Pria tua yang mendengarkan sang majikan, melirik jam yang melingkar di tangannya. Jelas waktunya tidak akan cukup jika harus memesan kotatsu asli dari Jepang.Namun, Leon tetap menjawab, “Baik, Tuan Adam. Akan segera sa
3 bulan setelah pemeriksaan.“Ini obatnya, Nyonya.” Nannia menyerahkan piring kecil berisi 5 butir pil yang harus diminum Irene. Semenjak hasil pengecekan rahim berjalan tak terlalu bagus, Darren sibuk mencarikan obat-obatan yang bisa memperkuat kondisi rahim dan juga janin di dalamnya.Rahim Irene sedikit melemah, sejak keguguran. Saat kehamilan Noah pun, Darren berusaha memberi semua yang terbaik, demi kehidupan sang putra mahkota itu. Saat itu, ia tidak memberitahu kondisi ini karena melahirkan Noah adalah sebuah keadaan yang harus terjadi bagaimanapun caranya. Setelah kehilangan bayi mereka karena kecelakaan yang ditimbulkan oleh Sarah, Darren tak punya hati untuk memberitahu mereka bahwa ada kondisi di mana 50% kehamilan Irene akan gagal. Karena itu, ia berjuang sendiri untuk menjaga kehamilan Irene. Namun, kali ini berbeda. Anak kedua bukan hal yang wajib terjadi. Adam sudah memenuhi syarat untuk menjadi pewaris Allaster. Itulah kenapa, akhirnya Darren memutuskan untuk memb
“Aku aman.”Ucapan yang terdengar mantap dari Giana tadi justru membuat Irene merasa was-was. Ia berharap bisa menempatkan orang yang ia percaya untuk menjaga Giana. Namun ia tahu, meminta Regan yang menjadi bodyguard Giana tidak akan disetujui Adam.Dan saat ini Irene sudah bersama Adam untuk kembali pulang. Tengah panik dengan semua bayangan negatif di kepalanya, Adam tiba-tiba berkata, “Ir, jangan khawatir. Masalah ini sudah kuceritakan pada Grandpa Allan. Kau tenang saja. Oke?”Irene menatap sang suami dengan tatapan terpana, seolah sang suami sudah melakukan hal terhebat baginya. Ia memeluk Adam erat sambil berkata, “Thanks, Adam. Aku nggak tahu lagi kalau sampai Giana terbawa-bawa dengan urusan Franz.”Adam mengusap punggung Irene dengan sayang. Walau Irene tidak meminta, tapi ia sudah menempatkan Regan di restoran Giana. Ia tidak suka melihat istrinya menghamburkan air mata kalau-kalau terjadi sesuatu pada sahabatnya itu.“Sampai Grandpa Allan memberi tanda kalau kondisi sudah
Beberapa hari setelah perkenalan Franz pada keluarga besar Allaster, Irene mendapat undangan dari Giana untuk datang berkunjung. Sahabatnya itu membuka area bar di lantai 2 restorannya. Tak pernah menebak bahwa Giana akan punya hubungan dengan Franz, Irene pun datang ke acara sang sahabat bersama dengan Noah. Tentu saja, seperti perintah Adam, ia juga membawa Regan bersamanya. “Kenapa ada orang itu di sini? Apa Giana sudah langsung membuka bar-nya untuk publik?” batin Irene bertanya-tanya, ketika ia mendapati sosok Franz tengah berbincang ramah dengan Giana di meja bar.“Oh! Irene! Noah! Sudah datang!” seru Giana sambil berjalan keluar dari belakang meja bar. Berusaha bersikap tenang, Irene pun membalas sapaan sang sahabat dengan ucapan selamat. “Congratz, Gi! Bar-nya keren banget!”Ha! Ha! Ha!Giana tergelak menerima pujian tulus Irene itu. Ia kemudian mendorong pundak Irene untuk duduk di salah satu sofa yang nyaman untuknya dan Noah.“Dan ibu menyusui nggak boleh minum di sini,
Mendengar cerita Franz, bahkan Adam mulai panik kalau tebakan Allan benar. Namun, mereka langsung menghela nafas lega ketika mendengar jawaban franz. “Sandra Billie. Kau kenal, Dad? Katanya dia sedang liburan ke sini dan aku diminta mengejarnya. Ugh! Memalukan sekali pekerjaan ini.”Allan tergelak mendengarnya. “Pernikahan bukan pekerjaan, Franz. Kurasa ayahmu sedang mencarikan asuransi untukmu. Kau tahu kan, kau nggak akan bisa menggantikannya walau ia turun dari posisinya sekarang.”“Cih! Pria tua itu memang selalu kurang kerjaan,” keluh Franz sambil menggaruk bahunya yang tiba-tiba gatal. Ia menatap orang-orang yang baru beberapa menit dikenalnya dan sadar bahwa dunia mereka jelas berbeda.Ketidaknyamanan itu membuatnya ingin segera pergi dari sana. Namun, baru saja ia akan membuka mulut untuk pamit, Irene turun dari lantai 2 bersama Noah.“Oh! Ada tamu?” sapa Irene sambil menggosok matanya yang mengantuk. “Apa aku mengganggu? Noah bangun cari kamu, Adam.”Adam tersenyum sambil me
Kembali ke satu menit yang lalu. Irene dan Adam mendengar Allan berbicara dengan seseorang, sepertinya melalui sambungan telepon. Walau hanya sekilas, mereka bisa mendengar nama asing yang diucapkan Allan. Franz.“Apa kau pernah dengar?” tanya Irene lagi pada Adam. “Sepertinya Grand marah sekali sama orang yang bernama Franz itu.”Sang suami menggeleng. Mereka memutuskan untuk tak lagi membahasnya dan masuk menuju ruang keluarga. Tak mereka sadari, ternyata Allan juga mengikuti mereka masuk ke dalam rumah. Irene sendiri pergi ke kamar untuk menidurkan Noah, sementara Adam berniat untuk menikmati waktu sendirinya di sofa ruang keluarga itu.Allan kemudian duduk di sampingnya dan menikmati teh yang masih ia bawa dari pesta kebun tadi. Dan setelah menyesap tehnya, ia kemudian bertanya, “Apa aku bisa pakai salah satu ruangan yang tak terpakai di rumahmu? Aku kedatangan tamu yang juga ingin kukenalkan pada kalian.” Tanpa bertanya lebih jauh, Adam mengangguk. “Sure, Grand. Aku akan min
“Giana?!” pekik Irene saat ia menghampiri ruang tamu dan mendapati sahabatnya datang dengan tas besar di bahunya. “Ada apa?”Giana terlihat kesal tetapi ia tetap menjawab pertanyaan Irene. Katanya, “Aku kabur.”Dan jawaban singkat itu membuat Irene tercengang. Seburuk-buruknya hidup, Giana bukan tipe perempuan yang kabur begitu saja. Irene segera membawa Giana ke kamar lamanya karena ia sudah tahu kalau sahabatnya itu jelas butuh tempat menginap.“Apa yang terjadi sampai kau kabur, Gi?” tanya Irene setelah menuangkan air untuk Giana minum. “Grandpa mulai mengadakan perjodohan untukku, padahal dia tahu aku nggak suka. Dia bilang aku harus segera menikah sebelum dia mati. Apa-apaan sih dia itu!” keluh Giana dengan nada penuh amarah. Irene pun juga tak habis pikir. Biasanya kakek Giana tak pernah sampai memaksa cucunya melakukan hal yang tak ia sukai. “Tapi kalau sampai Giana kabur, berarti maksanya sudah di luar batas kesabaran.” Irene membatin. Ia merasa ucapan kakek Giana mempunyai