Netra Irene semakin dipenuhi oleh air mata, melihat kehadiran Giana di depan matanya. Seperti orang meracau, Irene mengeluarkan semua kesedihan dalam pelukan sang sahabat. “Aku kehilangan anakku! Dan sekarang Adam tidak lagi menginginkanku. Apa yang harus aku lakukan, Gi?” raung Irene tak peduli kalau ia harusnya menjaga kerahasiaan pernikahannya dengan Adam. Giana pun pusing dibuatnya. Semua yang diutarakan Irene, sama sekali tidak pernah tergambar dalam benaknya. “Kehilangan anak? Kapan dia nikah?” batin Giana penuh pertanyaan. “Apa sudah punya anak sebelum nikah? Siapa Adam ini?”Sementara mendengarkan semua curahan hati Irene, pikirannya terfokus pada nama yang selalu disebut Irene dalam ceritanya barusan. Hanya ada satu Adam yang bisa ia pikirkan. “Jangan bilang dia Adam Bright Allaster? Nggak mungkin kan? Aduh! Apa yang sudah dilakukan anak ini?!”Semua pertanyaan itu hanya bisa terlontar dalam benaknya. Giana memutuskan untuk tidak bertanya pada pasien yang sepertinya seda
Sementara itu, di ruang perawatan Irene. Lagi-lagi gadis itu menangis diam-diam. Ia tahu kekecewaan hatinya lah yang membuat ia meneteskan air mata.Entah itu kecewa karena kehilangan bayinya, ataupun karena Adam sama sekali tidak ada beritanya. “Ir … kau harus makan.” Giana berusaha membujuk sahabatnya itu untuk setidaknya mengkonsumsi bubur yang dibeli oleh Nannia. “Gi, kalau Adam nggak butuh aku lagi, boleh nggak aku tinggal di rumahmu?” tanya Irene di sela isakan tangisnya. Setelah kemarin Leon menjelaskan pada Giana, Irene memutuskan untuk menceritakan kisahnya dari awal ia bertemu Adam. Jadi, Giana sudah mengetahui rahasia di balik hubungan Irene dengan Adam.Menjawab pertanyaan sahabatnya itu, Giana mengangguk beberapa kali dengan mantap. “Nggak usah nanya, Ir. Itu juga rumahmu. Kau bisa datang kapanpun kau mau.”Irene mengangguk. Ia kemudian memutuskan menuruti perkataan Giana untuk mengisi perutnya supaya ia bisa cepat keluar dari rumah sakit dan menyelesaikan urusannya de
“Berani sekali kamu menuduh Mama, Al! Kau pikir Mama setega itu?!”Ucapan Sarah terus terngiang di telinga Aldrich, sementara ia berkendara menuju rumah sakit di mana Adam dirawat. Sudah hampir satu minggu setelah ia mendengar pembicaraan Sarah dengan Liu Feng malam itu. Dan tentu saja, Aldrich melontarkan pertanyaan menuduh itu pada Sarah bukan karena tidak tahu. Entah bagaimana, ia berharap sang ibu mengaku dan menyesalinya, tetapi sepertinya itu hanyalah harapan kosong bagi Aldrich.Dan karena sama sekali tidak mendapat jawaban dari Leon terkait kondisi sang kakak, Aldrich memutuskan untuk berkunjung. Walau ia sempat mendengar Sarah menyebutkan bahwa Adam masih dalam kondisi koma, ia berharap sang kakak sudah sadarkan diri saat ini.“Mama masih bisa bilang begitu. Aku nggak tahu mana yang bisa kupercaya lagi,” gumamnya bermonolog. Netranya tertuju pada benda mungil yang ia letakkan di atas dashboard mobilnya. Dalam benda yang kecil itu, ia menyimpan bukti ucapan sang ibu yang me
“Adam!” batin Irene sambil melompat dari sofa di mana ia duduk dan mengambil langkah besar mendekati ranjang rawat inap. “Saya akan panggil suster. Tolong jaga Tuan Adam sebentar, Nona.” Irene menganggukkan kepala atas permintaan Leon. Tanpa diminta pun, ia akan menjaga Adam di samping pria itu. Melihat mata yang sudah satu minggu tertutup kini terbuka membuat Irene menangis penuh syukur. “Thanks God, you’re awake, Adam,” ujar Irene sambil menyentuhkan dahinya dengan punggung tangan Adam yang ia genggam erat-erat. Adam mencoba memanggil Irene, tapi ia menyerah. Ia merasa tak punya kekuatan bahkan untuk mengangkat jemarinya lebih lagi. “Maaf, aku menyeretmu ke dalam kondisi bahaya. Seharusnya hari itu aku nggak perlu mengajakmu menemui Jeremy,” sesal Adam dalam hati.Tak lama kemudian suster datang dan mengecek kondisi Adam. Dokter pun menyusul kemudian dan menyatakan bahwa kondisi pasiennya kini sudah stabil. “Hanya butuh waktu untuk menyesuaikan saja. Seminggu tak sadarkan dir
“Datang juga bahasan ini. Aku nggak siap! Belum siap!” batin Irene. Ia langsung menghentikan percakapan mereka. “Ah … perutku mules. Adam, aku ke toilet dulu. Sekalian aku beli makan siang. Bye!”Tanpa menoleh lagi, Irene segera keluar dari ruangan dan meninggalkan Adam begitu saja. Leon yang menunggu di luar kamar pun terkejut karena Irene tiba-tiba keluar tanpa menoleh ke mana-mana. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan ketika Leon masuk, ia malah mendapati majikan laki-lakinya tengah terbengong-bengong menatap ke arah pintu kamar.Leon berdehem pelan untuk memberitahu Adam mengenai kehadirannya, kemudian bertanya, “Tuan, apa ada yang terjadi dengan Nona Irene? Dia seperti terburu-buru.”Pandangan Adam akhirnya teralihkan dari pintu itu ke wajah Leon. Katanya, “Itu juga yang menjadi pertanyaanku, Leon. Apa menurutmu dia tidak mau melanjutkan kontraknya?”Kepala Leon miring sedikit, mencoba bertanya dalam diam mengenai apa arti ucapan Adam yang terakhir. Adam yang sudah
Baru saja Adam akan membuka pintu kamar, Galva muncul dan meminta waktu sang majikan. “Tuan, kami sudah menangkap pria itu lagi,” lapor Galva setelah mereka berada di dalam ruang kerja Adam. Pria itu mengangguk menerima informasi bagus tersebut. “Kali ini Sarah tidak akan bisa merusak rencana kita. Bagaimana soal investigasi kecelakaan?”“Jeremy sudah memberi pernyataan yang memberatkan Nyonya Sarah dan Liu Feng. Sebagai ganti, kita tidak akan menjebloskannya ke penjara.” Galva menjabarkan kondisi saat ini. “Kalau begitu, biarkan pihak yang berwajib mengurus semuanya. Aku juga harus membereskan harta warisan Irene yang diambil Jeremy,” putus Adam sambil beranjak dari kursinya. Namun sebelum ia menuju pintu yang terhubung dengan kamarnya, Adam menambahkan, “Besok, bawa Jeremy untuk menemui tuan rumah di rumah Irene.”“Baik, Bos.”Galva pun undur diri sementara Adam menutup pintu panyambung yang ada di antara ruang kerja dan kamar pribadinya.Karena kejadian pertama kali Irene harus
Terlalu gugup dengan pikirannya sendiri, Adam gagal menangkap raut kecewa baik dalam suara maupun wajah Irene. Ia berpikir gadis itu senang karena semua sudah selesai.“Apa kau senang semua ini sudah selesai?” tanya Adam berusaha menyembunyikan kekecewaannya karena menganggap Irene sangat menantikan hari kebebasan. Adam merasa ini kali pertama ia merasakan hatinya sakit. “Apa benar hanya aku yang terpengaruh dengan kedekatan kami? Apa dia tidak sedikit saja mulai menyukaiku?”Irene yang terdiam seribu bahasa membuat Adam ragu untuk bertanya.Gadis itu juga sibuk dengan pertimbangannya. “Apa alasanku buat minta diperpanjang? Aku belum ingin menyerah mendapatkan hatinya.” Dan tanpa bisa dicegah, Irene berkata, “Aku akan sangat berutang budi, kalau aku tidak membantumu sampai selesai, Adam. Kalau bisa, aku ingin melunasi utang budiku. Apa kau nggak butuh anak lagi?”Adam tertegun mendengar ucapan Irene. Terlebih karena otaknya tidak bisa mencerna dan tidak percaya kalau Irene akan men
Keesokan harinya, di ruang kerja Adam. Interkom di mejanya berbunyi dua kali. Dan yang menghubunginya adalah meja kepala sekretaris. “Ya, Gal?”Suara Galleon terdengar ragu, tapi ia menyampaikan juga pesannya, “Pak Adam, ada Pak Alfred di ruang santai direksi.”“Ha?! Grandpa Alfred?!” batin Adam yang spontan melepas genggaman tangannya pada pena tulis dan langsung keluar ruangan tanpa menjawab Galleon.Galleon masih memegangi gagang telepon saat Adam melewati bilik sekretaris menuju ruang santai direksi. “Apa yang dilakukan Grand di sini? Dia hanya pernah datang saat aku melakukan IPO. Apa urusannya di luar negeri sudah selesai?” pikir Adam, mencoba menebak apa yang diinginkan sang kakek.Dan ketika ia tiba di depan pintu ruangan, hatinya sedikit ragu. Selama ini, ia tahu kalau sang kakek tidak seperti Adolf maupun Sarah, tetapi kemungkinan pria tua itu memihak pada putranya dan memilih menutup mata atas perbuatan menantu perempuannya, bisa saja terjadi.“Que sera sera,” batin Adam