Yura membeku. Satu lagi kebenaran yang tak pernah ia ketahui meluncur dari bibir suaminya. Puluhan pertanyaan langsung menyerang kepalanya. Bagaimana bisa Gin memiliki dua ibu? Mengapa demikian? Apa yang terjadi dengan keluarganya? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan secara langsung. Ia pikir, selama ini ia telah mengenal keluarga Satwika lebih dari cukup, ternyata semua hanya permukaan yang ditunjukkan saja. Bukan ke dalam dasarnya. Teka-teki ini sungguh seperti gunung es yang mengapung di atas lautan. Nampak kecil di permukaan, tetapi besar di dalamnya.“Du—dua ibu?” Bibirnya tak bisa bicara lancar.Gin mengangguk lagi dan membenarkan. Air mata yang mengalir lantas di surut. Bersamaan dengan angin yang berhembus kencang menerpa tubuh mereka. Langit cukup mendung sore itu, seolah sedang menggambarkan suasana hati Gin yang kelabu.“Setelah Anjani meninggal, ada banyak hal yang berubah di keluargaku. Jika kau baca nama terakhir Anjani ada Gharvita di sana. Itu
[Ya. Nanti dibelikan, tapi aku ke rumah ibu sebentar antar obat.]Bibir Yura spontan terangkat sempurna saat balasan Gin melayang di notifikasi pesannya. Baru saja ia mengirimkan pesan jika bunga di rumah sudah mulai layu dan juga menitipkan beberapa makanan instan yang sedang ia inginkan. Sejak mereka pulang dari rumah sakit, juga setelah kejujurannya di makam beberapa hari yang lalu, Gin tak lagi takut untuk terang-terangan memberitahu istrinya bila akan ke rumah sang ibu. Terkadang, Yura malah menitipkan beberapa makanannya, meski dengan konsekuensi namanya tak disebutkan kepada Sarah karena sampai saat ini beliau tidak mengetahui jika putranya sudah menikah. Yura tidak keberatan akan hal tersebut. [Iya, tidak apa-apa. Kabari kalau sudah mau pulang.] Yura mengirim balasan.Pesan itu belum terbaca lagi. Jika dulu Yura akan berpikir macam-macam hingga perutnya keram, kini ia merasa itu bukan masalah yang harus diperpanjang. Ia lantas melanjutkan aktivitasnya mencari beberapa refere
“Saya menyesal sudah mengkhinatinya.”Yura kembali menahan diri. Tidak mengerti apa yang membuat wanita di hadapannya berkata demikian, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya saat ini. Wajah Rika berubah menjadi sendu. Yura pun masih menerka-nerka apa maksud dari kata khianat yang baru saja diucapkan oleh Rika. Apakah tentang pekerjaan? Apakah tentang percintaan? Atau tentang hal lainnya?Di sisi lain, ia tahu jika bertebaran rumor hubungan suaminya dengan sang mantan atasan. Selama ini, ia memilih tak ingin menggali sebab rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka berdua. Toh, mereka bekerja secara profesional. Rika bukan orang yang suka mengesampingkan kepentingan perusahaan, Yura sangat tahu itu. Begitu juga dengan Gin yang masa bodoh dengan masa lalu. “Maksud ibu, mengkhianati bagaimana?” Yura akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.Dengan cepat Rika menggeleng, kemudian merubah wajahnya kembali menjadi berseri. Lalu mengambil satu map di hadapannya. “Ah, tida
Yura meletakkan secangkir teh bunga chamomile di atas meja bundar berbahan kaca. Selanjutnya turut duduk di samping sang suami yang sedang bersantai di ruang tengah, menikmati sebuah acara talk show seorang pengusaha asal indonesia yang telah merambah pasar luar negeri. Kebetulan pria itu pulang tepat waktu hari ini.Gin lantas menoleh ke arah Yura yang kini menyandarkan kepala di pundak kirinya. Selanjutnya lelaki itu merentangkan tangannya agar sang istri berada di dalam pelukan. “Kenapa? Kau lelah?” Yura menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin dipeluk,” gumamnya dengan kedua mata yang terpejam. “Bagaimana keadaan ibu? Semuanya baik?”“Sudah mau makan dan minum obat lagi. Aku juga berharap semoga terus membaik. Maaf ya, kalau terkadang aku jadi mengabaikanmu.”“Aku tidak keberatan untuk itu, yang penting kau pulang dan mengabariku.”“Apa yang kau lakukan seharian ini? Menyenangkan?” Gin menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut Yura, detik setelahnya mendaratkan sebuah kecupan rin
Gin menyadari sebuah gelagat tak biasa pada istrinya. Begitu mendengar Negara Kangguru itu, Yura terlihat ragu untuk mengatakan setuju. Sabit di bibirnya terlihat jelas memudar. Pria itu mengingat lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu. Yura juga menolak setiap ia membahas liburan. Hal itu membuat Gin curiga. Padahal, ia sudah menyiapkan segala rencana jika istrinya mau pergi ke sana. “Ada yang salah? Kemarin kau beralasan karena perusahaan sedang tidak baik, kan? Sekarang, semuanya sudah baik, kita mau menunggu apa lagi?” tanya Gin dengan alis yang terangkat samar, “Atau kau mau ke Jepang, Korea? Atau negara mana yang ingin kau kunjungi? Katakan saja.”“Ah, tidak. Aku tidak punya keinginan untuk berkunjung ke negara mana pun. Menurutku, sebaiknya, kita quality time di rumah saja. Banyak yang harus dipersiapkan, aku belum membuat passport, visa, dan sebagainya. Aku juga baru saja pulang dari rumah sakit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan saat lahiran saja lah. Toh, kit
“Ah, Giiin!”Teriakan panjang itu menggema di penjuru ruangan, berbarengan dengan sebuah pelepasan atas permainan yang baru saja usai. Tak terhitung berapa kali ia meneriakkan nama sang suami disetiap gelinjang yang tercipta pada malam panas ini. Setelahnya, yang terdengar hanyalah deru napas kasar yang bersahutan. Dua tangan wanita masih mencengkeram dua lengan Gin yang sedang masih mengungkung tubuhnya. Tak lama kemudian, pria itu membuat jarak. Gin melepas karet pengaman dan mengikatnya sebelum meleparkan benda itu ke tempat sampah yang tak jauh dari ranjang. Selanjutnya menarik tubuh wanita disampingnya ke dalam dekapan sembari mengatur pernapasan. “Kenapa kau tak pernah berubah, hm? Kau selalu bisa membuatku puas!” bisiknya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi istrinya, “dan pertanyaanku dari dulu selalu sama, kau menggunakan sesuatu sebelum kita melakukannya?”Yura pun merespon dengan tawa pelan disela napas yang masih tersengal. “Tidak. Aku tidak menggunakan apa-apa.”
Empat bulan berlalu dengan begitu cepat. Kehamilan Yura telah mencapai usia delapan bulan. Kian hari bayinya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perutnya yang berukuran besar terkadang menghambat aktivitasnya. Berat badannya naik drastis meski masih ideal. Sesak napas, pegal linu, dan fisik yang mudah lelah selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Tak jarang wanita itu menghentikan kegiatannya sementara waktu untuk mengambil napas panjang. Hanya tinggal hitungan minggu, Yura akan segera bertemu dengan anaknya. Sampai saat ini, ia belum mengetahui jenis kelaminnya sesuai dengan permintaan Gin waktu itu. Satu hal yang pasti, seorang bayi yang ada di dalam tubuhnya semakin aktif setiap harinya. Di beberapa waktu akan menendang kuat sampai Yura mendesis panjang karena tak bisa menahan geli. Perkembangan yang baik juga terjadi kepada hubungan Yura dengan suaminya. Gin memang sibuk akhir-akhir ini, ada banyak proyek yang sedang ia tangani sehingga harus mengorbankan waktu lebih banyak
Mata pria berjas hitam itu mengerjap beberapa kali kala mencermati berbagai rincian keuangan juga total setiap anggaran yang dikeluarkan. Tangan kanannya menorehkan sebuah coretan dengan pulpen bertinta merah untuk hal-hal yang menurutnya belum tepat. Sebelum meninggalkan kantor untuk berkunjung ke anak perusahaannya, Gin harus menyelesaikan setumpuk berkas yang berada di meja kerja. Ada sekitar sepuluh berkas pengajuan yang terdiri dari laporan mingguan, approval pengeluaran dana, pengajuan pengadaan barang inventaris di kantor cabang, hingga beberapa surat undangan ke beberapa acara formal. Menjelang pertengahan tahun ada banyak acara yang harus ia hadiri. Dulu saat belum menikah, ia akan menghadiri setiap undangan bila memungkinkan, akan tetapi saat ini Gin harus memilah dan memilih. Terlebih saat usia kandungan Yura mulai menua, ia harus siap menjadi suami siaga. Saat sedang asik membaca beberapa undangan, pintu ruangan diketuk, membuyarkan konsentrasi. Pemegang jabatan tertin