“Kenapa kita ke sini?”Yura tercenung ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di parkiran sebuah pusara milik Keluarga Satwika. Tempat itu tidak tergabung dengan pemakaman umum dan terang-terangan memiliki sebuah plakat untuk menyatakan kepemilikan bahwa tanah ini hanya digunakan oleh orang-orang yang tergabung dalam keluarga tersebut. Satu kesan yang terbesit di hati Yura, meski ini hanyalah sebuah makam, tetapi cukup terawat dan mewah. Bahkan halamannya menggunakan andesit seperti di apartemennya dulu.Dari kejauhan, Yura sudah bisa melihat betapa cantiknya makam-makam yang ada si sana. Hampir seluruh batu penanda menggunakan batu granit yang berukuran empat kali lebih besar dari orang-orang biasa. Ada foto yang tercetak dalam batu penanda tersebut. Dari sini saja sudah membuktikan mereka bukan orang-orang kalangan rendah. Mirip dengan makam orang-orang eropa. “Karena semua fakta yang akan aku katakan padamu, ada di sini,” jawab Gin setelah mengambil beberapa buket bunga
Yura membeku. Satu lagi kebenaran yang tak pernah ia ketahui meluncur dari bibir suaminya. Puluhan pertanyaan langsung menyerang kepalanya. Bagaimana bisa Gin memiliki dua ibu? Mengapa demikian? Apa yang terjadi dengan keluarganya? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan secara langsung. Ia pikir, selama ini ia telah mengenal keluarga Satwika lebih dari cukup, ternyata semua hanya permukaan yang ditunjukkan saja. Bukan ke dalam dasarnya. Teka-teki ini sungguh seperti gunung es yang mengapung di atas lautan. Nampak kecil di permukaan, tetapi besar di dalamnya.“Du—dua ibu?” Bibirnya tak bisa bicara lancar.Gin mengangguk lagi dan membenarkan. Air mata yang mengalir lantas di surut. Bersamaan dengan angin yang berhembus kencang menerpa tubuh mereka. Langit cukup mendung sore itu, seolah sedang menggambarkan suasana hati Gin yang kelabu.“Setelah Anjani meninggal, ada banyak hal yang berubah di keluargaku. Jika kau baca nama terakhir Anjani ada Gharvita di sana. Itu
[Ya. Nanti dibelikan, tapi aku ke rumah ibu sebentar antar obat.]Bibir Yura spontan terangkat sempurna saat balasan Gin melayang di notifikasi pesannya. Baru saja ia mengirimkan pesan jika bunga di rumah sudah mulai layu dan juga menitipkan beberapa makanan instan yang sedang ia inginkan. Sejak mereka pulang dari rumah sakit, juga setelah kejujurannya di makam beberapa hari yang lalu, Gin tak lagi takut untuk terang-terangan memberitahu istrinya bila akan ke rumah sang ibu. Terkadang, Yura malah menitipkan beberapa makanannya, meski dengan konsekuensi namanya tak disebutkan kepada Sarah karena sampai saat ini beliau tidak mengetahui jika putranya sudah menikah. Yura tidak keberatan akan hal tersebut. [Iya, tidak apa-apa. Kabari kalau sudah mau pulang.] Yura mengirim balasan.Pesan itu belum terbaca lagi. Jika dulu Yura akan berpikir macam-macam hingga perutnya keram, kini ia merasa itu bukan masalah yang harus diperpanjang. Ia lantas melanjutkan aktivitasnya mencari beberapa refere
“Saya menyesal sudah mengkhinatinya.”Yura kembali menahan diri. Tidak mengerti apa yang membuat wanita di hadapannya berkata demikian, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya saat ini. Wajah Rika berubah menjadi sendu. Yura pun masih menerka-nerka apa maksud dari kata khianat yang baru saja diucapkan oleh Rika. Apakah tentang pekerjaan? Apakah tentang percintaan? Atau tentang hal lainnya?Di sisi lain, ia tahu jika bertebaran rumor hubungan suaminya dengan sang mantan atasan. Selama ini, ia memilih tak ingin menggali sebab rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka berdua. Toh, mereka bekerja secara profesional. Rika bukan orang yang suka mengesampingkan kepentingan perusahaan, Yura sangat tahu itu. Begitu juga dengan Gin yang masa bodoh dengan masa lalu. “Maksud ibu, mengkhianati bagaimana?” Yura akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.Dengan cepat Rika menggeleng, kemudian merubah wajahnya kembali menjadi berseri. Lalu mengambil satu map di hadapannya. “Ah, tida
Yura meletakkan secangkir teh bunga chamomile di atas meja bundar berbahan kaca. Selanjutnya turut duduk di samping sang suami yang sedang bersantai di ruang tengah, menikmati sebuah acara talk show seorang pengusaha asal indonesia yang telah merambah pasar luar negeri. Kebetulan pria itu pulang tepat waktu hari ini.Gin lantas menoleh ke arah Yura yang kini menyandarkan kepala di pundak kirinya. Selanjutnya lelaki itu merentangkan tangannya agar sang istri berada di dalam pelukan. “Kenapa? Kau lelah?” Yura menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin dipeluk,” gumamnya dengan kedua mata yang terpejam. “Bagaimana keadaan ibu? Semuanya baik?”“Sudah mau makan dan minum obat lagi. Aku juga berharap semoga terus membaik. Maaf ya, kalau terkadang aku jadi mengabaikanmu.”“Aku tidak keberatan untuk itu, yang penting kau pulang dan mengabariku.”“Apa yang kau lakukan seharian ini? Menyenangkan?” Gin menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut Yura, detik setelahnya mendaratkan sebuah kecupan rin
Gin menyadari sebuah gelagat tak biasa pada istrinya. Begitu mendengar Negara Kangguru itu, Yura terlihat ragu untuk mengatakan setuju. Sabit di bibirnya terlihat jelas memudar. Pria itu mengingat lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu. Yura juga menolak setiap ia membahas liburan. Hal itu membuat Gin curiga. Padahal, ia sudah menyiapkan segala rencana jika istrinya mau pergi ke sana. “Ada yang salah? Kemarin kau beralasan karena perusahaan sedang tidak baik, kan? Sekarang, semuanya sudah baik, kita mau menunggu apa lagi?” tanya Gin dengan alis yang terangkat samar, “Atau kau mau ke Jepang, Korea? Atau negara mana yang ingin kau kunjungi? Katakan saja.”“Ah, tidak. Aku tidak punya keinginan untuk berkunjung ke negara mana pun. Menurutku, sebaiknya, kita quality time di rumah saja. Banyak yang harus dipersiapkan, aku belum membuat passport, visa, dan sebagainya. Aku juga baru saja pulang dari rumah sakit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan saat lahiran saja lah. Toh, kit
“Ah, Giiin!”Teriakan panjang itu menggema di penjuru ruangan, berbarengan dengan sebuah pelepasan atas permainan yang baru saja usai. Tak terhitung berapa kali ia meneriakkan nama sang suami disetiap gelinjang yang tercipta pada malam panas ini. Setelahnya, yang terdengar hanyalah deru napas kasar yang bersahutan. Dua tangan wanita masih mencengkeram dua lengan Gin yang sedang masih mengungkung tubuhnya. Tak lama kemudian, pria itu membuat jarak. Gin melepas karet pengaman dan mengikatnya sebelum meleparkan benda itu ke tempat sampah yang tak jauh dari ranjang. Selanjutnya menarik tubuh wanita disampingnya ke dalam dekapan sembari mengatur pernapasan. “Kenapa kau tak pernah berubah, hm? Kau selalu bisa membuatku puas!” bisiknya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi istrinya, “dan pertanyaanku dari dulu selalu sama, kau menggunakan sesuatu sebelum kita melakukannya?”Yura pun merespon dengan tawa pelan disela napas yang masih tersengal. “Tidak. Aku tidak menggunakan apa-apa.”
Empat bulan berlalu dengan begitu cepat. Kehamilan Yura telah mencapai usia delapan bulan. Kian hari bayinya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perutnya yang berukuran besar terkadang menghambat aktivitasnya. Berat badannya naik drastis meski masih ideal. Sesak napas, pegal linu, dan fisik yang mudah lelah selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Tak jarang wanita itu menghentikan kegiatannya sementara waktu untuk mengambil napas panjang. Hanya tinggal hitungan minggu, Yura akan segera bertemu dengan anaknya. Sampai saat ini, ia belum mengetahui jenis kelaminnya sesuai dengan permintaan Gin waktu itu. Satu hal yang pasti, seorang bayi yang ada di dalam tubuhnya semakin aktif setiap harinya. Di beberapa waktu akan menendang kuat sampai Yura mendesis panjang karena tak bisa menahan geli. Perkembangan yang baik juga terjadi kepada hubungan Yura dengan suaminya. Gin memang sibuk akhir-akhir ini, ada banyak proyek yang sedang ia tangani sehingga harus mengorbankan waktu lebih banyak
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth