Yura menatap kumpulan foto pernikahannya bersama Gin di layar ponsel. Sudah lebih dari tiga puluh menit ia menggulir layar dan melihat satu per satu rekam digital itu. Membayangkan kembali momen-momen haru yang terjadi kala dulu. Terlalu bahagia jika dibandingkan dengan saat ini. Semua berubah karena sebuah kebohongan yang entah berapa kali dilakukan. Ketika mengamati gambar-gambar itu, janin dalam perutnya sangat aktif, menendang segala arah hingga membuatnya geli. “Hei, apa kau rindu ayahmu?” tanyanya, “maaf ya, ibu mengabaikannya beberapa hari.”Ia memelukan waktu sebanyak tiga hari untuk berpikir dan merenung. Selama itu pula, ia menjaga jarak dengan suaminya. Ada beberapa kesempatan mereka membalas kata, tetapi hanya seputar hal yang perlu saja. Selebihnya ia tak akan bicara jika Gin tidak bertanya atau memulai pembicaraan. Hanya ingin tahu, seberapa jauh hatinya telah jatuh dan seberapa banyak ia butuh. Ternyata, hidupnya selama ini terlalu bergantung kepada Gin. Ia telah jatuh
Setelah satu minggu menginap di rumah sakit, Yura akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Kondisinya terus membaik dan kembali pulih. Ada kabar bahagia, tak hanya fisik yang semakin pulih, tetapi hubungannya dengan Gin pun kembali merapat seperti sedia kala. Mereka kembali seperti biasanya. Dan, sejak lelaki itu membuka sebuah kejujuran—meski seperti sebuah kesimpulan saja— beban yang bawa dalam rumah tangga mereka entah mengapa berangsur ringan, seperti ada sebuah napas lega setelah sekian lama menahannya. Yura sendiri lebih bisa tersenyum lebar, keraguan yang bersemayam di hatinya juga pertanyaan yang selalu membuatnya berpikir keras telah lenyap entah kemana. Seperti sekarang, saat ia menginjakkan kaki di teras rumah. Ia mendesah panjang. “Akhirnya, aku bisa tidur di kasur malam ini,” gumamnya setelah Gin membuka pintu utama. Dua matanya berkeliling, mengamati setiap sudut rumah yang rasanya tak memiliki perubahan apa-apa. Sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan. Namun, saat
“Kenapa kita ke sini?”Yura tercenung ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di parkiran sebuah pusara milik Keluarga Satwika. Tempat itu tidak tergabung dengan pemakaman umum dan terang-terangan memiliki sebuah plakat untuk menyatakan kepemilikan bahwa tanah ini hanya digunakan oleh orang-orang yang tergabung dalam keluarga tersebut. Satu kesan yang terbesit di hati Yura, meski ini hanyalah sebuah makam, tetapi cukup terawat dan mewah. Bahkan halamannya menggunakan andesit seperti di apartemennya dulu.Dari kejauhan, Yura sudah bisa melihat betapa cantiknya makam-makam yang ada si sana. Hampir seluruh batu penanda menggunakan batu granit yang berukuran empat kali lebih besar dari orang-orang biasa. Ada foto yang tercetak dalam batu penanda tersebut. Dari sini saja sudah membuktikan mereka bukan orang-orang kalangan rendah. Mirip dengan makam orang-orang eropa. “Karena semua fakta yang akan aku katakan padamu, ada di sini,” jawab Gin setelah mengambil beberapa buket bunga
Yura membeku. Satu lagi kebenaran yang tak pernah ia ketahui meluncur dari bibir suaminya. Puluhan pertanyaan langsung menyerang kepalanya. Bagaimana bisa Gin memiliki dua ibu? Mengapa demikian? Apa yang terjadi dengan keluarganya? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan secara langsung. Ia pikir, selama ini ia telah mengenal keluarga Satwika lebih dari cukup, ternyata semua hanya permukaan yang ditunjukkan saja. Bukan ke dalam dasarnya. Teka-teki ini sungguh seperti gunung es yang mengapung di atas lautan. Nampak kecil di permukaan, tetapi besar di dalamnya.“Du—dua ibu?” Bibirnya tak bisa bicara lancar.Gin mengangguk lagi dan membenarkan. Air mata yang mengalir lantas di surut. Bersamaan dengan angin yang berhembus kencang menerpa tubuh mereka. Langit cukup mendung sore itu, seolah sedang menggambarkan suasana hati Gin yang kelabu.“Setelah Anjani meninggal, ada banyak hal yang berubah di keluargaku. Jika kau baca nama terakhir Anjani ada Gharvita di sana. Itu
[Ya. Nanti dibelikan, tapi aku ke rumah ibu sebentar antar obat.]Bibir Yura spontan terangkat sempurna saat balasan Gin melayang di notifikasi pesannya. Baru saja ia mengirimkan pesan jika bunga di rumah sudah mulai layu dan juga menitipkan beberapa makanan instan yang sedang ia inginkan. Sejak mereka pulang dari rumah sakit, juga setelah kejujurannya di makam beberapa hari yang lalu, Gin tak lagi takut untuk terang-terangan memberitahu istrinya bila akan ke rumah sang ibu. Terkadang, Yura malah menitipkan beberapa makanannya, meski dengan konsekuensi namanya tak disebutkan kepada Sarah karena sampai saat ini beliau tidak mengetahui jika putranya sudah menikah. Yura tidak keberatan akan hal tersebut. [Iya, tidak apa-apa. Kabari kalau sudah mau pulang.] Yura mengirim balasan.Pesan itu belum terbaca lagi. Jika dulu Yura akan berpikir macam-macam hingga perutnya keram, kini ia merasa itu bukan masalah yang harus diperpanjang. Ia lantas melanjutkan aktivitasnya mencari beberapa refere
“Saya menyesal sudah mengkhinatinya.”Yura kembali menahan diri. Tidak mengerti apa yang membuat wanita di hadapannya berkata demikian, tetapi ada satu hal yang menarik perhatiannya saat ini. Wajah Rika berubah menjadi sendu. Yura pun masih menerka-nerka apa maksud dari kata khianat yang baru saja diucapkan oleh Rika. Apakah tentang pekerjaan? Apakah tentang percintaan? Atau tentang hal lainnya?Di sisi lain, ia tahu jika bertebaran rumor hubungan suaminya dengan sang mantan atasan. Selama ini, ia memilih tak ingin menggali sebab rasanya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari mereka berdua. Toh, mereka bekerja secara profesional. Rika bukan orang yang suka mengesampingkan kepentingan perusahaan, Yura sangat tahu itu. Begitu juga dengan Gin yang masa bodoh dengan masa lalu. “Maksud ibu, mengkhianati bagaimana?” Yura akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.Dengan cepat Rika menggeleng, kemudian merubah wajahnya kembali menjadi berseri. Lalu mengambil satu map di hadapannya. “Ah, tida
Yura meletakkan secangkir teh bunga chamomile di atas meja bundar berbahan kaca. Selanjutnya turut duduk di samping sang suami yang sedang bersantai di ruang tengah, menikmati sebuah acara talk show seorang pengusaha asal indonesia yang telah merambah pasar luar negeri. Kebetulan pria itu pulang tepat waktu hari ini.Gin lantas menoleh ke arah Yura yang kini menyandarkan kepala di pundak kirinya. Selanjutnya lelaki itu merentangkan tangannya agar sang istri berada di dalam pelukan. “Kenapa? Kau lelah?” Yura menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin dipeluk,” gumamnya dengan kedua mata yang terpejam. “Bagaimana keadaan ibu? Semuanya baik?”“Sudah mau makan dan minum obat lagi. Aku juga berharap semoga terus membaik. Maaf ya, kalau terkadang aku jadi mengabaikanmu.”“Aku tidak keberatan untuk itu, yang penting kau pulang dan mengabariku.”“Apa yang kau lakukan seharian ini? Menyenangkan?” Gin menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut Yura, detik setelahnya mendaratkan sebuah kecupan rin
Gin menyadari sebuah gelagat tak biasa pada istrinya. Begitu mendengar Negara Kangguru itu, Yura terlihat ragu untuk mengatakan setuju. Sabit di bibirnya terlihat jelas memudar. Pria itu mengingat lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu. Yura juga menolak setiap ia membahas liburan. Hal itu membuat Gin curiga. Padahal, ia sudah menyiapkan segala rencana jika istrinya mau pergi ke sana. “Ada yang salah? Kemarin kau beralasan karena perusahaan sedang tidak baik, kan? Sekarang, semuanya sudah baik, kita mau menunggu apa lagi?” tanya Gin dengan alis yang terangkat samar, “Atau kau mau ke Jepang, Korea? Atau negara mana yang ingin kau kunjungi? Katakan saja.”“Ah, tidak. Aku tidak punya keinginan untuk berkunjung ke negara mana pun. Menurutku, sebaiknya, kita quality time di rumah saja. Banyak yang harus dipersiapkan, aku belum membuat passport, visa, dan sebagainya. Aku juga baru saja pulang dari rumah sakit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan saat lahiran saja lah. Toh, kit