Halo, maaf baru upload karena sedang tidak enak badan :) terima kasih sudah menunggu, selamat membaca.
“Selamat siang, Pak, senang kita bertemu di sini. Apa ada anggota keluarga yang di rawat di sini?” Seperti biasa wanita itu menyapa dengan ceria bahkan semakin melebarkan pintu.“Ya.”“Ah, begitu rupanya. Maaf, saya sedang mencari pasien. Ibu muda yang depresi dan seperti biasa, self harm. Sudah masuk tiga hari yang lalu, tetapi pindah kamar, dan kebetulan ruangannya ada di area yang sama. Saya kira dipindah ke sini.” Dr. Arum menyunggingkan senyuman. Selama mendengarkan lawan bicara, Gin berpura-pura mengambil air di atas nakas seraya menggeser tubuhnya ke samping kepala brankar. Hal itu sengaja ia lakukan agar dr. Arum tak melihat wajah Yura. Sudah ia pastikan jika ahli medis yang menangani ibunya itu belum melihat wajah Yura sama sekali. Bukan apa-apa. Gin hanya tidak ingin privasinya diketahui, walau ia juga tahu jika dr. Arum bukan orang yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Hanya saja, jika dia tak tahu tentang Yura maka Gin tidak perlu merasa khawatir. Sebab, wanita i
[Aku di cafe. Kirim pesan saja kalau mau dibelikan sesuatu.] Pesan terkirim kepada Yura bersamaan dengan lampiran sebuah gambar katalog menu. Ya, ia tiba-tiba saja berpikir mungkin istrinya bosan dengan makanan ransum. Gin menepati janjinya, meninggalkan Yura setelah dokter melakukan kunjungan dan memeriksa keadaannya. Istrinya sudah makan dan minum obat. Dokter yang menanganinya mengatakan jika hasilnya baik, sehingga ia tak perlu panik. Martha juga sudah kembali ke rumah sakit, ia tak ragu lagi jika Yura membutuhkan sesuatu. Kebetulan juga ia butuh udara segar. Lelaki itu membawa laptop kerjanya ke kafe rumah sakit yang tak jauh dari ruang rawat istrinya. Sebotol air mineral dan sebuah roti panggang selai cokelat baru saja ia bawa dari kasir. Sebenarnya ada kopi yang ia bawa, tetapi dalam antrian dan akan diantar beberapa menit ke depan. Suasana kafe saat itu sedang lengang. Ada beberapa orang sebayanya yang berada di sudut ruangan. Segerombolan anak muda yang entah bagaimana bisa
Sementara itu, di tempat yang lain. Yura sedang duduk di sofa. Pandangannya fokus membaca sebuah buku bacaan yang dibawakan Martha, mertuanya. Katanya, agar Yura memiliki aktivitas selama di rumah sakit. Jadi, walau istirahat tetapi tidak hanya berbaring di atas brankar saja. Walau bukan novel romansa atau pengetahuan parenting yang sedang ingin ia dalami, Yura tidak merasa keberatan. Justru buku kumpulan resep kuliner yang dibawakan mertuanya ini menambah pengetahuannya tentang masakan nusantara. Ada beberapa juga masakan luar yang dikombinasikan dengan bumbu rempah ala indonesia. Sampai Yura menelan ludah, seakan tak sabar mempraktekkan resep-resep itu. Yura juga sudah membaca pesan dari Gin. Namun, ia tidak ada keinginan untuk makan apa-apa saat ini. Semua menu yang dikirimkan padanya tak ada yang menarik hati. Meski begitu, Yura tidak membalas apa pun. Biar saja.“Semoga buku itu tidak membuatmu bosan,” harap Martha seraya meletakkan sebuah piring di hadapan Yura. Benda itu beri
Yura menatap kumpulan foto pernikahannya bersama Gin di layar ponsel. Sudah lebih dari tiga puluh menit ia menggulir layar dan melihat satu per satu rekam digital itu. Membayangkan kembali momen-momen haru yang terjadi kala dulu. Terlalu bahagia jika dibandingkan dengan saat ini. Semua berubah karena sebuah kebohongan yang entah berapa kali dilakukan. Ketika mengamati gambar-gambar itu, janin dalam perutnya sangat aktif, menendang segala arah hingga membuatnya geli. “Hei, apa kau rindu ayahmu?” tanyanya, “maaf ya, ibu mengabaikannya beberapa hari.”Ia memelukan waktu sebanyak tiga hari untuk berpikir dan merenung. Selama itu pula, ia menjaga jarak dengan suaminya. Ada beberapa kesempatan mereka membalas kata, tetapi hanya seputar hal yang perlu saja. Selebihnya ia tak akan bicara jika Gin tidak bertanya atau memulai pembicaraan. Hanya ingin tahu, seberapa jauh hatinya telah jatuh dan seberapa banyak ia butuh. Ternyata, hidupnya selama ini terlalu bergantung kepada Gin. Ia telah jatuh
Setelah satu minggu menginap di rumah sakit, Yura akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Kondisinya terus membaik dan kembali pulih. Ada kabar bahagia, tak hanya fisik yang semakin pulih, tetapi hubungannya dengan Gin pun kembali merapat seperti sedia kala. Mereka kembali seperti biasanya. Dan, sejak lelaki itu membuka sebuah kejujuran—meski seperti sebuah kesimpulan saja— beban yang bawa dalam rumah tangga mereka entah mengapa berangsur ringan, seperti ada sebuah napas lega setelah sekian lama menahannya. Yura sendiri lebih bisa tersenyum lebar, keraguan yang bersemayam di hatinya juga pertanyaan yang selalu membuatnya berpikir keras telah lenyap entah kemana. Seperti sekarang, saat ia menginjakkan kaki di teras rumah. Ia mendesah panjang. “Akhirnya, aku bisa tidur di kasur malam ini,” gumamnya setelah Gin membuka pintu utama. Dua matanya berkeliling, mengamati setiap sudut rumah yang rasanya tak memiliki perubahan apa-apa. Sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan. Namun, saat
“Kenapa kita ke sini?”Yura tercenung ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di parkiran sebuah pusara milik Keluarga Satwika. Tempat itu tidak tergabung dengan pemakaman umum dan terang-terangan memiliki sebuah plakat untuk menyatakan kepemilikan bahwa tanah ini hanya digunakan oleh orang-orang yang tergabung dalam keluarga tersebut. Satu kesan yang terbesit di hati Yura, meski ini hanyalah sebuah makam, tetapi cukup terawat dan mewah. Bahkan halamannya menggunakan andesit seperti di apartemennya dulu.Dari kejauhan, Yura sudah bisa melihat betapa cantiknya makam-makam yang ada si sana. Hampir seluruh batu penanda menggunakan batu granit yang berukuran empat kali lebih besar dari orang-orang biasa. Ada foto yang tercetak dalam batu penanda tersebut. Dari sini saja sudah membuktikan mereka bukan orang-orang kalangan rendah. Mirip dengan makam orang-orang eropa. “Karena semua fakta yang akan aku katakan padamu, ada di sini,” jawab Gin setelah mengambil beberapa buket bunga
Yura membeku. Satu lagi kebenaran yang tak pernah ia ketahui meluncur dari bibir suaminya. Puluhan pertanyaan langsung menyerang kepalanya. Bagaimana bisa Gin memiliki dua ibu? Mengapa demikian? Apa yang terjadi dengan keluarganya? dan masih banyak lagi pertanyaan yang tak bisa ia lontarkan secara langsung. Ia pikir, selama ini ia telah mengenal keluarga Satwika lebih dari cukup, ternyata semua hanya permukaan yang ditunjukkan saja. Bukan ke dalam dasarnya. Teka-teki ini sungguh seperti gunung es yang mengapung di atas lautan. Nampak kecil di permukaan, tetapi besar di dalamnya.“Du—dua ibu?” Bibirnya tak bisa bicara lancar.Gin mengangguk lagi dan membenarkan. Air mata yang mengalir lantas di surut. Bersamaan dengan angin yang berhembus kencang menerpa tubuh mereka. Langit cukup mendung sore itu, seolah sedang menggambarkan suasana hati Gin yang kelabu.“Setelah Anjani meninggal, ada banyak hal yang berubah di keluargaku. Jika kau baca nama terakhir Anjani ada Gharvita di sana. Itu
[Ya. Nanti dibelikan, tapi aku ke rumah ibu sebentar antar obat.]Bibir Yura spontan terangkat sempurna saat balasan Gin melayang di notifikasi pesannya. Baru saja ia mengirimkan pesan jika bunga di rumah sudah mulai layu dan juga menitipkan beberapa makanan instan yang sedang ia inginkan. Sejak mereka pulang dari rumah sakit, juga setelah kejujurannya di makam beberapa hari yang lalu, Gin tak lagi takut untuk terang-terangan memberitahu istrinya bila akan ke rumah sang ibu. Terkadang, Yura malah menitipkan beberapa makanannya, meski dengan konsekuensi namanya tak disebutkan kepada Sarah karena sampai saat ini beliau tidak mengetahui jika putranya sudah menikah. Yura tidak keberatan akan hal tersebut. [Iya, tidak apa-apa. Kabari kalau sudah mau pulang.] Yura mengirim balasan.Pesan itu belum terbaca lagi. Jika dulu Yura akan berpikir macam-macam hingga perutnya keram, kini ia merasa itu bukan masalah yang harus diperpanjang. Ia lantas melanjutkan aktivitasnya mencari beberapa refere