Yura menyibak kelopak mata saat merasakan sebuah sensasi dingin menusuk hidungnya. Perlahan ia mengerjap, menyeimbangkan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Sebuah dinding familiar dari tempat yang tidak pernah ingin ia kunjungi lagi mulai terlihat jelas, kemudian aroma antiseptic yang tercium samar, yang lebih dominan rasa kering karena ada udara sejuk yang terus merangsek masuk ke rongga hidungnya. Detik berikutnya ia menyadari sebuah selang oksigen terpasang di indera penciuman, kemudian selang infus membuat tangan kirinya kesulitan bergerak. Ia sedang terbaring di atas brankar. Tanpa diminta, rekaman peristiwa semalam terputar ulang di kepalanya. Sontak, Yura menggerakkan kedua tangan untuk memegang bagian perut dan berusaha menundukkan kepala. Meski tak terlalu yakin, tetapi Yura percaya jika masih ada sebuah nyawa yang bertahan di dalam sana. Saat bergerak pun ia tak merasakan sakit karena tindakan medis. Kepercayaan itu mulai bertambah saat merasakan gerakan aktif bayinya y
Gerakan kepala seseorang di atas brankar, mencuri perhatian Gin. Pria itu segera menegakkan tubuhnya ketika menyadari bahwa wanita yang ia tunggu sedari tadi sudah terbangun. Tidak peduli seberapa berat kepalanya saat ini, Gin hanya ingin melihat istrinya, lalu meminta maaf—apa pun reaksinya. Akan tetapi, baru saja menurunkan sebelah kakinya yang tersilang, tangan Martha bergerak memberikan kode ‘jangan’ kepadanya. Sang bunda seolah tahu apa niat yang ada di dalam hatinya. Martha meminta agar dirinya tetap diam di tempat, atau kalau bisa melanjutkan saja istirahatnya. Gin menolaknya dengan gelengan, ia tetap ingin bicara dengan istrinya tetapi balasan gestur sang bunda membuatnya urung. Pria itu melepas desah panjang sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju sofa. Pada sebuah cermin kecil yang tergantung di atas wastafel, Gin mengamati penampilannya yang cukup buruk. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa sang bunda memintanya tak bicara dulu, wajahnya tak karuan. Sepertinya ia h
“Selamat siang, Pak, senang kita bertemu di sini. Apa ada anggota keluarga yang di rawat di sini?” Seperti biasa wanita itu menyapa dengan ceria bahkan semakin melebarkan pintu.“Ya.”“Ah, begitu rupanya. Maaf, saya sedang mencari pasien. Ibu muda yang depresi dan seperti biasa, self harm. Sudah masuk tiga hari yang lalu, tetapi pindah kamar, dan kebetulan ruangannya ada di area yang sama. Saya kira dipindah ke sini.” Dr. Arum menyunggingkan senyuman. Selama mendengarkan lawan bicara, Gin berpura-pura mengambil air di atas nakas seraya menggeser tubuhnya ke samping kepala brankar. Hal itu sengaja ia lakukan agar dr. Arum tak melihat wajah Yura. Sudah ia pastikan jika ahli medis yang menangani ibunya itu belum melihat wajah Yura sama sekali. Bukan apa-apa. Gin hanya tidak ingin privasinya diketahui, walau ia juga tahu jika dr. Arum bukan orang yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Hanya saja, jika dia tak tahu tentang Yura maka Gin tidak perlu merasa khawatir. Sebab, wanita i
[Aku di cafe. Kirim pesan saja kalau mau dibelikan sesuatu.] Pesan terkirim kepada Yura bersamaan dengan lampiran sebuah gambar katalog menu. Ya, ia tiba-tiba saja berpikir mungkin istrinya bosan dengan makanan ransum. Gin menepati janjinya, meninggalkan Yura setelah dokter melakukan kunjungan dan memeriksa keadaannya. Istrinya sudah makan dan minum obat. Dokter yang menanganinya mengatakan jika hasilnya baik, sehingga ia tak perlu panik. Martha juga sudah kembali ke rumah sakit, ia tak ragu lagi jika Yura membutuhkan sesuatu. Kebetulan juga ia butuh udara segar. Lelaki itu membawa laptop kerjanya ke kafe rumah sakit yang tak jauh dari ruang rawat istrinya. Sebotol air mineral dan sebuah roti panggang selai cokelat baru saja ia bawa dari kasir. Sebenarnya ada kopi yang ia bawa, tetapi dalam antrian dan akan diantar beberapa menit ke depan. Suasana kafe saat itu sedang lengang. Ada beberapa orang sebayanya yang berada di sudut ruangan. Segerombolan anak muda yang entah bagaimana bisa
Sementara itu, di tempat yang lain. Yura sedang duduk di sofa. Pandangannya fokus membaca sebuah buku bacaan yang dibawakan Martha, mertuanya. Katanya, agar Yura memiliki aktivitas selama di rumah sakit. Jadi, walau istirahat tetapi tidak hanya berbaring di atas brankar saja. Walau bukan novel romansa atau pengetahuan parenting yang sedang ingin ia dalami, Yura tidak merasa keberatan. Justru buku kumpulan resep kuliner yang dibawakan mertuanya ini menambah pengetahuannya tentang masakan nusantara. Ada beberapa juga masakan luar yang dikombinasikan dengan bumbu rempah ala indonesia. Sampai Yura menelan ludah, seakan tak sabar mempraktekkan resep-resep itu. Yura juga sudah membaca pesan dari Gin. Namun, ia tidak ada keinginan untuk makan apa-apa saat ini. Semua menu yang dikirimkan padanya tak ada yang menarik hati. Meski begitu, Yura tidak membalas apa pun. Biar saja.“Semoga buku itu tidak membuatmu bosan,” harap Martha seraya meletakkan sebuah piring di hadapan Yura. Benda itu beri
Yura menatap kumpulan foto pernikahannya bersama Gin di layar ponsel. Sudah lebih dari tiga puluh menit ia menggulir layar dan melihat satu per satu rekam digital itu. Membayangkan kembali momen-momen haru yang terjadi kala dulu. Terlalu bahagia jika dibandingkan dengan saat ini. Semua berubah karena sebuah kebohongan yang entah berapa kali dilakukan. Ketika mengamati gambar-gambar itu, janin dalam perutnya sangat aktif, menendang segala arah hingga membuatnya geli. “Hei, apa kau rindu ayahmu?” tanyanya, “maaf ya, ibu mengabaikannya beberapa hari.”Ia memelukan waktu sebanyak tiga hari untuk berpikir dan merenung. Selama itu pula, ia menjaga jarak dengan suaminya. Ada beberapa kesempatan mereka membalas kata, tetapi hanya seputar hal yang perlu saja. Selebihnya ia tak akan bicara jika Gin tidak bertanya atau memulai pembicaraan. Hanya ingin tahu, seberapa jauh hatinya telah jatuh dan seberapa banyak ia butuh. Ternyata, hidupnya selama ini terlalu bergantung kepada Gin. Ia telah jatuh
Setelah satu minggu menginap di rumah sakit, Yura akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Kondisinya terus membaik dan kembali pulih. Ada kabar bahagia, tak hanya fisik yang semakin pulih, tetapi hubungannya dengan Gin pun kembali merapat seperti sedia kala. Mereka kembali seperti biasanya. Dan, sejak lelaki itu membuka sebuah kejujuran—meski seperti sebuah kesimpulan saja— beban yang bawa dalam rumah tangga mereka entah mengapa berangsur ringan, seperti ada sebuah napas lega setelah sekian lama menahannya. Yura sendiri lebih bisa tersenyum lebar, keraguan yang bersemayam di hatinya juga pertanyaan yang selalu membuatnya berpikir keras telah lenyap entah kemana. Seperti sekarang, saat ia menginjakkan kaki di teras rumah. Ia mendesah panjang. “Akhirnya, aku bisa tidur di kasur malam ini,” gumamnya setelah Gin membuka pintu utama. Dua matanya berkeliling, mengamati setiap sudut rumah yang rasanya tak memiliki perubahan apa-apa. Sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan. Namun, saat
“Kenapa kita ke sini?”Yura tercenung ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di parkiran sebuah pusara milik Keluarga Satwika. Tempat itu tidak tergabung dengan pemakaman umum dan terang-terangan memiliki sebuah plakat untuk menyatakan kepemilikan bahwa tanah ini hanya digunakan oleh orang-orang yang tergabung dalam keluarga tersebut. Satu kesan yang terbesit di hati Yura, meski ini hanyalah sebuah makam, tetapi cukup terawat dan mewah. Bahkan halamannya menggunakan andesit seperti di apartemennya dulu.Dari kejauhan, Yura sudah bisa melihat betapa cantiknya makam-makam yang ada si sana. Hampir seluruh batu penanda menggunakan batu granit yang berukuran empat kali lebih besar dari orang-orang biasa. Ada foto yang tercetak dalam batu penanda tersebut. Dari sini saja sudah membuktikan mereka bukan orang-orang kalangan rendah. Mirip dengan makam orang-orang eropa. “Karena semua fakta yang akan aku katakan padamu, ada di sini,” jawab Gin setelah mengambil beberapa buket bunga
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth