Bibir mungil itu terlihat pucat, meski Gin masih bisa melihat residu pelembab yang berada dipermukaan. Taburan bedak yang tidak terlalu tebal telah luntur karena air mata. Kemudian, satu hal lagi yang membuat hati lelaki itu semakin berdenyut nyeri, dress satin berwarna merah masih melekat di badan Yura. Dari ketiga hal itu saja, Gin sudah bisa menduga bahwa istrinya telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat acara semalam menjadi spesial.Semua sudah berantakan. Entah siapa yang harus ia salahkan, yang pasti diri sendiri.Gin menarik sebuah kursi agar lebih dekat dengan brankar tempat istrinya berbaring. Ia duduk di sana dan memberanikan diri untuk meraih salah satu tangan Yura yang tak terpasang infus. Dikecupnya tangan itu dengan pelan bersamaan dengan sebulir air yang mulai mengalir deras. Tidak ada kata yang sanggup meluncur dari bibi lelaki itu. Otot-otot disekitar rahangnya seakan lumpuh, beku, dan kaku. Bahkan kata maaf saja hanya bisa ia teriakkan dalam hati. Pada akhir
Yura menyibak kelopak mata saat merasakan sebuah sensasi dingin menusuk hidungnya. Perlahan ia mengerjap, menyeimbangkan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Sebuah dinding familiar dari tempat yang tidak pernah ingin ia kunjungi lagi mulai terlihat jelas, kemudian aroma antiseptic yang tercium samar, yang lebih dominan rasa kering karena ada udara sejuk yang terus merangsek masuk ke rongga hidungnya. Detik berikutnya ia menyadari sebuah selang oksigen terpasang di indera penciuman, kemudian selang infus membuat tangan kirinya kesulitan bergerak. Ia sedang terbaring di atas brankar. Tanpa diminta, rekaman peristiwa semalam terputar ulang di kepalanya. Sontak, Yura menggerakkan kedua tangan untuk memegang bagian perut dan berusaha menundukkan kepala. Meski tak terlalu yakin, tetapi Yura percaya jika masih ada sebuah nyawa yang bertahan di dalam sana. Saat bergerak pun ia tak merasakan sakit karena tindakan medis. Kepercayaan itu mulai bertambah saat merasakan gerakan aktif bayinya y
Gerakan kepala seseorang di atas brankar, mencuri perhatian Gin. Pria itu segera menegakkan tubuhnya ketika menyadari bahwa wanita yang ia tunggu sedari tadi sudah terbangun. Tidak peduli seberapa berat kepalanya saat ini, Gin hanya ingin melihat istrinya, lalu meminta maaf—apa pun reaksinya. Akan tetapi, baru saja menurunkan sebelah kakinya yang tersilang, tangan Martha bergerak memberikan kode ‘jangan’ kepadanya. Sang bunda seolah tahu apa niat yang ada di dalam hatinya. Martha meminta agar dirinya tetap diam di tempat, atau kalau bisa melanjutkan saja istirahatnya. Gin menolaknya dengan gelengan, ia tetap ingin bicara dengan istrinya tetapi balasan gestur sang bunda membuatnya urung. Pria itu melepas desah panjang sebelum akhirnya bangkit berdiri menuju sofa. Pada sebuah cermin kecil yang tergantung di atas wastafel, Gin mengamati penampilannya yang cukup buruk. Mungkin ini juga salah satu alasan mengapa sang bunda memintanya tak bicara dulu, wajahnya tak karuan. Sepertinya ia h
“Selamat siang, Pak, senang kita bertemu di sini. Apa ada anggota keluarga yang di rawat di sini?” Seperti biasa wanita itu menyapa dengan ceria bahkan semakin melebarkan pintu.“Ya.”“Ah, begitu rupanya. Maaf, saya sedang mencari pasien. Ibu muda yang depresi dan seperti biasa, self harm. Sudah masuk tiga hari yang lalu, tetapi pindah kamar, dan kebetulan ruangannya ada di area yang sama. Saya kira dipindah ke sini.” Dr. Arum menyunggingkan senyuman. Selama mendengarkan lawan bicara, Gin berpura-pura mengambil air di atas nakas seraya menggeser tubuhnya ke samping kepala brankar. Hal itu sengaja ia lakukan agar dr. Arum tak melihat wajah Yura. Sudah ia pastikan jika ahli medis yang menangani ibunya itu belum melihat wajah Yura sama sekali. Bukan apa-apa. Gin hanya tidak ingin privasinya diketahui, walau ia juga tahu jika dr. Arum bukan orang yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Hanya saja, jika dia tak tahu tentang Yura maka Gin tidak perlu merasa khawatir. Sebab, wanita i
[Aku di cafe. Kirim pesan saja kalau mau dibelikan sesuatu.] Pesan terkirim kepada Yura bersamaan dengan lampiran sebuah gambar katalog menu. Ya, ia tiba-tiba saja berpikir mungkin istrinya bosan dengan makanan ransum. Gin menepati janjinya, meninggalkan Yura setelah dokter melakukan kunjungan dan memeriksa keadaannya. Istrinya sudah makan dan minum obat. Dokter yang menanganinya mengatakan jika hasilnya baik, sehingga ia tak perlu panik. Martha juga sudah kembali ke rumah sakit, ia tak ragu lagi jika Yura membutuhkan sesuatu. Kebetulan juga ia butuh udara segar. Lelaki itu membawa laptop kerjanya ke kafe rumah sakit yang tak jauh dari ruang rawat istrinya. Sebotol air mineral dan sebuah roti panggang selai cokelat baru saja ia bawa dari kasir. Sebenarnya ada kopi yang ia bawa, tetapi dalam antrian dan akan diantar beberapa menit ke depan. Suasana kafe saat itu sedang lengang. Ada beberapa orang sebayanya yang berada di sudut ruangan. Segerombolan anak muda yang entah bagaimana bisa
Sementara itu, di tempat yang lain. Yura sedang duduk di sofa. Pandangannya fokus membaca sebuah buku bacaan yang dibawakan Martha, mertuanya. Katanya, agar Yura memiliki aktivitas selama di rumah sakit. Jadi, walau istirahat tetapi tidak hanya berbaring di atas brankar saja. Walau bukan novel romansa atau pengetahuan parenting yang sedang ingin ia dalami, Yura tidak merasa keberatan. Justru buku kumpulan resep kuliner yang dibawakan mertuanya ini menambah pengetahuannya tentang masakan nusantara. Ada beberapa juga masakan luar yang dikombinasikan dengan bumbu rempah ala indonesia. Sampai Yura menelan ludah, seakan tak sabar mempraktekkan resep-resep itu. Yura juga sudah membaca pesan dari Gin. Namun, ia tidak ada keinginan untuk makan apa-apa saat ini. Semua menu yang dikirimkan padanya tak ada yang menarik hati. Meski begitu, Yura tidak membalas apa pun. Biar saja.“Semoga buku itu tidak membuatmu bosan,” harap Martha seraya meletakkan sebuah piring di hadapan Yura. Benda itu beri
Yura menatap kumpulan foto pernikahannya bersama Gin di layar ponsel. Sudah lebih dari tiga puluh menit ia menggulir layar dan melihat satu per satu rekam digital itu. Membayangkan kembali momen-momen haru yang terjadi kala dulu. Terlalu bahagia jika dibandingkan dengan saat ini. Semua berubah karena sebuah kebohongan yang entah berapa kali dilakukan. Ketika mengamati gambar-gambar itu, janin dalam perutnya sangat aktif, menendang segala arah hingga membuatnya geli. “Hei, apa kau rindu ayahmu?” tanyanya, “maaf ya, ibu mengabaikannya beberapa hari.”Ia memelukan waktu sebanyak tiga hari untuk berpikir dan merenung. Selama itu pula, ia menjaga jarak dengan suaminya. Ada beberapa kesempatan mereka membalas kata, tetapi hanya seputar hal yang perlu saja. Selebihnya ia tak akan bicara jika Gin tidak bertanya atau memulai pembicaraan. Hanya ingin tahu, seberapa jauh hatinya telah jatuh dan seberapa banyak ia butuh. Ternyata, hidupnya selama ini terlalu bergantung kepada Gin. Ia telah jatuh
Setelah satu minggu menginap di rumah sakit, Yura akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Kondisinya terus membaik dan kembali pulih. Ada kabar bahagia, tak hanya fisik yang semakin pulih, tetapi hubungannya dengan Gin pun kembali merapat seperti sedia kala. Mereka kembali seperti biasanya. Dan, sejak lelaki itu membuka sebuah kejujuran—meski seperti sebuah kesimpulan saja— beban yang bawa dalam rumah tangga mereka entah mengapa berangsur ringan, seperti ada sebuah napas lega setelah sekian lama menahannya. Yura sendiri lebih bisa tersenyum lebar, keraguan yang bersemayam di hatinya juga pertanyaan yang selalu membuatnya berpikir keras telah lenyap entah kemana. Seperti sekarang, saat ia menginjakkan kaki di teras rumah. Ia mendesah panjang. “Akhirnya, aku bisa tidur di kasur malam ini,” gumamnya setelah Gin membuka pintu utama. Dua matanya berkeliling, mengamati setiap sudut rumah yang rasanya tak memiliki perubahan apa-apa. Sama seperti saat terakhir kali ia tinggalkan. Namun, saat