Lordes mendengar pertengkaran antara ayah dan ibunya. Dan secara tidak langsung dia tahu bagaimana sifatnya selama ini yang memang kurang baik.Setengah jam berlalu, ibu Lordes membawa makanan bersama dengan pelayan di belakangnya.Ada banyak makanan yang terhidang hingga membuat Lordes bingung.“Kamu sebelumnya tidak mau makan selama lima hari, makanya ibu khawatir,” kata ibu Lordes.“Kenapa? Kenapa aku tidak mau makan?”Ibunya diam saja.“Sudahlah, itu sudah berlalu, yang penting kamu mau makan sekarang,” kata ibu Lordes.Lordes pun menelan makanannya pelan pelan, setiap sendok makanan yang masuk ke dalam mulutnya membuat ibu Lordes merasa tenang dan lega.“Ibu tidak makan?”“Tidak, melihatmu makan sudah membuat ibu kenyang.”Lordes tersenyum.“Bu, kenapa aku asing berada di kamar ini?” tanya Lordes.“Itu karena kamu kehilangan ingatan kamu, Lordes. Tapi kata dokter ingatan itu akan kembali, karena bukan amnesia permanen.”“Begitu?”“Setidaknya, kamu bisa melupakan hal yang menyakit
“Menikahlah kalau kamu masih ingin memimpin perusahaan itu,” kata seorang wanita yang rambutnya dipenuhi oleh uban.Lelaki yang ada di depannya langsung menatap mata neneknya dengan tatapan yang santai tapi tajam.“Nenek yakin ingin memberikan perusahaan itu pada orang lain?”“Cucuku bukan hanya kamu saja, Lucio. Pikirkan permintaanku ini, atau kamu akan nenek lengserkan dari jabatan itu.” Neneknya lantas berdiri meninggalkan Lucio yang menatapnya gamang.Sudah hampir sembilan tahun lelaki itu mengurus perusahaan yang ditinggalkan oleh kakeknya. Semua berjalan lancar dan proyek yang dia dapatkan selalu berhasil.Tetapi, neneknya tiba tiba memberikan sebuah perintah aneh. Agar dirinya segera menikah dengan ancaman akan melengserkan posisinya dan memberikannya pada sepupunya yang lain jika dia tak segera menikah.Jangankan menikah. Dia saja tidak memiliki kekasih. Lucio tidak pernah ada waktu untuk pacaran karena baginya itu hanyalah membuang-buang waktu dan membuang-buang uang tentunya
Delicia menenggak minumannya lagi ketika di sampingnya ada temannya yang duduk menemani dengan tenang.“Oh—kamu sudah datang rupanya,” kata Delicia.“Aku sudah datang satu jam yang lalu.""Kamu tiba-tiba minum seperti ini pasti ada hal yang menggangumu kan?” tanya Andres.Delicia mengangguk pasrah. “Aku—aku akan diusir dari apartemenku, kalau sampai minggu depan tidak membayar uang sewa. Aku harus bagaimana?” tanya Delicia dengan frustrasi.Sejak dia mengatakan pada Andres melalui telepon jika dia ada di bar Paradise, lelaki itu langsung datang ke sana.Mengingat kebiasaan buruk Delicia yang suka sekali pulang ke rumah mantannya ketika mabuk, membuat Andres tidak bisa membiarkan sahabatnya itu mabuk sendirian.Mereka berdua berteman sejak kelas 3 SD. Jadi mustahil jika keduanya memiliki kebiasaan buruk yang tidak mereka ketahui.“Berapa? Berapa sewanya? Kenapa kamu tidak bilang padaku?”“Enam puluh lima juta.”“Mau tinggal di apartemenku dulu?”Sontak Delicia menatap wajah Andres deng
Lucio diam saja sejak tadi. Bahkan ketika Khaleed memancingnya untuk mengajak bicara padanya.“Anda marah?” tanya Khaleed, meski diam diam dia tersenyum melihat tingkah Lucio saat ini.“Menurutmu?” Langkah Lucio terhenti hanya untuk melihat wajah asistennya yang seakan sedang mengejeknya. “Kalau saja tadi siang kamu bilang padaku jika nenekku merencanakan kencan buta itu, mungkin lebih baik aku pura-pura mati saja.”“Anda yakin? Kalau Anda pura-pura mati pasti nenek Anda akan mengganti posisi Anda dengan Benicio Valeega. Anda mau hal itu terjadi?”“Kamu mengancamku?” Lucio mendengus kasar. Jika saja asistennya itu bukan sahabatnya sejak masih SMA mungkin dia sudah memecatnya dari dulu karena selalu melakukan hal-hal di luar kendalinya.“Saya hanya melakukan perintah nyonya Dolores.”“Nenekku sepertinya sudah kehabisan kenalan wanita. Bagaimana bisa dia mengenalkanku pada—” Ah, kalau Lucio mengingat hal tadi itu, dia ingin sekali marah-marah pada neneknya karena sudah mengenalkan pada
Lucio membuka matanya lamat lamat. Ia melihat bayangan Khaleed sedang berbicara dengan seorang dokter yang mengenakan jubah putih. Khaleed sedang tertawa—hal itu membuatnya kesal.Padahal dirinya saat ini tengah masuk ke rumah sakit.Oh, ya. Jadi dia masuk ke rumah sakit karena apa? Tiba tiba Lucio teringat dengan kejadian menjijikkan yang baru saja terjadi.Lucio terduduk—ia terkesiap kemudian membuka selimutnya dengan buru-buru.Kemudian dia menghela napasnya dengan lega saat melihat bajunya sudah berganti dengan pakaian pasien.Khaleed yang tak sengaja melihat Lucio sudah bangun kemudian menghampirinya.“Pakaianku di mana?” tanya Lucio.“Sudah saya buang,” jawab Khaleed.“Tidak. Ambil pakaian dan sepatuku tadi.”Kening Khaleed mengerut heran. Lelaki yang banyak uang itu untuk apa menginginkan barang menjijikan itu tadi?“…Ya?”“Ambil barang itu cepat!” suruh Lucio.Khaleed yang sudah hafal bagaimana watak Khaleed pun akhirnya menuruti perintah aneh dari Lucio. Dia memutar tubuhnya.
Delicia tak sabar mengirimkan kabar baik pada Andres bahwa dia telah mendapatkan panggilan interview di perusahaan Cortez.Meski masih dalam tahap interview tapi setidaknya dia masih memiliki harapan untuk diterima kendati kecil kemungkinan.Usai mengirimkan pesan pada Andres. Delicia pun berangkat menuju perusahaan Cortez menggunakan bus.Setelah tiga puluh lima menit berlalu. Dia pun sampai di halte dekat perusahaan tersebut.Butuh waktu sampai sepuluh menit baginya untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki.Meski panas—dan mengenakan sepatu hak tinggi, Delicia tampak semangat seakan menemukan harapan dalam hidupnya. Ya, setidaknya begitu.Di sisi lain sebuah mobil sedan berwarna hitam keluaran paling terbaru melintasi Delicia yang berjalan dengan semangat.Lucio yang melihat bayangan tak asing itu meminta Khaleed untuk memperlambat laju mobilnya.“Tunggu dulu, dia si gadis muntah itu, kan?” tanya Lucio. Matanya memandang ke arah Delicia yang tidak tahu jika saat ini dirinya tengah
Delicia masuk ke ruangan interview tersebut dengan perasaan yang tak menentu. Meski Khaleed menyambutnya dengan senyuman manis, tapi hal itu tak lantas membuat hati Delicia jadi tenang.Ia pun duduk di kursi yang berada di tengah. Menatap kursi yang tengah memunggunginya.Dalam hati Delicia, jika ia tahu kalau Lucio yang akan mewawancarainya mungkin dia tidak akan berangkat ke perusahaan itu.“Apa apaan sikapnya itu, kekanak-kanakan sekali,” bisik Delicia dalam hati.Kemudian kursi itu berputar dan munculah sosok Lucio. Ia menatap Delicia dengan senyum miring yang mengesalkan.“Bawa ke sini barangnya,” kata Lucio menyuruh Khaleed.Khaleed pun mengambil sebuah plastik yang dimaksud oleh Lucio. Sementara Delicia bingung dengan keadaan saat ini.Jadi dia ke sana bukan untuk diwawancara? Atau dia akan diinterogasi oleh Lucio?“Silakan ambil ini.” Khaleed menyerahkan plastik itu pada Delicia. “Anda bisa membukanya sekarang.”Mendengar hal itu sebenarnya sudah membuat perasaan Delicia tak en
“Calon istri katamu?” tanya Lucio tak percaya. Sejak kapan dia setuju untuk menikah dengan Bellinda.Ketika dia diserang rasa penasaran, neneknya muncul dengan senyum seperti malaikat.“Sepertinya Bellinda sangat cocok untukmu. Meski tadi siang kamu sudah melakukan hal buruk padanya. Tapi dia masih menghubungiku untuk dapat bertemu denganmu secara langsung.”Lucio tak tahu apa maksud neneknya. Apa yang neneknya rencanakan pun dia tidak mengerti.“Maksud nenek?”“Tadi siang, aku datang ke interview itu karena nenekmu menyuruhku datang ke sana. Tapi kamu tidak tertarik padaku. Maka dari itu. Aku datang ke sini, mungkin perasaanmu sudah berubah,” jawab Bellinda.“Bagaimana? Bellinda cantik kan?”Lucio menatap Bellinda. Wanita itu sama sekali bukan tipe idelnya.“Kenapa wajahmu seperti itu?” Neneknya bertanya pada Lucio setelah melihat cucunya memasang wajah tak suka. “Aku—aku belum ingin menikah.”“Belum ingin menikah? Memangnya mau sampai kapan kamu mau menikah? Kamu saja tidak ada kein