Delicia menenggak minumannya lagi ketika di sampingnya ada temannya yang duduk menemani dengan tenang.
“Oh—kamu sudah datang rupanya,” kata Delicia.“Aku sudah datang satu jam yang lalu.""Kamu tiba-tiba minum seperti ini pasti ada hal yang menggangumu kan?” tanya Andres.Delicia mengangguk pasrah. “Aku—aku akan diusir dari apartemenku, kalau sampai minggu depan tidak membayar uang sewa. Aku harus bagaimana?” tanya Delicia dengan frustrasi.Sejak dia mengatakan pada Andres melalui telepon jika dia ada di bar Paradise, lelaki itu langsung datang ke sana.Mengingat kebiasaan buruk Delicia yang suka sekali pulang ke rumah mantannya ketika mabuk, membuat Andres tidak bisa membiarkan sahabatnya itu mabuk sendirian.Mereka berdua berteman sejak kelas 3 SD. Jadi mustahil jika keduanya memiliki kebiasaan buruk yang tidak mereka ketahui.“Berapa? Berapa sewanya? Kenapa kamu tidak bilang padaku?”“Enam puluh lima juta.”“Mau tinggal di apartemenku dulu?”Sontak Delicia menatap wajah Andres dengan ngeri. “Maksudmu aku dan kamu tinggal dalam satu rumah? Tidak, Andres. Aku tidak bisa membayangkannya.”Andres tersenyum kecil. “Memangnya apa yang kamu bayangkan, hah?” Andres menyelipkan anak rambut Delicia ke belakang telinganya. Dan memandang wajah wanita itu dari samping.Wajah wanita itu memerah. Bukan karena sikap Andres barusan melainkan karena dia mabuk. Sebab bagi Delicia, Andres hanyalah teman biasa.“Di sana masih ada adikku," ucap Andres dengan tenang.Delicia terdiam.“Mungkin seharusnya aku pulang saja ke kampung halamanku. Dan meneruskan pekerjaan ayahku menjadi nelayan yang cantik.” Lama-lama ucapan Delicia seperti ngelindur. Namun Andres dapat memahaminya.“Kalau begitu aku akan meminjamkanmu uang, bagaimana?”Delicia menggeleng pelan. “Kamu pikir aku lupa? Adikmu masuk kuliah tahun ini, dan kamu pernah cerita kalau biayanya tidak murah. Mana mungkin aku tega merebut uang itu.”“Kan kamu akan mengembalikannya? Tidak mengambilnya cuma-cuma.”Delicia tetap menggeleng.“Sepertinya aku akan menggunakan cara lain,” ucapnya pelan. Andres dapat mendengarnya samar samar.“Melakukan apa? Jangan membuatku khawatir, dong?!”“Tidak, ini hal yang tidak akan membuatmu khawatir.”Mata Andres menatap wajah Delicia tak percaya. Seperti yang sudah sudah, wanita itu selalu melakukan hal di luar ekspetasinya.“Kamu mau melakukan apa? Setidaknya bilang dulu padaku, kamu akan melakukan apa. Agar aku bisa mengantisipasinya.”Delicia tersenyum penuh percaya diri.“Kamu tahu kan, kalau aku masih sehat.”Andres mengangguk.“Aku juga sering jogging.”“Kalau ingat.” Andres meralat.“Ah sudah lupakan, yang jelas aku masih muda dan sehat. Jadi aku akan melakukannya.”Kalimat Delicia semakin membuat Andres khawatir. Lelaki itu cemas jika sahabatnya tersebut akan melakukan hal yang sudah ada di benaknya saat ini.“Tolong berikan aku alamat rumah sakit yang sedang membutuhkan organ ginjal,” ucap Delicia seakan hal itu bukanlah masalah. Seakan lebih baik kehilangan ginjalnya daripada dia kehilangan apartemen itu.“Jangan ngawur.” Andres yang ikut frustrasi menenggak wine-nya yang sejak tadi dia abaikan. “Setelah kamu mendapatkan apartemen, beberapa bulan kemudian aku akan mendapatkan kabar kematianmu, begitu?”Delicia menatap kosong di depannya. Dia tidak menanggapi ucapan Andres. Bukan karena dia sakit hati Andres mengatakan hal itu padanya, bukan.Melainkan ia ingat dengan kejadian beberapa tahun yang lalu yang terjadi di rumah susun yang baru ia sewa beberapa bulan.“Aku tidak bisa kembali ke rumah susun. Aku—”“Aku tahu,” sambar Andres. Dia yang menjadi saksi sekaligus yang menolong Delicia pun masih trauma jika mengingatnya. Apalagi dengan Delicia sendiri yang sudah mengalaminya.“Maka dari itu, pinjam uangku atau tinggal di apartemenku sampai kamu mendapatkan pekerjaan.”“Aku tak mau merepotkanmu lagi. Aku sudah terlalu sering merepotkanmu, Andres.”Andres tersenyum. Selama ini dia sudah terbiasa dengan Delicia, bahkan sifat absurd-nya yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling.Delicia yang ia kenal sejak kecil, pernah hampir mati kedinginan di depan rumah mantan kekasihnya gara-gara dia tak ingin putus. Padahal dia sudah diberitahu oleh mantannya jika akan melanjutkan pendidikan di luar negeri.Namun sepertinya Delicia lupa, hingga dia menunggu lelaki itu di depan rumah sampai kehujanan. Ia menggigil hingga demam beberapa hari.Ketika dia sudah sehat dengan enteng dia mengatakan pada Andres, jika apa yang dilakukannya adalah mirip dalam drama yang baru dia tonton dengan hasil keduanya balikan.Andres yang mendengarnya tak dapat berkata-kata. Antara polos atau memang bodoh, Delicia memang seperti itu.“Ayo, aku antar pulang,” ajak Andres.“Tidak, aku bisa pulang sendirian.”“Aku tak mau kalau harus menjemputmu di kantormu yang lama lagi, Delicia. Kamu selalu ke sana dan memanjat pagar dan berteriak seperti orang gila tiap kali kamu mabuk.”“Kali ini tidak akan. Pesankan saja aku taksi.”Meski Delicia berkata begitu, Andres tak langsung percaya. Sebab, selama Delicia mabuk. Wanita itu selalu mendatangi kantornya dan melakukan orasi di sana.Tak hanya itu, bahkan sekuriti yang ada di sana sampai hafal dengan Andres yang selalu datang menjemputnya.“Baiklah, aku akan memesankan taksi untukmu.” Andres mengalah, ia tahu perdebatan itu tak akan ada ujungnya.“Nah begitu dong, anak baik.” Delicia mengusap rambut Andres dengan lembut, seperti seorang ibu yang mengusap kepala anak lelakinya.“Ya, aku memang sangat baik. Kamu memanggilku hanya untuk membayarkan birmu kan?” sindir Andres.Delicia mengangguk, kendati demikian Andres tidak pernah merasa keberatan. Dia malah lebih keberatan jika Delicia diam saja dan tidak mengatakan masalahnya padanya.Begitu Delicia masuk ke taksi. Andres mengatakan pada supir untuk pergi ke alamat apartemen Delicia.Setelah memastikannya, Andres berlari masuk ke dalam mobilnya dan mengikuti mobil taksi yang dinaiki oleh Delicia.Namun ketika taksi itu berada di persimpangan. Jalur yang seharusnya tetap lurus, tapi taksi itu malah berbelok ke kanan membuat Andres kebingungan.“Dia mau ke mana?” Andres dengan sigap langsung membanting stir sebelum kehilangan Delicia.Tak lama kemudian, Delicia dan taksi yang dinaikinya sudah tiba di sebuah gedung perusahaan pencakar langit.Andres tahu perusahaan itu, Perusahan Cortez. Perusahaan property terbesar di negara ini.“Dia mau ke sana? Ada urusan apa Delicia pada perusahaan itu.” Ketika Andres sibuk menggumam. Beberapa detik kemudian dia baru sadar jika apartemen yang ditempati oleh Delicia adalah perusahaan milik Cortez. Ya, itu.“Jangan-jangan—” Dengan panik Andres turun dari mobilnya sebelum Delicia mengacau di sana.Entah apa yang akan dilakukan wanita itu, tapi yang jelas Delicia pasti akan membuat keributan.Andres bergerak cepat—tapi langkahnya terhenti ketika Delicia baru saja tanpa sengaja menabrak seorang lelaki tegap di depannya.“Delicia, tolong jangan lakukan hal bodoh,” gumam Andres lebih seperti permohonan.Lucio diam saja sejak tadi. Bahkan ketika Khaleed memancingnya untuk mengajak bicara padanya.“Anda marah?” tanya Khaleed, meski diam diam dia tersenyum melihat tingkah Lucio saat ini.“Menurutmu?” Langkah Lucio terhenti hanya untuk melihat wajah asistennya yang seakan sedang mengejeknya. “Kalau saja tadi siang kamu bilang padaku jika nenekku merencanakan kencan buta itu, mungkin lebih baik aku pura-pura mati saja.”“Anda yakin? Kalau Anda pura-pura mati pasti nenek Anda akan mengganti posisi Anda dengan Benicio Valeega. Anda mau hal itu terjadi?”“Kamu mengancamku?” Lucio mendengus kasar. Jika saja asistennya itu bukan sahabatnya sejak masih SMA mungkin dia sudah memecatnya dari dulu karena selalu melakukan hal-hal di luar kendalinya.“Saya hanya melakukan perintah nyonya Dolores.”“Nenekku sepertinya sudah kehabisan kenalan wanita. Bagaimana bisa dia mengenalkanku pada—” Ah, kalau Lucio mengingat hal tadi itu, dia ingin sekali marah-marah pada neneknya karena sudah mengenalkan pada
Lucio membuka matanya lamat lamat. Ia melihat bayangan Khaleed sedang berbicara dengan seorang dokter yang mengenakan jubah putih. Khaleed sedang tertawa—hal itu membuatnya kesal.Padahal dirinya saat ini tengah masuk ke rumah sakit.Oh, ya. Jadi dia masuk ke rumah sakit karena apa? Tiba tiba Lucio teringat dengan kejadian menjijikkan yang baru saja terjadi.Lucio terduduk—ia terkesiap kemudian membuka selimutnya dengan buru-buru.Kemudian dia menghela napasnya dengan lega saat melihat bajunya sudah berganti dengan pakaian pasien.Khaleed yang tak sengaja melihat Lucio sudah bangun kemudian menghampirinya.“Pakaianku di mana?” tanya Lucio.“Sudah saya buang,” jawab Khaleed.“Tidak. Ambil pakaian dan sepatuku tadi.”Kening Khaleed mengerut heran. Lelaki yang banyak uang itu untuk apa menginginkan barang menjijikan itu tadi?“…Ya?”“Ambil barang itu cepat!” suruh Lucio.Khaleed yang sudah hafal bagaimana watak Khaleed pun akhirnya menuruti perintah aneh dari Lucio. Dia memutar tubuhnya.
Delicia tak sabar mengirimkan kabar baik pada Andres bahwa dia telah mendapatkan panggilan interview di perusahaan Cortez.Meski masih dalam tahap interview tapi setidaknya dia masih memiliki harapan untuk diterima kendati kecil kemungkinan.Usai mengirimkan pesan pada Andres. Delicia pun berangkat menuju perusahaan Cortez menggunakan bus.Setelah tiga puluh lima menit berlalu. Dia pun sampai di halte dekat perusahaan tersebut.Butuh waktu sampai sepuluh menit baginya untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki.Meski panas—dan mengenakan sepatu hak tinggi, Delicia tampak semangat seakan menemukan harapan dalam hidupnya. Ya, setidaknya begitu.Di sisi lain sebuah mobil sedan berwarna hitam keluaran paling terbaru melintasi Delicia yang berjalan dengan semangat.Lucio yang melihat bayangan tak asing itu meminta Khaleed untuk memperlambat laju mobilnya.“Tunggu dulu, dia si gadis muntah itu, kan?” tanya Lucio. Matanya memandang ke arah Delicia yang tidak tahu jika saat ini dirinya tengah
Delicia masuk ke ruangan interview tersebut dengan perasaan yang tak menentu. Meski Khaleed menyambutnya dengan senyuman manis, tapi hal itu tak lantas membuat hati Delicia jadi tenang.Ia pun duduk di kursi yang berada di tengah. Menatap kursi yang tengah memunggunginya.Dalam hati Delicia, jika ia tahu kalau Lucio yang akan mewawancarainya mungkin dia tidak akan berangkat ke perusahaan itu.“Apa apaan sikapnya itu, kekanak-kanakan sekali,” bisik Delicia dalam hati.Kemudian kursi itu berputar dan munculah sosok Lucio. Ia menatap Delicia dengan senyum miring yang mengesalkan.“Bawa ke sini barangnya,” kata Lucio menyuruh Khaleed.Khaleed pun mengambil sebuah plastik yang dimaksud oleh Lucio. Sementara Delicia bingung dengan keadaan saat ini.Jadi dia ke sana bukan untuk diwawancara? Atau dia akan diinterogasi oleh Lucio?“Silakan ambil ini.” Khaleed menyerahkan plastik itu pada Delicia. “Anda bisa membukanya sekarang.”Mendengar hal itu sebenarnya sudah membuat perasaan Delicia tak en
“Calon istri katamu?” tanya Lucio tak percaya. Sejak kapan dia setuju untuk menikah dengan Bellinda.Ketika dia diserang rasa penasaran, neneknya muncul dengan senyum seperti malaikat.“Sepertinya Bellinda sangat cocok untukmu. Meski tadi siang kamu sudah melakukan hal buruk padanya. Tapi dia masih menghubungiku untuk dapat bertemu denganmu secara langsung.”Lucio tak tahu apa maksud neneknya. Apa yang neneknya rencanakan pun dia tidak mengerti.“Maksud nenek?”“Tadi siang, aku datang ke interview itu karena nenekmu menyuruhku datang ke sana. Tapi kamu tidak tertarik padaku. Maka dari itu. Aku datang ke sini, mungkin perasaanmu sudah berubah,” jawab Bellinda.“Bagaimana? Bellinda cantik kan?”Lucio menatap Bellinda. Wanita itu sama sekali bukan tipe idelnya.“Kenapa wajahmu seperti itu?” Neneknya bertanya pada Lucio setelah melihat cucunya memasang wajah tak suka. “Aku—aku belum ingin menikah.”“Belum ingin menikah? Memangnya mau sampai kapan kamu mau menikah? Kamu saja tidak ada kein
“Sial aku terlambat!” Delicia mengutuk dirinya sendiri ketika melihat jarum jam sudah menujukkan di angka dua.Padahal mereka akan berjanji bertemu di restoran itu pada jam dua siang ini. Namun dia malah membuat kesalahan besar karena sudah membuat lelaki itu menunggu di restoran.Tak mau membuang waktunya. Delicia langsung mengganti pakaiannya. Dia mencuci muka dan menggosok gigi tanpa mandi.Rambut yang berantakan dan lepek dia sisir dan diikat cepol ke atas. Setidaknya itu dapat menutupi jika sudah satu minggu ini dia tidak keramas.Karena tak mungkin naik bus. Akhirnya Delicia sengaja memesan taksi agar dia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di jalan.Sementara itu di tempat lain dan di waktu yang sama.Lucio sudah menghabiskan tiga gelas air putih yang ada di meja. Hingga ia merasa malu pada karyawan restoran yang bertanya padanya apakah sudah siap memesan makanan atau belum.Ia melirik ke arah Khaleed yang juga gusar menunggu kedatangan Delicia.“Bagaimana kalau kita makan s
Delicia melihat ke dalam lemarinya. Ia mendengus ketika menyadari jika dia tidak memiliki gaun yang bagus untuk dirinya kenakan nanti untuk bertemu dengan nenek Lucio.Jika saja dia memiliki uang untuk ganti rugi. Mungkin dia tak akan sudi untuk menemani lelaki itu apalagi pura pura menjadi kekasihnya meski dalam satu hari.Namun sayangnya dia juga tak punya uang sebanyak itu untuk ganti rugi.Delicia terduduk di atas kasur. Mengamati gaun yang sama sekali tidak update dan terbilang ketinggalan zaman.Karena sejak dia tidak memiliki kekasih. Dirinya tidak pernah membeli pakaian bagus dan mahal. Uangnya kebanyakan ia tabung dan untuk membeli makanan yang enak.Bel bintu berbunyi. Ia tahu jika bukan Andres pasti si ibu ibu yang menagih uang sewa apartemennya.Namun Delicia merasa lega saat ini ketika mendapati Andres berada di depan pintu dan memperlihatkan sebuah paper bag dan ada tulisan sup ayam ibu yang memang makanan kesukaan mereka berdua.Delicia buru buru membukanya dan melihat A
“Apa aku mengganggumu?” tanya Dolores ketika dia sudah berdiri di ambang pintu ruang kerja Lucio.Lucio melepaskan kacamatanya. Ia melirik jam di laptopnya yang sudah menunjukkan pukul satu malam.“Tidak. Ada apa?” tanya Lucio. Ia bersedekap dan menatap neneknya menyelidik. “Jangan katakan kalau ini masalah makan malam akhir pekan. Aku sudah mengajak kekasihku untuk datang, oke.”“Bukan itu kok.” Dolores tersenyum. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan.“Lalu?” Melihat neneknya yang sepertinya ingin berbicara serius dengan Lucio. Lelaki itu pun berdiri dan duduk di kursi yang berbeda dari Dolores.“Masalah Rebecca,” katanya pelan.“Rebecca? Ada apa dengannya?”Dolores tampak gusar. Namun dia menyembunyikannya dengan baik di depan cucunya.“Dia akan tinggal di sini mulai hari ini. Tidak apa apa, kan?”Lucio mendengus. “Nenek bertanya kepadaku, sementara dia sudah tinggal di sini. Lalu apa gunanya menanyakan hal itu kepadaku?”Dolores mengalihkan matanya. Masalah Lucio dan Rebecca