Lucio membuka matanya lamat lamat. Ia melihat bayangan Khaleed sedang berbicara dengan seorang dokter yang mengenakan jubah putih. Khaleed sedang tertawa—hal itu membuatnya kesal.
Padahal dirinya saat ini tengah masuk ke rumah sakit.Oh, ya. Jadi dia masuk ke rumah sakit karena apa? Tiba tiba Lucio teringat dengan kejadian menjijikkan yang baru saja terjadi.Lucio terduduk—ia terkesiap kemudian membuka selimutnya dengan buru-buru.Kemudian dia menghela napasnya dengan lega saat melihat bajunya sudah berganti dengan pakaian pasien.Khaleed yang tak sengaja melihat Lucio sudah bangun kemudian menghampirinya.“Pakaianku di mana?” tanya Lucio.“Sudah saya buang,” jawab Khaleed.“Tidak. Ambil pakaian dan sepatuku tadi.”Kening Khaleed mengerut heran. Lelaki yang banyak uang itu untuk apa menginginkan barang menjijikan itu tadi?“…Ya?”“Ambil barang itu cepat!” suruh Lucio.Khaleed yang sudah hafal bagaimana watak Khaleed pun akhirnya menuruti perintah aneh dari Lucio. Dia memutar tubuhnya. Namun jari Lucio menjepit lengan jasnya.“Ada apa lagi?” tanya Khaleed yang seakan sudah lelah dengan sikap Lucio yang terkadang seperti anak kecil.“Bawa dan jangan bersihkan. Pokoknya—masukan saja ke dalam plastik. Jangan tunjukkan padaku pakaian dan sepatu tadi.”“Lho—lalu untuk apa? Saya pikir Anda meminta saya untuk mengambilnya karena ingin mencucinya?”Lucio mendelik. “Memangnya aku tidak mampu membeli lagi? Wanita tadi—” geram Lucio. “Aku akan menyuruhnya untuk mencuci pakaian itu untukku.”Khaleed hanya memandang Lucio dengan penuh pengertian. Kira-kira sudah berapa kali ya Lucio seperti ini? Mungkin Khaleed membutuhkan jari beberapa orang lagi untuk menghitungnya.“Baik.” Agar tidak banyak berdebat dengan Lucio akhirnya Khaleed mengiyakannya. “Ada lagi?”“Cari wanita tadi. Katanya dia menganggur, kan?” tanya Lucio.“Saya tidak tahu. Mungkin iya.”“Panggil saja ke perusahaan. Tapi katakan kalau dia diundang untuk melakukan wawancara.”Khaleed menelengkan kepalanya seperti anak anjing yang polos. “Anda ingin mengerjainya? Bukankah itu sangat keterlaluan? Mungkin dia sedang frustrasi.”“Kamu pikir aku juga tidak sedang frustrasi? Nenekku mengancamku dan terakhir dia menyuruhku menemui ibu ibu untuk dijadikan istri. Kamu pikir lebih frustrasi siapa?”Khaleed menaikkan kedua bahunya. Ia lalu keluar dari ruangan Lucio untuk melakukan perintahnya.Lucio memandang langit malam melalui jendela kaca di ruangannya. Ia menyenderkan tubuhnya dan menghela napasnya dalam dalam.Namun tanpa sadar dia mencium bau tidak sedap dari bagian dadanya. Matanya membeliak—ketika ingat bau apa itu.“KHALEED!” teriak Lucio yang seakan jijik dengan bau muntahan yang masih menempel di tubuhnya.**Jam satu malam.Delicia sudah cukup sadar ketika membuka matanya. Dia sedang berada di kamarnya dan tidur dengan pakaian yang—bau muntahan.“Bau busuk apa ini?” Hidungnya berjengit, tapi dia tidak begitu peduli. Ia membuka pintu kemudian terkejut mendapati Andres ada di sofa.“Andres,” panggil Delicia pelan. Ia mendekati lelaki itu kemudian menatapnya dari atas. “Kamu sedang—” ingatannya tiba tiba terlempar jauh saat dirinya berada di bar malam tadi.Ia kemudian ingat waktu memaksa supir taksi untuk membawanya ke perusahaan Cortez.Dan …Ia juga ingat ketika berorasi seperti orang gila di depan Lucio dan bahkan muntah di pakaian mahal lelaki itu.“Aku yakin masalah apartemen tidak akan ada apa apanya dibandingkan ini.” Delicia memegangi kepalanya yang seakan mau copot dari tempatnya.“Bagaimana ini? Kenapa aku bisa ke sana?”Di saat Delicia bergumam panik. Andres pun terbangun dan terkejut mendapati Delicia sedang bersimpuh di depannya.“Apa yang sedang kamu lakukan?!” tanya Andres terkejut. Dia memang sudah terbiasa dengan sifat aneh Delcia. Tapi dia masih saja kaget jika melihat tingkah aneh temannya itu.“Andres, apa yang harus aku lakukan?” tanya Delicia dengan penuh rasa bersalah.“Apanya?”“Aku—aku sudah melakukan hal gila pada—itu.”Andres mendengus kemudian tertawa. “Sudahlah, lagi pula itu hal memalukan untuknya. Sepertinya dia tidak mungkin membuat semua orang tahu mengenai masalah itu.”“Benarkah?”Andres mengangguk. Setidaknya dia tak mau membuat Delicia panik apalagi cemas.“Lalu bagaimana ya, dengan uang sewa ini?”“Sudah lah, aku akan meminjamimu uang. Masalah adikku—mungkin aku akan mengambil pinjaman di Bank.”“Jangan!” sambar Delicia. “Kamu hanya membuatku semakin merasa tak enak.”“Lalu mau bagaimana lagi?”Delicia menggeleng.“Aku akan pulang besok sebelum diusir.”Senyum tipis Andres memudar kemudian sirna. Ia tak suka mendengar Delicia pulang. Karena itu artinya dia tak akan bisa menemuinya lagi sesering ini.“Kamu serius?”Delicia mengangguk. “Aku ingat bagaimana laki-laki tadi mengatakan padaku, seharusnya aku tahu diri dan tidak memaksakan diri. Tadi aku memang tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, kupikir apa yang dia katakan itu benar.”Melihat Delicia yang menunduk seperti itu membuat Andres sedih. Ia ingin membelai kepala Delicia tapi ia urungkan. Tangannya yang mengapung di udara ia tarik kembali.“Baiklah kalau begitu, setidaknya pulang akhir pekan. Agar aku bisa mengantarkanmu dan melakukan pesta perpisahan.”“Akhir pekan?”Andres mengangguk. “Memangnya kamu mau pergi tanpa pamit padaku dulu?” Lelaki itu berdiri. “Kalau begitu aku akan pulang, besok aku harus masuk kerja.”Delicia mengangguk.“Kamu tak mau makan dulu?”“Kulkasmu hanya berisi air mineral,” sahut Andres sambil menahan senyumnya.“Terima kasih untuk malam ini.”**Dua hari pun berlalu. Delicia yang dipenuhi rasa was was bisa bernapas lega karena lelaki yang sudah dia berikan “hadiah” beberapa hari yang lalu tidak menghubunginya untuk menyuruhnya bertanggungjawab.Hanya saja, hal itu tak lantas membuatnya tenang. Karena dia pikir itu adalah hal yang aneh.Ketika dia disibukkan dengan pikirannya yang kalut. Ponselnya pun berbunyi dan membuatnya terkejut.Nomor asing masuk. Ia pikir itu adalah Lucio.Namun Delicia pikir ia tak bisa lepas dari tanggungjawab. Jadi dia memutuskan untuk mengangkat telepon itu.“Halo?” sapa Delicia dengan gugup.“Selamat pagi saya dari perusahaan Cortez—” Suara lembut dan sopan itu bukan milik Lucio. Batin Delicia yang kemudian tak mendengar apa yang dikatakan staff wanita tersebut.“Apakah Anda bisa?”“,,,Ya?” tanya Delicia canggung.“PT Cortez mengundang Anda untuk interview pada hari ini jam satu siang. Silakan datang kami menunggu kedatangan Anda hari ini.”“Oh—baiklah.”Usai menutup telepon, Delicia mengingat-ingat apakah dia dulu pernah mengirim lamaran ke sana?Namun karena dia sudah mengirim ratusan lamaran ke berbagai perusahaan. Ia pikir pasti sudah memasukkan ke sana sampai lupa karena lamanya panggilan interview itu tiba.“Ya, pasti begitu. Sebaiknya aku ke sana, toh ini panggilan interview bukan panggilan untuk ganti rugi.”Delicia tak sabar mengirimkan kabar baik pada Andres bahwa dia telah mendapatkan panggilan interview di perusahaan Cortez.Meski masih dalam tahap interview tapi setidaknya dia masih memiliki harapan untuk diterima kendati kecil kemungkinan.Usai mengirimkan pesan pada Andres. Delicia pun berangkat menuju perusahaan Cortez menggunakan bus.Setelah tiga puluh lima menit berlalu. Dia pun sampai di halte dekat perusahaan tersebut.Butuh waktu sampai sepuluh menit baginya untuk sampai ke sana dengan berjalan kaki.Meski panas—dan mengenakan sepatu hak tinggi, Delicia tampak semangat seakan menemukan harapan dalam hidupnya. Ya, setidaknya begitu.Di sisi lain sebuah mobil sedan berwarna hitam keluaran paling terbaru melintasi Delicia yang berjalan dengan semangat.Lucio yang melihat bayangan tak asing itu meminta Khaleed untuk memperlambat laju mobilnya.“Tunggu dulu, dia si gadis muntah itu, kan?” tanya Lucio. Matanya memandang ke arah Delicia yang tidak tahu jika saat ini dirinya tengah
Delicia masuk ke ruangan interview tersebut dengan perasaan yang tak menentu. Meski Khaleed menyambutnya dengan senyuman manis, tapi hal itu tak lantas membuat hati Delicia jadi tenang.Ia pun duduk di kursi yang berada di tengah. Menatap kursi yang tengah memunggunginya.Dalam hati Delicia, jika ia tahu kalau Lucio yang akan mewawancarainya mungkin dia tidak akan berangkat ke perusahaan itu.“Apa apaan sikapnya itu, kekanak-kanakan sekali,” bisik Delicia dalam hati.Kemudian kursi itu berputar dan munculah sosok Lucio. Ia menatap Delicia dengan senyum miring yang mengesalkan.“Bawa ke sini barangnya,” kata Lucio menyuruh Khaleed.Khaleed pun mengambil sebuah plastik yang dimaksud oleh Lucio. Sementara Delicia bingung dengan keadaan saat ini.Jadi dia ke sana bukan untuk diwawancara? Atau dia akan diinterogasi oleh Lucio?“Silakan ambil ini.” Khaleed menyerahkan plastik itu pada Delicia. “Anda bisa membukanya sekarang.”Mendengar hal itu sebenarnya sudah membuat perasaan Delicia tak en
“Calon istri katamu?” tanya Lucio tak percaya. Sejak kapan dia setuju untuk menikah dengan Bellinda.Ketika dia diserang rasa penasaran, neneknya muncul dengan senyum seperti malaikat.“Sepertinya Bellinda sangat cocok untukmu. Meski tadi siang kamu sudah melakukan hal buruk padanya. Tapi dia masih menghubungiku untuk dapat bertemu denganmu secara langsung.”Lucio tak tahu apa maksud neneknya. Apa yang neneknya rencanakan pun dia tidak mengerti.“Maksud nenek?”“Tadi siang, aku datang ke interview itu karena nenekmu menyuruhku datang ke sana. Tapi kamu tidak tertarik padaku. Maka dari itu. Aku datang ke sini, mungkin perasaanmu sudah berubah,” jawab Bellinda.“Bagaimana? Bellinda cantik kan?”Lucio menatap Bellinda. Wanita itu sama sekali bukan tipe idelnya.“Kenapa wajahmu seperti itu?” Neneknya bertanya pada Lucio setelah melihat cucunya memasang wajah tak suka. “Aku—aku belum ingin menikah.”“Belum ingin menikah? Memangnya mau sampai kapan kamu mau menikah? Kamu saja tidak ada kein
“Sial aku terlambat!” Delicia mengutuk dirinya sendiri ketika melihat jarum jam sudah menujukkan di angka dua.Padahal mereka akan berjanji bertemu di restoran itu pada jam dua siang ini. Namun dia malah membuat kesalahan besar karena sudah membuat lelaki itu menunggu di restoran.Tak mau membuang waktunya. Delicia langsung mengganti pakaiannya. Dia mencuci muka dan menggosok gigi tanpa mandi.Rambut yang berantakan dan lepek dia sisir dan diikat cepol ke atas. Setidaknya itu dapat menutupi jika sudah satu minggu ini dia tidak keramas.Karena tak mungkin naik bus. Akhirnya Delicia sengaja memesan taksi agar dia tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di jalan.Sementara itu di tempat lain dan di waktu yang sama.Lucio sudah menghabiskan tiga gelas air putih yang ada di meja. Hingga ia merasa malu pada karyawan restoran yang bertanya padanya apakah sudah siap memesan makanan atau belum.Ia melirik ke arah Khaleed yang juga gusar menunggu kedatangan Delicia.“Bagaimana kalau kita makan s
Delicia melihat ke dalam lemarinya. Ia mendengus ketika menyadari jika dia tidak memiliki gaun yang bagus untuk dirinya kenakan nanti untuk bertemu dengan nenek Lucio.Jika saja dia memiliki uang untuk ganti rugi. Mungkin dia tak akan sudi untuk menemani lelaki itu apalagi pura pura menjadi kekasihnya meski dalam satu hari.Namun sayangnya dia juga tak punya uang sebanyak itu untuk ganti rugi.Delicia terduduk di atas kasur. Mengamati gaun yang sama sekali tidak update dan terbilang ketinggalan zaman.Karena sejak dia tidak memiliki kekasih. Dirinya tidak pernah membeli pakaian bagus dan mahal. Uangnya kebanyakan ia tabung dan untuk membeli makanan yang enak.Bel bintu berbunyi. Ia tahu jika bukan Andres pasti si ibu ibu yang menagih uang sewa apartemennya.Namun Delicia merasa lega saat ini ketika mendapati Andres berada di depan pintu dan memperlihatkan sebuah paper bag dan ada tulisan sup ayam ibu yang memang makanan kesukaan mereka berdua.Delicia buru buru membukanya dan melihat A
“Apa aku mengganggumu?” tanya Dolores ketika dia sudah berdiri di ambang pintu ruang kerja Lucio.Lucio melepaskan kacamatanya. Ia melirik jam di laptopnya yang sudah menunjukkan pukul satu malam.“Tidak. Ada apa?” tanya Lucio. Ia bersedekap dan menatap neneknya menyelidik. “Jangan katakan kalau ini masalah makan malam akhir pekan. Aku sudah mengajak kekasihku untuk datang, oke.”“Bukan itu kok.” Dolores tersenyum. Ia duduk di sofa yang ada di tengah ruangan.“Lalu?” Melihat neneknya yang sepertinya ingin berbicara serius dengan Lucio. Lelaki itu pun berdiri dan duduk di kursi yang berbeda dari Dolores.“Masalah Rebecca,” katanya pelan.“Rebecca? Ada apa dengannya?”Dolores tampak gusar. Namun dia menyembunyikannya dengan baik di depan cucunya.“Dia akan tinggal di sini mulai hari ini. Tidak apa apa, kan?”Lucio mendengus. “Nenek bertanya kepadaku, sementara dia sudah tinggal di sini. Lalu apa gunanya menanyakan hal itu kepadaku?”Dolores mengalihkan matanya. Masalah Lucio dan Rebecca
Dua hari telah berlalu sejak kejadian hari itu. Kini Delicia telah berada di sebuah motel untuk tempat tinggalnya sementara. Setidaknya dia harus berada di sana sebelum acara makan malam itu tiba.Karena tak mungkin baginya untuk kembali pulang ke kampung halamannya dan kembali lagi ke kota hanya untuk datang ke rumah neneknya Lucio.Ponsel Delicia menyala. Kemudian mati lagi. Hal itu sudah berlalu sampai beberapa kali.Ketika ia mengintipnya. Nama Andres muncul memanggilnya. Namun Delicia tak mau berbicara dengan Andres.Entahlah, apakah dia marah pada lelaki itu hanya karna terlalu malu untuk menghadapi Andres.Meski selama ini Delicia merasa jika dia sudah terlalu banyak merepotkan Andres. Namun dia tidak menyangka jika akan mendengar hal menyakitkan itu dari mulut adiknya.Tak lama kemudian pesan muncul. Delicia membacanya.Andres: Kamu ada di mana sekarang? Apartemenmu sepi. Kata agen property kamu sudah pindah.Andres: Setidaknya katakan padaku kalau kamu baik baik saja.Delicia
“Siapa namamu?” tanya Lucio dengan dingin. “Aku bisa memecatmu besok, jika aku mau.”Maria mendelik sementara tangan temannya mencubit pinggang Maria agar segera menghentikan omong kosongnya.“Sudahlah sebaiknya kita pergi. Atau kita bisa mendapatkan masalah.”“Dengar ya, aku tak takut siapa kamu. Karena—” Maria tak melanjutkan kalimatnya. Dia sudah lebih dulu diseret pergi oleh temannya.“Sudahlah, kamu tidak tahu siapa lelaki itu?” tanya Renata.“Siapa memang dia? Aku tidak kenal.”Renata mengeluarkan ponselnya, kemudian dia mencari nama Lucio Valeega di pencarian. Dan nama itu muncul paling atas dengan jabatan yang membuat Maria menelan ludah keringnya berkali-kali.“Dia adalah cucu dari pemilik perusahaan Cortez.”“Tapi—bagaimana bisa Delicia, si gadis bodoh itu bisa—”“Maka dari itu. Kamu bisa saja dipecat kalau tadi aku tidak menarikmu ke sini.”“Itu bukan yang jadi masalah, Renata?! Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana mungkin Delicia si gadis bodoh itu bisa mengenal Lucio?”