Share

3. Membuat Masalah

Lucio diam saja sejak tadi. Bahkan ketika Khaleed memancingnya untuk mengajak bicara padanya.

“Anda marah?” tanya Khaleed, meski diam diam dia tersenyum melihat tingkah Lucio saat ini.

“Menurutmu?” Langkah Lucio terhenti hanya untuk melihat wajah asistennya yang seakan sedang mengejeknya. “Kalau saja tadi siang kamu bilang padaku jika nenekku merencanakan kencan buta itu, mungkin lebih baik aku pura-pura mati saja.”

“Anda yakin? Kalau Anda pura-pura mati pasti nenek Anda akan mengganti posisi Anda dengan Benicio Valeega. Anda mau hal itu terjadi?”

“Kamu mengancamku?” Lucio mendengus kasar. Jika saja asistennya itu bukan sahabatnya sejak masih SMA mungkin dia sudah memecatnya dari dulu karena selalu melakukan hal-hal di luar kendalinya.

“Saya hanya melakukan perintah nyonya Dolores.”

“Nenekku sepertinya sudah kehabisan kenalan wanita. Bagaimana bisa dia mengenalkanku pada—” Ah, kalau Lucio mengingat hal tadi itu, dia ingin sekali marah-marah pada neneknya karena sudah mengenalkan pada wanita yang berusia hampir lima puluh tahun.

Wanita itu memang masih single. Namun yang membuat Lucio tak habis pikir adalah mengapa neneknya harus menyiksanya seperti ini.

Apalagi wanita tadi—benar-benar sudah menganggapnya seperti perjaka yang tidak laku.

Tadi siang ketika Lucio membuka restoran dengan pintu geser. Ia pikir Khaleed mengantarnya pergi ke tempat pertemuan dengan kliennya. Namun ternyata ketika dia melihat wajah wanita tua itu. Perasaan Lucio mendadak tidak enak.

Apalagi ketika wanita itu berdiri dan memaksa Lucio untuk mencium punggung tangannya yang keriput.

“Kamu—Lucio kan? Dolores memintaku untuk ke sini.”

Lucio berharap jika dia adalah ibu dari wanita yang mungkin dikenalkan oleh neneknya. Tapi ternyata salah. Dia tidak memiliki anak, yang dia punya hanyalah anjing berjenis puddle yang duduk di samping kursinya.

Lucio mengangguk. Menatap lurus wanita itu.

“Perkenalkan, aku adalah Valencia. Calon istrimu?”

Mendengar hal itu sontak membuat jantung Lucio seakan jatuh dari tempatnya.

Apa katanya? Calon istri? Bukan calon mertua?

“Sepertinya ada yang membuat keributan di sana.” Khaleed berkata dan membuyarkan lamunan Lucio. Ia menunjuk pos keamanan dengan matanya. Lucio mengikuti ke mana arah mata Khaleed berada.

Seorang gadis dengan tinggi kira-kira hanya 150 CM dan rambut potongan bob sedang memaksa sekuriti untuk masuk.

“Kamu mengenalnya? Dia karyawan di sini?” tanya Lucio.

“Sepertinya—bukan.” Khaleed menggeleng ragu. “Kalau karyawan di sini pasti petugas keamanan tidak akan mencegahnya seperti itu.”

Lucio melangkah maju dengan percaya diri. Ia ingin mengabaikan wanita yang tengah meneriakan keadilan di lobi kantornya.

“AKU TIDAK AKAN PULANG JIKA BELUM MENDAPATKAN KEADILAN!” teriaknya. Suaranya memang terdengar mabuk.

“MEMANGNYA APA SALAHNYA TELAT MEMBAYAR SEWA APARTEMEN!”

“AKU HANYA TELAT EMPAT BULAN. BUKAN EMPAT ABAD ATAU RIBUAN TAHUN!”

“KENAPA KALIAN TIDAK ADIL DENGAN WANITA MISKIN YANG BARU SAJA KEHILANGAN PEKERJAAN!”

Lucio mengeryit menatap gadis yang kini hanya beberapa meter ada di sampingnya.

Sementara itu Delicia yang melihat wajah Lucio yang familiEr pun langsung menghampirinya dan menatapnya dalam dalam.

Lucio memundurkan tubuhnya. Takut jika dia akan ditampar atau dipukul oleh gadis itu.

“Anda CEO perusahaan ini kan? Perkenalkan saya adalah penyewa apartemen Anda selama empat tahun terakhir,” kata Delicia.

“Urus dia,” kata Lucio pada Khaleed.

“Sebaiknya jika ada keluhan, Anda katakan saja pada agen property karena atasan saya tidak menerima keluhan seperti itu,” ucap Khaleed dengan penuh pengertian.

“AKU TIDAK BISA MEMBAYAR SEWA APARTEMEN! BISAKAH ANDA MEMBERIKAN SAYA KERINGANAN!”

Mata Lucio dan Khaleed melebar, kemudian keduanya berpandangan seakan mengatakan mahkluk dari mana wanita ini?

Karena tidak tahan dengan kesialannya hari ini. Lucio pun akhirnya menghampiri Delicia yang ditahan lengannya oleh Khaleed.

“Kalau kamu tidak mampu membayar apartemen, bukankah sebaiknya kamu pergi saja dari sana? Kenapa harus memaksakan diri untuk tinggal di apartemen?” tanya Lucio dengan dingin.

“Dia sedang mabuk, sepertinya Anda tidak perlu berbicara—” Khaleed yang tahu jika taring Lucio sudah keluar pun menahannya.

“Apa kamu malu tinggal di rumah petak atau rumah susun?” tanya Lucio lagi tanpa perasaan. “Aku sangat jijik pada perempuan seperti ini, hidup dengan gaya mewah padahal tak mampu.”

Khaleed mencegah Lucio. Dengan senyum kaku dia meminta Delicia untuk pergi.

Namun Delicia yang diberikan kata-kata pedas oleh Lucio langsung menarik dasi lelaki itu. Hingga Lucio harus menunduk dan memandang wajah kecil Delicia.

“Tahu apa kamu bisa berkata seperti itu Tuan Kaya? Aku mengemis padamu bukan karena aku ingin bergaya wah. Kalau saja aku bisa tinggal di rumah petak atau rumah susun. Maka aku tidak perlu mengemis sampai di sini.”

Lucio menarik dasi dari tangan Delicia dengan kasar. Dia berdeham dan memalingkan matanya.

“Itu juga sama saja. Tak ada alasan apapun yang bisa kuterima,” kata Lucio.

Delicia yang merasa pusing dan mual pun menutup mulutnya. Ia seakan ingin memuntahkan seluruh isi dalam perutnya sekarang.

Khaaled yang menyadari jika Delicia ingin muntah hendak menarik gadis itu. Namun saat itu sepertinya kesialan Lucio harus berlanjut lagi.

“HUEEEK!”

Kemeja dan sepatu mahal Lucio terkena muntahan Delicia yang berwarna putih pucat.

Lucio yang melihat muntahan itu secara langsung merasa mual hingga akhirnya dia pingsan di depan Delicia.

“Delicia!” panggil Andres. Ia sudah melihat semuanya. Dan dia tahu jika apa yang ia lihat saat ini pasti akan menimbulkan masalah suatu hari nanti.

Delicia menoleh dengan wajahnya yang pucat.

“Maafkan teman saya, saya akan bertanggungjawab jika ada masalah dengan atasan Anda. Sebagai gantinya saya akan memberikan kartu nama saya jika Anda ingin saya bertanggungjawab.”

Khaleed mendongak menatap Andres. Ia merebut kartu nama itu dan menaruhnya dalam saku jasnya.

“Telepon ambulans!” teriak Khaleed pada petugas keamanan.

“Kalau sampai terjadi hal hal yang tak diinginkan saya akan menuntut kalian berdua,” ancam Khaleed.

Andres memegang lengan Delicia. Wanita itu kini lemas.

“Ayo pulang.” Dia memapah Delicia. Matanya sesekali melirik ke mana Lucio berada

“Apa-apaan mereka. Memangnya kalau terkena muntahan bisa menyebabkan kematian?” gumam Andres.

“HUEEEK!”

Delicia muntah lagi, dan kali ini mengenai lantai lobi perusahaan Lucio.

“Astaga Delicia, kita bisa dipenjara seumur hidup kalau kamu muntah sekali lagi,” kata Andres dengan berlebihan.

“Sepertinya besok kamu akan mendapatkan masalah yang lebih besar,” kata Andres saat memasukkan temanya ke dalam mobilnya. Ia memandangi perusahaan besar itu dari tempatnya berdiri.

Minggu depan dia akan mengadakan rapat dengan atasannya di perusahaan Cortez. Bisa jadi—Khaleed mengenalnya dan membuat semuanya menjadi rumit.

“Ah, bagaimana ini.” Andres menyugar rambutnya dengan gusar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status