Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.
Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”
Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.
“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”
Kalimat Grace membuat jantung Sharon berdetak dengan kencang. Masih mempertahankan posisinya Sharon memilih mengabaikan Grace, membiarkan Grace berpikir semaunya.
Tapi, apakah benar yang dikatakan Grace?
“Kurasa benar, kau menyukai pria itu,” pancing Grace, sengaja agar Sharon berbicara.
Benar saja, Sharon bangkit dan memprotes pernyataan Grace, “jangan konyol, aku tidak pernah berpikir seperti itu,” bantah Sharon.
Grace tersenyum lebar, menikmati perdebatan yang akan segera terjadi ini, “lalu mengapa kau marah? Itu sama saja dengan menunjukkan dirimu kecewa.”
Sharon menatap Grace yang mendekat, ia merasa perkataan Grace ada benarnya, mengapa ia bersikap kekanak-kanakan di hadapan pria yang ia benci itu?
Grace berhenti tepat di depan Sharon yang menunduk, menatap sepatunya seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana. “Kau ingin balas dendam?”
Sharon mendongakkan kepalanya, senyum licik Grace membuatnya mengernyitkan dahi, “balas dendam apa—“
“Sstt ...” Grace meletakkan telunjuknya di depan bibirnya.
“Jangan berpura-pura bodoh, aku sudah bisa membaca situasimu, Sharon.”
Membiarkan Grace dengan pikiran jahatnya, Sharon setia menunggu apa kalimat yang akan disampaikan Grace selanjutnya, ia tidak membantah sedikit pun karena Grace selalu tahu apa yang terjadi, itu berlaku sejak dulu, layaknya seorang cenayang.
“Cara membalas dendam itu gampang, ikuti saja cara mainnya.”
**
Selama empat jam hanya termenung dan tidak bersemangat saat bekerja, Grace memutuskan untuk memberikan satu hari libur untuk Sharon. Awalnya Sharon menolak, tapi mendengar rencana yang telah di susun Grace ia mengalah, mengganti pakaiannya dan berjalan menuju halte bis.
“Kau baca apa saja yang tertulis di dalam dokumen itu, lalu pahami, hubungi aku secepatnya.”
Sejujurnya, mendengar fakta bahwa dirinya kecewa akibat perlakuan Benedict membuatnya sangat berpikir keras, ia menganggap dirinya seperti seorang wanita yang gampang menaruh hati kepada orang asing secepat itu. Lalu, apa pikiran Benedict tentang dirinya, pasti pria itu juga menganggap dirinya wanita yang aneh.
Bis menepi perlahan tepat di depan Sharon, ia melangkah masuk lalu mencari tempat duduk di samping jendela. Ia mengeluarkan earphone bermaksud ingin menjernihkan pikiran dengan lagu klasik.
Suasana hati Sharon sangat tidak baik, ia mengakui jika dirinya mempunyai temperamen yang buruk serta labil. Ia menyandarkan kepala di samping jendela, menatap jalanan sore yang ditimpa cahaya jingga. Setelah berdebat di dapur panti asuhan, lalu bertemu kembali di restoran, dan perlakuan baik Benedict yang membuatnya sedikit goyah.
Teringat kembali perkataan Grace, “itu hanya makanan biasa! Jangan terbawa perasaan, Sharon bodoh.”
Entah sudah berapa kali ia menghela-membuang napas sejak duduk kesepian di dalam bis, ia melihat kembali menatap map coklat dan kartu berwarna hitam itu dengan gusar. Ia benar-benar merutuki dirinya hari ini karena bersikap layaknya wanita yang dicampakkan untuk kesekian kalinya.
Sharon turun dari bis begitu sampai di halte tujuannya. Malam ini, ia akan menghubungi Benedict, bertanya semua yang pria itu akan lakukan. Lebih baik ia pasrah mengikuti kemauan pria itu. Toh, mereka juga tidak saling mengenal, dan memangnya mengapa mempermainkan pernikahan? Tidak ada yang salah, bukan? Ini lagi kehidupan di zaman kerajaan.
**
“Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda, Mr. Benedict,” ucap pria paruh baya sambil mengencangkan genggamannya, menatap kagum ke arah pengacara kondang yang bersedia menjadi bekerja dengannya.
“Jangan terlampau senang, Mr. Cortez, tentu Anda tidak melupakan syarat-syarat yang saya ajukan.”
Mendengar kalimat dingin dari Benedict, Cortez melepaskan tawa besarnya, seolah-olah ada sesuatu yang lucu terselip di dalam kalimat yang dilontarkan Benedict.
Benedict sedikit pun tidak tertarik untuk berhubungan lebih lanjut saat mendengar tawaran makan malam dari kliennya. Bukan dirinya tidak tahu sepak terjang pria beruban di hadapannya ini, bisnis gelap miliknya hampir menguasai seluruh daratan Eropa.
Setelah meninggalkan tempat pertemuannya dengan Mr. Cortez, Benedict memberitahu sopirnya untuk segera mengantarnya ke hotel. Sudah tiga hari ia berada di negara eksotis ini, cuaca terang yang sangat ia sukai menembus kaca jendela mobilnya.
Beberapa saat lalu bibinya kembali menelepon, menanyakan tentang persiapan pernikahannya, bibinya dengan senang hati menawarkan bantuan. Meskipun Benedict sudah mengatur seluruh persiapan pernikahannya, tetap saja sang bibi ingin menawarkan dirinya untuk membantu. Terpaksa ia mengalah, membiarkan bibinya melakukan apa pun semaunya.
“Aku setuju dengan semua syaratnya, senang berbisnis dengan Anda.”
Pesan yang tidak kunjung ia balas sejak tiga hari yang lalu itu sontak membuat sudut bibirnya naik, membuat senyuman tipis yang tak terlihat. Ternyata Sharon tidak terduga, tidak memprotes dirinya sama sekali perihal surat kontrak yang ia ajukan. Malahan langsung menyetujuinya dan bertanya kapan dirinya pulang karena tidak sabar ingin menjadi istrinya. Tentu saja, ia tahu jika Sharon sarkas, wanita seperti Sharon sangat mudah ditebak. Tapi biarlah, entah apa yang wanita itu sedang rencanakan.
“Tuan, tujuan Anda sudah sampai,” ucap sopir yang mengantarkannya selama di Barcelona. Benedict keluar dari mobil, memberitahu beberapa hal kepada sopir sebelum mengucapkan terima kasih. Begitu mobil berwarna abu-abu itu menghilang dari pandangannya, ia menapakkan kakinya di dalam hotel berbintang lima tersebut.
kebiasaan buruknya adalah selalu pergi sendirian, tidak merekrut asisten maupun sekretaris pribadi. Ia merasa tidak ada gunanya bergantung kepada orang lain, dan juga dirinya tidak mempercayai siapa pun termasuk dirinya.
Baru saja melangkahkan kaki di dalam kamar hotelnya, Benedict tersentak kaget saat melihat cermin besar yang menampilkan wajahnya hingga seluruh tubuh. Cermin besar tepat di belakang pintu masuk, Benedict merasakan jantungnya berdegup sangat kencang, ia mendongakkan kepalanya menghadap langit-langit kamar, mencari ketenangan di sana.
Dan keburukannya yang kedua adalah sangat menghindari cermin. Hanya cermin yang sangat membantunya saja yang ia gunakan. Bahkan untuk mencukur kumis ia lebih memilih ke salon.
Tidak ada satu pun orang yang tahu tentang ini, ia menyimpan rapat tentang segala hal yang menyangkut dirinya.
“Itu bukan keburukanmu, Ben, melainkan ketakutan. Ya, kau takut melihat dirimu yang dipenuhi rasa bersalah itu.”
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict
Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.... Tapi, apa-apaan ini?Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!&
Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya."Aku ingin kau menikah,"Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah."Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia.""Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?""Bodoh!"Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut."Seharusnya kau tidak menjawab apa-a
Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dal
Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.Benedict be
“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.“Kau menerima perjodohan itu!”Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya,