Share

03. You

Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.

“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”

Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.

“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.

Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dalam tasnya, mengenakannya untuk menyembunyikan air mata yang masih menumpuk di pelupuk.

Benedict mengambil tangan Kendall, menggenggam dengan erat, seolah menguatkannya. “Mari kita turun.”

**

“Astaga, Ruth sudah kukatakan pakai cream kosmetik yang baru kukirimkan itu, wajahmu bisa lebih muda dua puluh tahun!”

Ruth segera menyambut pelukan hangat dari Kendall, membalas semua celotehan Kendall dengan senyuman. Ia membiarkan Kendall berbuat sesukanya. Toh, Kendall itu tidak pernah bisa diam.

Benedict yang sedang mengeluarkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil dibantu oleh anak-anak lelaki yang membuatnya mengenyit kesal. Akibatnya, tubuhnya terdorong-dorong oleh anak-anak yang saling berebutan.

“Hei, jangan ditarik! Isinya bisa berhamburan keluar.”

Benedict teramat malas untuk menghentikan kegaduhan di depannya ini, memijit pangkal hidungnya saat teriak-teriakan mulai ikut bergabung di tengah-tengah keramaian ini.

Sang bibi yang tampaknya tidak peduli akan penderitaannya hanya melambaikan tangan dan masuk dengan cekikikan bersama Ruth. Membuat dirinya mau tidak mau terjebak.

“Tidak usah memasang wajah sepertiitu, mereka berniat menolongmu.”

Seorang wanita yang bersandar di salah satu pilar gudang yang bertepatan di samping panti asuhan itu membuat Benedict beralih ke arahnya. Terlihat wanita dengan mantel tebal dan syal hijau yang melilit lehernya, balas menatapnya dengan malas.

Ia berjalan mendekat ke arah Benedict yang masih melongo dikelilingi oleh anak-anak yang satu persatu mulai masuk ke dalam panti.

Hari yang semakin dingin ditambah angin bertiup kencang membuat Sharon mau tidak mau merapatkan mantelnya.

“Max, kau bisa membawa itu sendiri, ‘kan?” tanya Sharon yang melihat Max kesusahan membawa kotak paling besar.

“Ini bagianku, Sharon. Aku kuat, tenang saja.”

Senyum Sharon terbit, anak-anak perempuan yang melewatinya mengucapkan selamat natal yang dibalas usapan lembut di kepala mereka oleh Sharon.

Tatapan Sharon beralih menatap Benedict yang masih mematung menatapnya, saat ini anak-anak sudah masuk ke dalam panti, hanya menyisakan mereka berdua dengan suasana yang aneh.

“Tidak ingin menutup bagasimu, Tuan?”

Benedict secepat mungkin menguasai diri, ia melangkah cepat menutup bagasi mobilnya, ditemani Sharon yang setia menatap setiap gerak-geriknya.

Sharon tidak banyak bicara saat Benedict mulai mengikutinya masuk ke dalam panti asuhan yang atmosfer hangatnya terasa sampai ke pintu masuk. Ruangan yang penuh dengan suara-suara ceria dan dekor ruangan yang terkesan berlebihan itu spontan membuat Benedict terkesiap.

Sudah berapa lama kau tidak merasakan suasana seperti ini, Ben?

Wanita yang berjalan bersamanya tadi sudah bergabung di dapur, menyiapkan makanan yang akan mereka santap malam ini. Benedict terlihat gamang, sebelum akhirnya Kendall memanggilnya dari ruangan yang berbeda.

Lorong ruangan yang dilewati Benedict perlahan-lahan meredam suara riuh anak-anak yang saling memamerkan hadiah mereka. Di sana, Kendall duduk membelakangi jendela yang memperlihatkan pemandangan salju diikuti gelapnya malam, terlihat Ruth juga ikut duduk di samping bibinya.

“Lihat, Ruth. Kau pasti jantungan melihatnya sudah sebesar ini, bukan?”

Ruth membalas ucapan iseng Kendall dengan tawanya yang anggun, Benedict duduk dengan kikuk. Pandangannya mengedar ke ruangan yang sempit ini. Tidak ada yang spesial di ruangan ini, kecuali pemanggang kayu untuk menghangatkan ruangan ini. Itu membuat Benedict memicing, ternyata masih ada yang menggunakannya di jaman sekarang.

“Jadi, bagaimana? Apa setelah makan malam saja mereka kita pertemukan?”

Kendall menggeleng, “sekarang saja, aku belum melihatnya.”

Baru saja Ruth ingin bangkit dari duduknya, masuklah seorang wanita yang mereka maksud dengan membawa dua cangkir coklat hangat. Membuat tiga orang di dalam ruangan itu sontak menatap ke arahnya.

“Wow, aku hanya membawa dua coklat panas, tidak tahu jika ada satu personil lagi.”

Entah apa yang lucu, tapi Kendall tertawa terbahak-bahak.

“Kamu pasti Sharon, ‘kan?” tanya Kendall sembari masih menahan senyumnya.

Sharon meletakkan gelas di atas meja, “benar, aku Sharon.”

Kendall spontan berdiri dan memeluk Sharon, membuat matanya membelalak saat kejadian tak terduga itu terjadi. Tapi, Sharon tidak mempermasalahkan itu, ia membalas pelukan Kendall.

“Aku sudah lama mendengar tentangmu, dan sudah seperti yang kuduga ... kamu cantik sekali.”

Kini, Benedict sudah tahu apa yang terjadi, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, ia sangat suka salju, apalagi duduk termenung ditemani buku dan coklat panas serta duduk di depan perapian seperti ini.

Tapi, tujuannya kemari tentu saja bukan untuk itu, ada hal yang mendesak—menurut bibinya—yang harus diselesaikan di sini.

Mereka berempat duduk saling berhadapan, Kendall dengan Benedict yang menyandarkan kepalanya di jendela, dan Ruth dengan Sharon yang masih setia memegang gelas coklat panas milik Ruth, tangannya terasa dingin sejak tadi.

“Aku tidak akan banyak omong, kalian berdua tentu sudah tahu akan dijodohkan.”

Hening menyelimuti ruangan, tatapan Sharon beralih menatap pria yang tidak berbicara sedari mereka bertemu itu dengan penasaran. Apa yang sedang dipikirkannya?

“Benedict dan Sharon. Mari kita percepat saja sebelum jam makan malam tiba. Apa komentar kalian terhadap perjodohan ini?” tanya Kendall sembari menyeruput coklat hangat di depannya.

“Tidak ada yang ingin kubicarakan lagi, ini semua sudah diputuskan.”

Suara berat Benedict memecahkan keheningan yang datang kembali, Kendall tersenyum mendengar jawaban Benedict, mencolek pipi keponakannya dengan sengaja.

“Wah, aku tidak menyangka ini, kukira kau akan tetap menolak seperti di mobil tadi, tapi begitu melihat calon istrimu dimasa depan langsung setuju.”

Harga diri Benedict dicabik-cabik oleh bibinya sendiri, ia membiarkan gelak tawa Kendall dan Ruth. Merasa sedang ditatap, ia melihat ke arah seberangnya. Sharon, nama perempuan itu, menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.

Manik coklat Sharon beradu dengan manik abu-abu pria yang membalas tatapannya itu. Meskipun sudah tertangkap basah, Sharon tidak membuang tatapannya ke arah lain. Berusaha menyelam ke dalam manik abu itu, ingin membaca pikiran pria itu.

“Kita hampir mencapai kesepakatan, ternyata tidak sulit. Nah, bagaimana menurutmu, Sharon? Sejak tadi kau hanya menatap Ben diam-diam dengan tatapan cinta.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status