Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.
“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”
Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.
“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.
Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dalam tasnya, mengenakannya untuk menyembunyikan air mata yang masih menumpuk di pelupuk.
Benedict mengambil tangan Kendall, menggenggam dengan erat, seolah menguatkannya. “Mari kita turun.”
**
“Astaga, Ruth sudah kukatakan pakai cream kosmetik yang baru kukirimkan itu, wajahmu bisa lebih muda dua puluh tahun!”
Ruth segera menyambut pelukan hangat dari Kendall, membalas semua celotehan Kendall dengan senyuman. Ia membiarkan Kendall berbuat sesukanya. Toh, Kendall itu tidak pernah bisa diam.
Benedict yang sedang mengeluarkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil dibantu oleh anak-anak lelaki yang membuatnya mengenyit kesal. Akibatnya, tubuhnya terdorong-dorong oleh anak-anak yang saling berebutan.
“Hei, jangan ditarik! Isinya bisa berhamburan keluar.”
Benedict teramat malas untuk menghentikan kegaduhan di depannya ini, memijit pangkal hidungnya saat teriak-teriakan mulai ikut bergabung di tengah-tengah keramaian ini.
Sang bibi yang tampaknya tidak peduli akan penderitaannya hanya melambaikan tangan dan masuk dengan cekikikan bersama Ruth. Membuat dirinya mau tidak mau terjebak.
“Tidak usah memasang wajah sepertiitu, mereka berniat menolongmu.”
Seorang wanita yang bersandar di salah satu pilar gudang yang bertepatan di samping panti asuhan itu membuat Benedict beralih ke arahnya. Terlihat wanita dengan mantel tebal dan syal hijau yang melilit lehernya, balas menatapnya dengan malas.
Ia berjalan mendekat ke arah Benedict yang masih melongo dikelilingi oleh anak-anak yang satu persatu mulai masuk ke dalam panti.
Hari yang semakin dingin ditambah angin bertiup kencang membuat Sharon mau tidak mau merapatkan mantelnya.
“Max, kau bisa membawa itu sendiri, ‘kan?” tanya Sharon yang melihat Max kesusahan membawa kotak paling besar.
“Ini bagianku, Sharon. Aku kuat, tenang saja.”
Senyum Sharon terbit, anak-anak perempuan yang melewatinya mengucapkan selamat natal yang dibalas usapan lembut di kepala mereka oleh Sharon.
Tatapan Sharon beralih menatap Benedict yang masih mematung menatapnya, saat ini anak-anak sudah masuk ke dalam panti, hanya menyisakan mereka berdua dengan suasana yang aneh.
“Tidak ingin menutup bagasimu, Tuan?”
Benedict secepat mungkin menguasai diri, ia melangkah cepat menutup bagasi mobilnya, ditemani Sharon yang setia menatap setiap gerak-geriknya.
Sharon tidak banyak bicara saat Benedict mulai mengikutinya masuk ke dalam panti asuhan yang atmosfer hangatnya terasa sampai ke pintu masuk. Ruangan yang penuh dengan suara-suara ceria dan dekor ruangan yang terkesan berlebihan itu spontan membuat Benedict terkesiap.
Sudah berapa lama kau tidak merasakan suasana seperti ini, Ben?
Wanita yang berjalan bersamanya tadi sudah bergabung di dapur, menyiapkan makanan yang akan mereka santap malam ini. Benedict terlihat gamang, sebelum akhirnya Kendall memanggilnya dari ruangan yang berbeda.
Lorong ruangan yang dilewati Benedict perlahan-lahan meredam suara riuh anak-anak yang saling memamerkan hadiah mereka. Di sana, Kendall duduk membelakangi jendela yang memperlihatkan pemandangan salju diikuti gelapnya malam, terlihat Ruth juga ikut duduk di samping bibinya.
“Lihat, Ruth. Kau pasti jantungan melihatnya sudah sebesar ini, bukan?”
Ruth membalas ucapan iseng Kendall dengan tawanya yang anggun, Benedict duduk dengan kikuk. Pandangannya mengedar ke ruangan yang sempit ini. Tidak ada yang spesial di ruangan ini, kecuali pemanggang kayu untuk menghangatkan ruangan ini. Itu membuat Benedict memicing, ternyata masih ada yang menggunakannya di jaman sekarang.
“Jadi, bagaimana? Apa setelah makan malam saja mereka kita pertemukan?”
Kendall menggeleng, “sekarang saja, aku belum melihatnya.”
Baru saja Ruth ingin bangkit dari duduknya, masuklah seorang wanita yang mereka maksud dengan membawa dua cangkir coklat hangat. Membuat tiga orang di dalam ruangan itu sontak menatap ke arahnya.
“Wow, aku hanya membawa dua coklat panas, tidak tahu jika ada satu personil lagi.”
Entah apa yang lucu, tapi Kendall tertawa terbahak-bahak.
“Kamu pasti Sharon, ‘kan?” tanya Kendall sembari masih menahan senyumnya.
Sharon meletakkan gelas di atas meja, “benar, aku Sharon.”
Kendall spontan berdiri dan memeluk Sharon, membuat matanya membelalak saat kejadian tak terduga itu terjadi. Tapi, Sharon tidak mempermasalahkan itu, ia membalas pelukan Kendall.
“Aku sudah lama mendengar tentangmu, dan sudah seperti yang kuduga ... kamu cantik sekali.”
Kini, Benedict sudah tahu apa yang terjadi, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, ia sangat suka salju, apalagi duduk termenung ditemani buku dan coklat panas serta duduk di depan perapian seperti ini.
Tapi, tujuannya kemari tentu saja bukan untuk itu, ada hal yang mendesak—menurut bibinya—yang harus diselesaikan di sini.
Mereka berempat duduk saling berhadapan, Kendall dengan Benedict yang menyandarkan kepalanya di jendela, dan Ruth dengan Sharon yang masih setia memegang gelas coklat panas milik Ruth, tangannya terasa dingin sejak tadi.
“Aku tidak akan banyak omong, kalian berdua tentu sudah tahu akan dijodohkan.”
Hening menyelimuti ruangan, tatapan Sharon beralih menatap pria yang tidak berbicara sedari mereka bertemu itu dengan penasaran. Apa yang sedang dipikirkannya?
“Benedict dan Sharon. Mari kita percepat saja sebelum jam makan malam tiba. Apa komentar kalian terhadap perjodohan ini?” tanya Kendall sembari menyeruput coklat hangat di depannya.
“Tidak ada yang ingin kubicarakan lagi, ini semua sudah diputuskan.”
Suara berat Benedict memecahkan keheningan yang datang kembali, Kendall tersenyum mendengar jawaban Benedict, mencolek pipi keponakannya dengan sengaja.
“Wah, aku tidak menyangka ini, kukira kau akan tetap menolak seperti di mobil tadi, tapi begitu melihat calon istrimu dimasa depan langsung setuju.”
Harga diri Benedict dicabik-cabik oleh bibinya sendiri, ia membiarkan gelak tawa Kendall dan Ruth. Merasa sedang ditatap, ia melihat ke arah seberangnya. Sharon, nama perempuan itu, menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Manik coklat Sharon beradu dengan manik abu-abu pria yang membalas tatapannya itu. Meskipun sudah tertangkap basah, Sharon tidak membuang tatapannya ke arah lain. Berusaha menyelam ke dalam manik abu itu, ingin membaca pikiran pria itu.
“Kita hampir mencapai kesepakatan, ternyata tidak sulit. Nah, bagaimana menurutmu, Sharon? Sejak tadi kau hanya menatap Ben diam-diam dengan tatapan cinta.”
Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.Benedict be
“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.“Kau menerima perjodohan itu!”Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya,
Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.“Ada apa mencariku?”Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”***“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?&rd
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict