Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.
“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”
Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”
“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.
Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.
“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”
Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.
Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.
Benedict berjalan mendekat, meletakkan gelas itu di wastafel, bergabung bersama gelas kotor yang lainnya.
Sharon tidak berkutik sedikit pun, membiarkan Benedict melakukan kegiatannya baru ia akan melanjutkan mencuci piring sialan ini.
Tapi, pria itu tidak kunjung pergi, Sharon yang menatap ke bawah akhirnya mendongakkan wajahnya, kembali beradu mata dengan pria yang mengenakan setelan serba hitam itu.
“Boleh aku membantumu?”
**
Suara air keran dan denting piring yang saling beradu membuat suasana di antara dua insani itu sedikit tertolong, tidak terlalu canggung.
Gerakan tangan Benedict yang lambat membuat Sharon mengerti apa yang dilakukan pria ini di sini. Ia menghela napas sembari tetap melakukan kegiatannya.
“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Sharon, tidak mengalihkan pandangannya dari gelas yang sedang dicucinya.
Benedict menatap perempuan yang tingginya hanya sebatas dadanya itu, ikatan rambut asal-asalan membuat anak rambutnya yang tidak ikut terikat itu menambah kesan wanita itu terbiasa dengan kata sibuk.
“Aku ingin mengajukan permintaan,” balas Benedict, kali ini ia menyerah dengan tumpukkan piring yang tidak kunjung habis itu. Ia bersandar tidak jauh dari Sharon.
“Katakan saja,” balas Sharon tanpa melihat Benedict.
Suara helaan napas Benedict terdengar oleh Sharon, tentu saja ia sudah menduga ini bukanlah sesuatu yang baik. Mengingat pria itu bersikap seperti acuh tak acuh selama acara makan malam tadi.
“Aku ingin kita pura-pura, pura-pura menikah.”
Gerakan tangan Sharon terhenti, kali ini ia membalas tatapan Benedict dengan tidak suka. Ia tidak menduga bahwa pria ini mengatakan sesuatu di luar nalarnya, tidak masuk akal.
“Pura-pura menikah? Maksudmu nikah kontrak?”
Benedict mengangguk membenarkan perkataan Sharon, ia melihat ke ambang pintu masuk dapur, jaga-jaga jika ada orang yang mendengar percakapan mereka saat ini.
“Jujur saja, aku tidak mengerti apa maksudmu,” jelas Sharon, meskipun ia tahu ada seribu pertanyaan yang tidak dapat ia baca di dalam mata pria itu, ini salah satu kejutan dari Benedict yang cukup mengejutkan batin Sharon.
Ia melanjutkan aktivitasnya, suasana hatinya berubah saat mendengar permintaan pria di sampingnya ini. Bagaimana mungkin pria ini mengajaknya mempermainkan sesuatu yang sakral?
“Kalau begitu, katakan saja kepada bibimu sebelum semuanya terlambat. Dan kenapa kau berbohong?” sambungnya, merasa jika Benedict sudah menduga jika dirinya tentu saja akan menolak permintaan konyol itu.
Benedict hanya diam tanpa ingin menjawab apa pun, ia menilai perempuan yang dijodohkan dengannya ini terlalu emosional, tercetak jelas bahwa perempuan ini pernah disakiti, menganut pemikiran kuno dan penampilan sederhana yang membuat Benedict bertanya-tanya, apakah perempuan ini benar lebih muda darinya?
Ternyata dugaan Benedict benar, percakapan ini tentu tidak akan mudah.
“Apa kau menyetujui perjodohan ini?”
Sharon mematikan keran yang membuat bising pendengarannya. Melepaskan sarung tangan dan melemparnya dengan kuat. Pertanyaan yang dilontarkan pria di sampingnya sudah cukup jelas mengolok-oloknya dirinya.
Manik berwarna abu milik Benedict beradu tatap dengan manik coklat terang milik wanita yang mendekatinya.
“Aku akan menjawab tidak setuju jika kau yang mulai menjawab tidak setuju," ujar Sharon. Pertanyaan Benedict itu sukses melukai harga dirinya.
Tatapan berani yang menyerangnya itu membuat Benedict menyadari jika perempuan ini sudah ia buat marah, buktinya perempuan ini mendekat seolah menantangnya.
“Mengapa kau menyetujuinya saat di ruangan tadi?” tanya Sharon kembali, tidak lepas menatap pria yang membuat dirinya merasa seperti dipermainkan.
Benedict tidak berniat melepaskan pandangannya terhadap wanita yang menurutnya memiliki temperamen buruk itu, menilik penampilannya dengan saksama. Mata bundar dan senyum yang manis, terlihat seperti wanita polos, yang ternyata tidak. Benedict merasa perempuan di hadapannya yang sedang meminta penjelasan itu punya emosi yang tidak stabil.
Harusnya ia mengajak bertemu bukan di dapur yang kuno ini, yang masih beralaskan kayu dan berderit saat dipijak. Mungkin mereka bisa bertemu di restoran atau di suatu tempat yang normal untuk membicarakan sesuatu yang cukup tidak masuk akal ini.
“Untuk yang satu itu, mari kita berbohong.”
Dapur yang bernuansa coklat yang minim pencahayaan itu mendadak senyap.
***
"HAHAHA," tawa Sharon menggelegar di kamarnya, ia menatap cermin sembari menirukan ekspresi menyebalkan pria yang membuatnya kesal.
Sharon mendekap tangannya di dada, memasang ekspresi dingin seperti Benedict, "mari kita berpura-pura, bajingan itu!"
Setelah meninggalkan Benedict di dapur tadi, suasana hatinya masih belum kembali menjadi ceria, seperti biasanya. Lalu, ia melanjutkan memaki-maki pria itu di kamarnya pun masih belum memberinya kepuasaan batin.
"Dia pikir dirinya siapa? Seenaknya berbicara seperti itu."
Tentu saja sharon merasa sakit hati, padahal mereka berdua menyetujui pernikahan ini saat mereka dipertemukan senja tadi. Entah kenapa, tiba-tiba pria itu malah mendatangi dirinya dan mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sharon merasa terhina karena dirinya sempat bahagia saat melihat respon pria itu, tapi apa ini? Tiba-tiba berubah secepat itu.
"Jika tahu aku akan dipermainkan seperti ini, lebih baik aku hibernasi di Kutub Utara," ujar Sharon sembari menggulung tubuhnya dengan selimut tebalnya.
"Kau tidak bisa mundur, Sharon. Jika kau melakukan itu, Ruth akan menanggung akibatnya."
Sharon berusaha menyakini dirinya sendiri jika pernikahan yang sebentar lagi akan terjadi ini tidak seburuk perkiraannya, terlebih lagi Kendall sangat menyukainya. Itu semua tidak akan sulit.
"Tapi, bagaimana dengan pria itu?"
Sharon masih bertanya-tanya apa yang membuat pria itu berani berbohong tentang pernikahan yang akan dijalani seumur hidup ini di depan bibinya? Dan mengajak dirinya untuk membuat keputusan yang bahkan dirinya belum dengar.
Karena sudah terlanjur emosi, maka lebih baik angkat kaki bukan? Daripada kata-kata yang tidak enak meluncur dari mulutnya.
Malam ini, Benedict dan Kendall memutuskan menginap di panti asuhan saja, karena perjalanan ke hotel cukup jauh, terlebih badai salju juga memperburuk cuaca malam ini.
Panti asuhan yang cukup kuno ini pun juga memiliki banyak kamar, kamar yang bersih dan terawat. Berguna di situasi seperti ini.
tiba-tiba Sharon berjengit kesal kembali saat dirinya mndengar jika Benedict menempati kamar tidur di sebelah kamarnya. Ingin sekali rasanya menerobos kamar itu dan memukul dada pria itu satu kali saja, demi kepuasaan batinnya.
Sharon merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang menggelap karena lampu sudah dimatikan. Ia berusaha memejamkan mata, mengistirahatkan pikirannya dan meraup seluruh energi untuk esok hari.
Baru sepuluh detik matanya tertutup, ketukan pintu membuatnya kembali tersadar, mengernyit siapa malam-malam yang mendatangi kamarnya. Jika itu Tracy lebih tidak mungkin, karena anak-anak jarang sekali bangun di tengah malam seperti ini.
Sharon menjulurkan tangannya membuka kunci pintu kamar tidurnya, lalu membuka perlahan, mengintip sedikit, takut-takut jika hantu yang mengetuk pintu kamarnya.
Sesaat ia terbelalak mendapati seseorang yang tersenyum tipis di depan pintu kamarnya, bersandar di dinding dengan membawa selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
"Sudah kuduga kau masih bangun, boleh aku masuk?"
“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.“Kau menerima perjodohan itu!”Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya,
Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.“Ada apa mencariku?”Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”***“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?&rd
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict
Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.... Tapi, apa-apaan ini?Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!&