Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.
Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?
Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Perkara Cedric ia anggap itu sudah selesai ‘sedikit’ meski ia tahu cepat atau lambat akan kembali bertemu mantan kekasihnya itu. Tapi, urusannya dengan Benedict tidak akan pernah selesai, mereka baru saja akan memulai, dan dirinya belum siap untuk itu.
Sharon membuka lemari pendingin, memasukkan semua makanan yang ia bawa ke dalamnya. Malam ini ia sedang tidak berselera untuk makan. Besok ia juga harus datang pagi-pagi ke toko kue karena ada beberapa pesanan kue dari pelanggan.
Sharon memutuskan mengisi daya ponselnya, takut-takut ada info yang dikirimkan oleh Grace, memeriksa beberapa email dan jadwal kapan ia akan menulis blog kembali.
Drrt ...
Ibu jarinya yang asyik memeriksa beberapa pesan pun terhenti saat ada nomor baru yang mengirimkannya pesan. Tentu saja itu bukan Cedric, pria itu belum tahu nomornya yang baru ini. Sharon membuka pesan itu, lalu tertegun, tidak bisa bereaksi apa-apa.
“Semoga kamu sudah merasa lebih baik, makanan yang kubawa tidak perlu dihabiskan. Besok aku ingin bertemu, apa kamu punya waktu?”
Sharon menarik sudut bibirnya, dan memilih untuk mengabaikan pesan itu.
“Jadi, dia dulu yang menghubungiku?”
***
Sharon memasukkan loyang terakhir ke dalam oven, sebentar lagi pukul sepuluh, pesanan kue harus siap tepat waktu dan juga banyak yang membeli kopi untuk dibawa kerja.
“Hah? Apa?! Dasar orang gila,” umpat Grace, Sharon sudah menceritakan semua yang terjadi semalam kepada temannya itu.
Sharon mengangkat bahu, memasukkan kue yang sudah dihias ke dalam kota cantik. Menyelipkan kartu selamat ulang tahun kepada pelanggannya itu. Grace yang masih berkutat menghias kue juga tidak kenal lelah sembari mengomel tentang betapa bodohnya dirinya karena membahas masalah yang lalu kepada mantan pacarnya.
“Haa, ya sudah, aku jadi dirimu juga pasti akan bertanya seperti itu. Tiba-tiba ditinggalkan lalu datang tanpa rasa bersalah, pria itu sungguh tidak tahu malu, ia meminjam uang kepada mantan pacarnya?!”
Sharon tersenyum, beginilah respon Grace setiap dirinya menceritakan apa pun masalahnya, Grace selalu dipihaknya karena itu terkadang Sharon merasa ia tidak akan selamat di dunia yang kejam ini jika tidak dipertemukan dengan Grace Si Maha Benar.
“Lain kali jika kau bertemu dengannya pukul kepalanya dengan bagguete yang sudah tiga hari ini sampai jadi bubuk!”
Lonceng pintu masuk berbunyi, menghentikan umpatan Grace.
“Ah, selamat datang~” Grace berlalu ke meja kasir, menyambut pembeli yang biasanya memesan kopi. Begitulah Grace, bisa berubah dalam sekejap, bersikap sewajarnya.
Sharon menghentikan lamunannya, ia mengangkat loyang dan kembali menghias kue, Grace masih melayani beberapa pembeli yang mulai ramai.
“Sharon, kemari!” panggil Grace yang sepertinya sedikit kerepotan.
Grace yang kerepotan melambai-lambai memanggilnya agar mendekat. Meminta bantuan, Sharon menghentikan aktivitasnya dan beranjak mendekati Grace. Baru saja ia keluar dari dapur dan berjalan ke arah etalase, ia tersentak kaget. Ia melihat seseorang yang entah mengapa selalu memasuki pikirannya tanpa izin itu, pria yang mendatangi apartemennya saat tengah malam.
“Tolong bantu di sana, Sharon.”
Benedict yang sedang membungkuk melihat aneka ragam bentuk kue bangkit saat melihat Sharon, hari ini ia sengaja mengosongkan jadwalnya karena ingin membicarakan sesuatu dengan wanita yang menatapnya dengan terkejut.
Sharon segera menghampiri Benedict, bertanya-tanya mengapa pria yang sengaja ia hindari itu datang ke tempat kerjanya.
“A-ada apa?” tanya Sharon gugup, entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa pasokan oksigen habis saat aroma parfum Benedict menerobos masuk ke indra penciumannya.
Benedict tanpa banyak bicara menyerahkan sebuah map berwarna coklat yang berisikan dokumen dan sebuah kartu berwarna hitam yang membuat mata Sharon membelalak. Tentu dirinya tahu kartu yang berwarna hitam dicampur keemasan itu bukan main berharganya. Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kartu ini.
Tetapi, mengapa Benedict memberikannya kartu ini, ia melihat pria itu dengan kebingungan.
“Baca dokumen itu saat kamu selesai kerja. Dan kartu itu segera gunakan,” jelas Benedict, ia memasukkan kedua tangannya dibalik mantel coklat. Kembali menunggu pertanyaan selanjutnya dari Sharon.
Sharon menghembuskan napas, sepertinya ia tahu apa isi map coklat yang tengah digenggamnya ini, “jadi ini surat kontrak pernikahan yang harus kutandatangani?”
Ternyata ini tujuan pria itu datang ke tempat kerjanya, Sharon merutuki pikirannya saat dirinya sempat merasa senang dengan kedatangan calon suaminya itu. Ia cepat-cepat menghapus pikiran-pikiran yang lain datang menghampiri sembari tetap mempertahankan tatapannya. Sengaja menatap lekar manik abu itu, berusaha mencari sesuatu yang tersembunyi dibalik mata sayu milik Benedict.
Suasana yang sebelumnya terasa ramai mendadak hening, beberapa pengunjung kafe yang sedang memilih kue sontak menjauh dari dua insani yang saling melempar tatapan.
Benedict mengangguk, tidak ada waktu untuk berbasa-basi lagi.
Melihat pria yang bermanik abu itu tidak berniat menjelaskan lebih lanjut lagi, Sharon langsung balik badan dan masuk kembali ke dalam dapur meninggalkan Benedict yang masih menatap pintu coklat yang memisahkan mereka.
Malam ini ia akan terbang ke Barcelona, dan mungkin akan memakan waktu yang cukup lama di negara itu. Oleh karena itu, Benedict ingin mempercepat proses perkenalan mereka, dengan menyerahkan dokumen ‘penting’ itu dan tidak mengulur waktu lagi.
Benedict mengabaikan tatapan orang-orang yang masih penasaran dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan Sharon barusan. Ia memilih berjalan keluar dengan santai, bahkan mengabaikan Grace yang sempat memanggilnya.
Tentu saja niatnya yang sebenarnya adalah segera melaksanakan pernikahan ini. Ia merasa jika Sharon juga pasti akan setuju mengingat ada beberapa syarat yang tertulis di dokumen itu yang menguntungkan Sharon. Lalu begitu urusannya di Barcelona selesai mereka akan segera menikah, lalu hidup sendiri-sendiri meskipun statusnya akan berubah nantinya.
Benedict melajukan mobilnya dengan pelan menuju jalan raya, bergabung dengan mobil-mobil lainnya. Meninggalkan toko roti yang merangkap kafe tempat Sharon bekerja, tidak sedikit pun ada rasa bersalah di hatinya.
Pikirannya hanya sebatas itu, menyelesaikan semuanya tanpa hambatan apa pun. Tanpa berharap sedikit pun bahwa hubungan mereka bisa cerah ke depannya.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict
Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.... Tapi, apa-apaan ini?Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!&
Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya."Aku ingin kau menikah,"Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah."Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia.""Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?""Bodoh!"Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut."Seharusnya kau tidak menjawab apa-a
Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dal
Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.Benedict be