Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?
Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.
Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya.
"Aku ingin kau menikah,"
Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah.
"Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia."
"Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?"
"Bodoh!"
Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut.
"Seharusnya kau tidak menjawab apa-apa, bodoh!"
Sharon meringis ketika kakinya menendang ujung kasur, rasa sakit itu menjalar ke ujung kepala yang membuat dirinya menjadi emosi. Dengan menjawab seperti itu Ruth hanya bisa tersenyum kecut, sekali lagi meremas tangan Sharon dan menghilang di balik pintu. Meninggalkan dirinya yang masih belum menyelesaikan catatannya.
"Hah, tapi tidak ada salahnya menerima dulu, jika tidak cocok kami bisa sepakat tidak melanjutkan hubungan itu."
Demi tidak melihat wajah Ruth kecewa lagi, Sharon akan menyetujui semua permintaan wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu, meskipun yang diminta adalah nyawanya akan ia berikan. Karena dia merawatku dengan jiwa dan raganya.
Malam ini, ia memutuskan untuk melanjutkan risetnya, membahas tentang keanehan bumi yang jarang diketahui oleh manusia serta beberapa penjelasan geografi dan sejarah, ia memasukan bumbu-bumbu misteri agar ceritanya menarik untuk dibaca.
Pikirannya yang masih melayang sulit ia untuk dikendalikan, ia merasa serba salah, tidur salah, begadang pun salah.
Ponselnya yang sudah tidak ia pedulikan sejak tadi siang pun bergetar, membuat Sharon sadar bahwa urusannya bukan hanya dengan laptopnya saja.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, nama seseorang yang sudah ia benci mati-matian itu kembali tertera di dalam ponselnya. Sharon menggerutu, "mau apa Si Brengsek ini?!"
Malam ini sepertinya Tuhan benar-benar sedang mengetes kesabarannya, mengujinya dengan kembali mengirimkan titisan iblis yang sudah berhasil ia lupakan.
Tapi, kenapa tiba-tiba?
Hai, ini aku Cedric. Mau bertemu besok?
... isi pesan Cedric, mantan pacar yang mencampakkan dirinya datang kembali.
***
"Ben, hari ini kita akan berkunjung ke panti asuhan Ruth, dan barang-barang itu tolong dimasukkan ke bagasi mobil." Kendall, bibinya, pergi menelepon seseorang setelah menyuruh Benedict memasukkan barang-barang yang ia tidak tahu apa gunanya itu, ke dalam bagasi mobilnya.
Hari ini, ia mengambil cuti. Bibinya meminta dirinya untuk menghabiskan malam natal di rumah saja. Tubuhnya yang susah payah ia bentuk pun sudah lenyap, karena bibinya terus saja memaksanya makan, bahkan mengirimkan makanan ke apartemennya. jika makanan yang sudah tertata cantik di lemari pendingin dan meja makan itu tidak dimakan, maka siap-siap saja telinganya akan berdarah mendengar omelan sang bibi.
Kendall Wright, wanita yang hampir berusia enam puluh tahun itu segera memboyongnya masuk ke dalam mobil.
“Kita sudah telat dua puluh menit, dan ramalan cuaca sore ini akan ada badai salju.”
Benedict melangkah malas, cuaca dingin seperti ini seharusnya ia meringkuk di dalam selimutnya yang hangat. Tidak perlu pergi ke manapun, apalagi mengunjungi panti asuhan yang lokasinya cukup jauh.
Kendall yang asyik dengan teleponnya , mengabaikan Benedict yang fokus menyetir. Samar- samar ia mendengar apa yang dikatakan bibinya itu di telepon. “Ah, benarkah? Dia sudah di sana?”
Benedict tetap fokus menyetir, tetapi telinganya masih nyaring mendengar apa yang dibicarakan bibinya.
“Iya, aku berangkat bersama Ben, kau akan senang melihat anak ini tumbuh begitu cepatnya.” Kendall menatap Benedict yang dibalas oleh tatapan bertanya-tanya, ada apa namanya disebut-sebut?
Kendall mencubit pipinya, “tentu saja, mereka harus bertemu,” sambung Kendall. Kali ini, Benedict tidak dapat menghiraukannya lagi.
“Mereka tentu saja akan menerima perjodohan ini, Ruth. Aku tidak sabar melihat mereka bersanding sebentar lagi.”
Mobil yang mereka kendarai berhenti mendadak.
***
Senyum Sharon merekah saat Ruth mematikan ponselnya dengan senyuman yang lebih lebar tidak seperti biasanya.
Sedari tadi ia menemani Ruth, rencananya untuk belanja hadiah natal bersama Max terpaksa ia tunda. Ruth menatakan jika donatur panti akan membawakan hadiah-hadiah itu.
“Tahun yang lalu juga seperti ini, waktu itu kau terpaksa pergi karena ada hal yang mendesak, kau tidak ingat?” Ruth mencoba mengingatkan Sharon dengan kejadian yang susah payah Sharon lupakan. Tentu saja Ruth tidak tahu masalah apa itu. Lagipula, Ruth tidak perlu tahu, biar dirinya simpan sendiri.
“Well, kau kelihatan sangat senang selama menelepon tadi, apa aku mengenal donatur itu?” tanya Sharon sambil merebahkan tubuhnya di sofa, semalam tidurnya tidak nyenyak.
“Kau tidak mengenalnya, tapi dia mengenalmu. Aku yang mengenalkanmu,” jelas Ruth sembari memperbaiki alas kepalanya.
Sharon menatap jengah, “kau selalu mengenalkanku kepada siapa pun itu, kau berusaha menjualku, ya? Agar aku tidak kemari lagi?”
Ruth tertawa mendengar ucapan yang terdengar lucu baginya, “lihatlah dirimu yang masih seperti anak kecil itu. Terkadang aku lupa kalau kau sudah tiga puluh tahun.”
“DUA PULUH SEMBILAN TAHUN!” pekik Sharon.
Rasa kesal Sharon malah dipenuhi oleh gelak tawa Ruth yang duduk di balik meja kerjanya.
Sharon menatap Ruth yang sudah selesai dengan tawanya itu lanjut menulis sebuah catatan di atas buku kecil yang selalu tersimpan di laci terkunci. Rasa penasaran pun muncul, Sharon bangkit dari rebahannya, menjulurkan kepala seolah-olah dapat mengintip isi tulisan Ruth.
“Apa sedang kau lakukan, wahai Bundaku?”
Ruth masih fokus dengan tulisannya, mengabaikan panggilan Sharon yang sengaja menggodanya.
“Hanya menulis surat wasiat,” jelas Ruth.
Sontak saja Ruth menutup mulutnya dan menatap Sharon yang sudah menatapnya dengan marah, ia tahu Sharon sangat tidak suka dengan perkataannya barusan. Tapi, Ruth segera menyembunyikan rasa gugupnya, ia malah menjahili Sharon balik.
“Ya, tentu saja semua orang akan menulis surat wasiat di penghujung umurnya bukan?”
Sharon mengedarkan pandangannya ke jendela, menatap butiran-butiran salju yang terus jatuh dari langit, mengotori taman dan pekarangan. Sharon tidak menjawab apa-apa, helaan napasnya yang berat membuat Ruth semakin merasa tidak enak.
“Kau ingin tahu siapa yang akan berkunjung kemari? Donatur yang meneleponku itu.”
Masih membelakangi Ruth, Sharon mengangguk pelan. Sebenarnya ia tidak tertarik, tapi entah kenapa ia hanya ikut mengangguk saja saat Ruth bertanya.
“Dia Kendall, teman baikku—“
“Sejak kapan kau mempunyai teman dekat?” potong Sharon.
Ruth lagi-lagi tersenyum, ia paham jika Sharon masih kesal. “Dengarkan dulu,”
“Saat dia berkunjung kemari kami menjadi dekat, kepribadiannya yang ceria itu membuatku nyaman.” Sharon tidak berkomentar apa-apa, rencana ingin melanjutkan tidurnya saja di kamarnya.
Malam tadi pikirannya sangat berantakan, satu persatu masalah yang tidak terselesaikan kembali datang menghampiri. Membuat tidurnya terganggu belakangan ini. Ia beranjak dari duduknya, pamit dari ruangan Ruth. Tidak ingin melanjutkan percakapan yang membosankan dengan Ruth.
“ ... dan dia calon ibu mertuamu, dia kemari membawa anaknya yang akan dijodohkan denganmu, Sharon.”
Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dal
Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.Benedict be
“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.“Kau menerima perjodohan itu!”Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya,
Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.“Ada apa mencariku?”Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”***“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?&rd
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.