“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”
Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.
Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.
“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.
“Kau menerima perjodohan itu!”
Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya, kenapa tidak mengajak dirinya saat perjodohan itu.
Melihat Benedict yang acuh tak acuh menanggapi semua keluh kesahnya dan malah membaca koran, maka Cathy terpaksa mengalah, mendudukkan tubuhnya ke atas sofa yang empuk.
“Lihat, kakekku saja sudah tidak membaca koran lagi sejak adanya ponsel canggih.”
Cathy mencebik kesal saat Benedict mengabaikannya, perempuan itu bangkit dari duduknya dan berjalan menyusuri rak-rak buku milik Benedict, mencari bacaan yang bisa menghilangkan rasa bosannya sebelum makan siang pesanannya datang.
Sebenarnya koran yang dipegang Benedict adalah koran beberapa bulan yang lalu, sembarangan mengambil apa saja benda yang bisa membuat Cathy tidak bertanya apa-apa lagi.
Berhasil, Cathy tidak akan mengganggunya jika ia kelihatan sibuk.
Benedict menghembus napas saat pikirannya melayang kepada perempuan yang ia temui seminggu yang lalu, mereka belum bertemu lagi sejak percakapan di dapur panti asuhan di saat malam natal.
Meskipun Kendall sudah memberikan nomor ponsel beserta sosial media wanita itu tidak kunjung membuat Benedict menghubunginya terlebih dahulu.
Padahal Benedict sudah bertekad untuk mengajak bertemu kembali dan membicarakan masalah yang sama. Sebelum pernikahan mereka digelar beberapa bulan lagi.
“Jadi, kapan kalian akan bertunangan?” tanya Cathy tiba-tiba, membawa beberapa tumpukkan buku yang ia yakini tidak akan dibaca satu buku pun.
“Tidak tahu,” jawab Benedict dengan tenang.
“Mengapa kau menyetujuinya? Aku masih melihat keraguan di matamu, Ben.”
Dulu, saat masih remaja mereka saling berbagi rahasia, apa saja. Tapi, seiring waktu yang merengut masa remaja mereka, Benedict merasa jika ia tidak perlu mengatakan ini kepada Cathy. Lebih baik tidak usah.
“Kau tentu saja tidak akan menjawab, baiklah aku hanya akan mengatakan ini sebelum pergi.”
Alis Benedict bertaut, bingung mendengar kalimat terakhir sepupunya itu, “kau tidak makan dulu sebelum pergi?”
“Tidak, aku harus pergi ke bandara karena ada urusan mendadak ...”
Hening menyergap kedua manusia yang saling beradu tatap di ruang kerja Benedict yang serba hitam ini, menunggu kalimat yang akan diucapkan Cathy selanjutnya.
“... jangan kecewakan Mama, apa yang sudah disiapkan untukmu adalah yang terbaik, Ben, percaya aku.”
Cathy memeluk Benedict sebelum meninggalkan pria yang masih menggunakan jubah gelap itu, mengucapkan selamat tinggal dan memberitahu makanan apa yang akan disiapkan siang ini.
Sepupunya yang memilik rambut pirang nan indah itu berhenti di ambang pintu, “aku tunggu kabar dari hubunganmu dan Sharon selanjutnya, selamat makan, Ben.”
**
“Mari kita berbohong, cih, pria gila.”
Masih mengenakan celemek dan seragam toko kue tempat dirinya memenuhi kebutuhan hidup, Sharon mengunyah beberapa kue yang akan dibuang tapi masih layak dimakan itu dengan marah.
“Wajahmu seperti orang yang tidak berak dua minggu, dan sudah kubilang berkali-kali jangan memakan kue basi!”
Sharon mengabaikan teriakan marah Grace, tetap menyendoki potongan kue itu ke mulutnya sebelum akhirnya dirampas paksa oleh Grace dan membuangnya ke tempat sampah.
“Ya, ya, selalu membuang makanan. Itulah mengapa kita tidak pernah kaya.”
“Ada apa denganmu? Seharian ini kau kelihatan tidak bersemangat.” Grace membuka seragamnya cepat, malam ini ada kencan dengan pacarnya.
“Tidak ada masalah,” balas Sharon singkat. Ia kembali mengambil beberapa kue yang masih bagus ke dalam tas bawaannya, tentu saja kue pemberian Grace.
“Jangan berbohong. Kau selalu terlihat seperti manusia yang paling bahagia saat kembali dari panti asuhan, kau bisa meneleponku jika—“
“Aku dijodohkan,” seru Sharon cepat, tidak melihat ke arah Grace yang menganga sebesar-besarnya.
Tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Grace, Sharon berdiri setelah memasukkan alat-alat ke laci bawah dan melihat ekspresi Grace yang sudah ia perkirakan.
“Dijodohkan, lalu menikah, dan beranak-pinak. Kau tidak salah dengar.” Sharon membuka seragamnya yang serba putih, hari ini cuaca tidak dingin-dingin amat, ia berencana akan tidur lebih lambat sembari menikmati kue ini di apartemennya yang nyaman.
“Astaga! Ini berita bahagia!”
Sharon mendelik tidak suka, ia tahu jika Grace sudah meramal dirinya tidak akan menikah sebelum dijodohkan, ternyata itu semua benar. Lihatlah, ekspresi bahagia Grace yang mengekori ke manapun Sharon pergi, sampai toko sudah ditutup pun Grace masih mencecar dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut Sharon sangat tidak penting sama sekali.
“Kita akan berpisah di kelokan ini, Sharon. Katakan padaku apa dia tampan? Aku lupa menanyakan ini saat kau masih sibuk mengumpat pria itu.”
“Ya, sedikit,” jawab Sharon singkat, ia melihat jalanan dari jendela mobil yang dikendarai oleh Grace.
“Tampan, pengacara dan tidak homo. Wah, kau dapat berlian, tapi kenapa kau menghujatnya seperti itu? Padahal kalian baru bertemu?”
Pertanyaan terakhir Grace sukses membuat Sharon termenung, ia terdiam saat sadar bahwa dirinya sudah bercerita yang tidak perlu dan terlalu banyak menjelekkan pria yang bahkan tidak tahu nomor ponselnya itu.
Mobil yang ditumpangi Sharon menepi di dekat gedung orkestra yang sangat ramai di datangi orang-orang malam ini, Sharon yang sempat protes mengapa berhenti di sini pun mengalah saat Grace melajukan mobilnya, “aku sudah telat, sampai jumpa hari senin!”
Mobil bermerek Porsche itu menjauh dari pandangan Sharon, bergabung dengan mobil-mobil lainnya yang memadati jalanan.
“Sepertinya acaranya baru dimulai, ah aku tidak punya uang.”
Niat Sharon setelah sampai di rumah adalah bertemu dengan ranjangnya, menikmati potongan beberapa kue yang lezat ini, serta menonton film yang sempat tertunda karena dirinya mengurusi blog saja beberapa hari terakhir ini.
“Sharon!”
Langkah Sharon terhenti saat mendengar ada suara yang memanggil namanya, suara yang tidak asing di pendengarannya.
Sharon melihat ke belakang, ke arah keramaian orang-orang yang masih menunggu antrean untuk masuk ke dalam gedung yang akan mengadakan orkestra tersebut.
Merasa tidak melihat siapa pun, Sharon mengangkat bahunya, melanjutkan langkahnya ke arah gedung apartemennya beberapa langkah lagi.
Lengan Sharon tertarik ke belakang, seorang pria yang ternyata memanggilnya tadi berdiri dengan senyum manis di belakangnya.
Cedric, masih setia menahan lengannya.
“Aku menunggumu, Sharon.”
Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.“Ada apa mencariku?”Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”***“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?&rd
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict
Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.... Tapi, apa-apaan ini?Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!&
Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya."Aku ingin kau menikah,"Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah."Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia.""Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?""Bodoh!"Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut."Seharusnya kau tidak menjawab apa-a