Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.
“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”
Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.
Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.
“Ada apa mencariku?”
Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”
***
“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?”
Pembicaraan ini sudah diduga oleh Benedict saat masih di ruang kerjanya, ia menggeleng lemah sebagai jawaban untuk pertanyaan bibinya.
“Lagi-lagi kau begini, harus sampai kapan aku selalu mengingatkanmu bahwa pria-lah yang harus turun tangan!”
Dentingan keras garpu yang beradu dengan piring milik Kendall sontak membuat Benedict mengangkat kepalanya, mendapati wajah masam bibinya yang masih merasa kesal dengan keras kepala keponakannya itu.
Benedict meletakkan garpu dan pisaunya ke samping piring, menyudahi makan malamnya. Ia beralih mengambil sebotol wine di samping kirinya dan menuangkannya perlahan, masih dengan tatapan kesal milik bibinya.
Saat ini mereka sedang berada di restoran milik teman dekat bibinya, sengaja membawa Benedict kemari karena Benedict yang bersedia menjemputnya setelah kembali dari acara suatu komunitas yang diikuti bibinya.
“Aku masih terlalu sibuk untuk menemuinya,” jawab Benedict setelah terdiam beberapa saat.
“Tapi kau bisa meneleponnya atau—“
“Baiklah,” potong Benedict, ia menyesap cairan ungu dari gelasnya dengan perlahan. “Aku akan menemuinya secepatnya, tidak perlu khawatir bibi, pernikahan ini akan tetap dilaksanakan.”
Sontak mata Kendall berbinar senang, meskipun sudah memiliki tiga cucu, wajah milik sang bibi masih enak dipandang. Bekas kecantikannya saat masih muda pun terpancar jelas. Pikiran Benedict sempat melayang ke masa lalu, yaitu kepada mendiang ayahnya, mereka sangat mirip.
“Itu yang kutunggu, jawaban yang berasa seperti memenangkan undian!”
Benedict tersenyum mendengar celotehan bibinya yang kembali terdengar, dia menceritakan segala hal yang teringat di benaknya, apa pun itu, saat acara sore tadi kepada Benedict.
Alunan musik klasik terdengar di seluruh ruangan restoran. Para pelayan yang hilir mudik melayani para pelanggan, ada seorang wanita yang bersenandung di atas panggung kecil dan diramai dengan alunan musik yang memanjakan telinga.
Saat mengedarkan pandangan, manik abu milik Benedict menangkap sesuatu yang pernah ia lihat. Ia menajamkan pandangannya, memastikan apa yang ia lihat di ujung meja yang berjarak tiga meja dari tempat ia berada.
“—aku sangat senang melihat anak itu, Betty sangat pandai mendidiknya, masih belia tapi perilakunya sangat memukauku.” Sang bibi yang masih terus bercerita, kali ini tentang anak perempuan teman dekatnya dulu.
Dari kejauhan Benedict bisa melihat bahwa ia tidak asing dengan warna rambut dan jaket yang orang itu kenakan, seorang wanita yang asyik mendengarkan dengan serius lawan bicara di depannya. Benedict tersenyum, itu calon istrinya, Sharon.
Tepat saat Benedict akan mengalihkan pandangannya, adegan yang sempat membuat Benedict terdiam tidak percaya melihat apa yang dilakukan perempuan itu terhadap teman bicaranya.
Sharon menunjuk-nunjuk pria itu dengan garpu dengan gelagat marah, wajahnya memerah serta Benedict bisa merasakan wanita itu tengah menahan tangis. Sudah ia duga bahwa Sharon akan berjalan ke arahnya, dengan langkah marah serta teriakkan pria yang di belakangnya memanggil nama wanita tersebut.
Langkah Sharon terhenti begitu lengan kekar milik Benedict menahannya, hampir terjatuh karena langkahnya dihentikan dengan paksa. Benedict sudah menahan pinggang wanita itu, matanya yang tengah berair sedang menatap Benedict dengan tatapan memohon.
“SHARON!”
Cedric yang sebelumnya mengejar Sharon langsung terhenti begitu melihat sesuatu yang tidak biasa terjadi dengan tiba-tiba di hadapannya. Sekeliling sudah mulai terdengar bisikan akibat teriakan Cedric.
Memilih mengabaikan tatapan penasaran orang-orang di sekitar, Cedric melangkah maju menggapai tangan Sharon. Sepertinya pria itu teramat marah entah apa yang diperbuat Sharon sampai telinga pria itu juga seperti berapi.
Tangan Cedric terhenti di udara, tangan yang lebih besar dari miliknya menahan dirinya mencegah mencapai lengan milik Sharon. Benedict menggeser Sharon ke belakang tubuhnya dan menatap mata beringas milik Cedric.
“Anda siapa? Jangan menghalangi kami!” teriak Cedric. Tingginya hanya sebatas telinga Benedict.
Benedict hanya diam tanpa berniat mengatakan sesuatu ataupun bergerak barang sedikit, masih menatap pria yang lebih pendek darinya itu dengan tatapan bingung.
Meskipun tidak tahu apa yang terjadi, Benedict tentu saja akan turun tangan, karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres yang sedang terjadi pada Sharon.
“Kau punya telinga? Minggir!”
Sekali lagi lengan yang terbungkus mantel coklat itu terhenti di udara, Cedric benar-benar marah karena diperlakukan seperti orang dungu di keramaian seperti ini. Ia menyalangkan matanya ke arah Sharon sebelum kembali mengentakkan lengannya dari genggaman Benedict.
“Hey bisu! Sepertinya kau sudah kelewatan, kau siapa berani—“
“ ... aku tidak bisu, dan aku calon suami Sharon.”
***
Melihat calon menantunya ketakutan, Kendall segera menggenggam kedua bahu Sharon dan memeluknya, membiarkan Benedict yang menyelesaikan masalah yang membuat manajer restoran langsung turun tangan.
Sebenarnya, Sharon sama sekali tidak takut saat mengetahui Cedric marah dengan kalimatnya termasuk beberapa keputusannya yang membuat Cedric kecewa. Akan tetapi, saat melihat Benedict dengan tatapan khas pria itu, entah mengapa air matanya langsung luruh begitu saja, membuatnya mengutuk diri sendiri kenapa menangis di hadapan pria itu. Padahal mereka baru saja menyatakan perang dingin.
Saat ini, Kendall dan Sharon sudah masuk ke dalam mobil, “kita pulang dulu saja, Ben bisa pulang dengan taksi,” terang Kendall sambil mengenakan seat belt.
Sharon menatap kembali pintu masuk restoran itu, tahu begini lebih baik ia tidak usah menerima ajakan Cedric. Pria itu masih tetap sama seperti dulu, dan anehnya perasaannya juga masih ada untuk Cedric.
Dalam perjalanan pulang Kendall tidak banyak bertanya, Sharon mengucapkan terima kasih saat mobil yang ditumpanginya menepi di halaman apartemennya. Sharon juga mengatakan kalau dirinya baik-baik saja dan tidak perlu khawatir.
“Tapi, bagaimana jika pria itu kemari?” tanya Kendall khawatir.
“Itu tidak akan terjadi, jangan khawatir,” jawab Sharon. “Dan bibi, kumohon jangan memberitahu Ruth tentang masalah ini.”
Sempat berpikir ingin memberitahu sahabatnya itu saat ia di rumah nanti, Kendall menghela napas karena sepertinya Sharon sudah membaca rencananya. “Baiklah, jaga dirimu baik-baik.”
Mobil berwarna silver yang Sharon yakini adalah keluaran terbaru dari Porsche menjauh dari pandangan, menyisakan Sharon dengan kesendirian dan kesunyian di kegelapan malam.
Tujuan Cedric menemui Sharon adalah meminjam uang, pria itu berkata akan menggantinya dengan berkali lipat. Cedric selalu seperti itu, meminjam uangnya dari dulu dan sampai sekarang tidak pernah dibayar. Terkadang meminta uangnya kembali saat masih berpacaran dulu membuat dirinya merasa tidak enak.
Berbeda dengan sekarang, mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Tapi, dengan wajahnya yang pandai berpura-pura itu ia kembali lagi tanpa merasa bersalah.
Setidaknya minta maaf ...
Tentu saja, penyebab perdebatan tadi adalah Sharon mengungkit masalah yang belum selesai di masa lalu hubungan mereka, Sharon memukul kepalanya saat kembali mengingat kejadian itu dengan runtut. Menyumpahi kebodohannya.
Apartemen sempitnya menguarkan suasana hangat di tiap sudutnya, meskipun minim pencahayaan yang sengaja ia pilih, membuat dirinya ingin cepat-cepat menjulurkan tubuh di sofa dan memejamkan mata untuk segera melupakan masalah sepele ini.
Masalah sepele yang pasti akan melebar, begitu pikirnya. Karena Benedict juga terlibat di dalamnya.
Sharon membuka matanya saat mengingat Benedict. Apa pria itu sudah pulang? apa yang terjadi selanjutnya? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang berpendar di kepalanya.
Ponselnya juga sudah mati, tidak sempat mengisi daya saat pulang dari toko roti. Memilih mengabaikan ponselnya, Sharon kembali menutup mata, berusaha menidurkan dirinya.
Baru saja sepuluh detik ia menghitung domba, bunyi bel apartemen membuat hitungannya rusak. Sharon melirik jam dinding di dekat sisi kamarnya yang menunjukkan pukul satu dini hari, siapa gerangan yang berkunjung di jam larut begini?
Sharon melangkah gontai, lupa bahwa saat ini ia mengenakan pakaian tidur yang cukup minim, tanpa banyak berpikir lagi ia membuka pintu dan mematung di sana.
Tahu begini lebih baik aku tidur saja.
Bukan Cedric yang saat ini berdiri di hadapannya, melainkan pria yang sudah ia labeli sebgaia musuh berat. Benedict.
Masih dengan kemeja biru tua yang digulung sampai siku, kancing-kancing di bagian dada yang memekik minta diloloskan membuat kantuknya hilang, Sharon beralih menatap mata Benedict.
Dua menit lamanya mereka hanya berdiam diri, saling menatap tanpa berbicara sepatah kata pun. Tatapan Benedict jatuh ke arah kaki panjang nan kecil milik Sharon yang terekspos dengan mudah, dan merasa lega saat tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena wanita di depannya baik-baik saja.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Benedict, membuyarkan lamunan mereka berdua.
Sharon mengangguk, “sedikit lebih baik, silakan masuk.”
Langkah berat Benedict mulai menapaki lantai berwarna coklat pudar apartemen Sharon. Mengedarkan pandangan, ia melihat Sharon yang kembali duduk di atas sofa sembari menunggu dirinya.
“Silakan duduk, Tuan Muda. Maaf aku sedang tidak ingin membuat minuman,” ketus Sharon. Meskipun ia lagi-lagi meringis di dalam hati karena merasa terlalu kurang ajar terhadap penolongnya.
Benedict yang tidak pernah merasa kikuk pun dengan segera menggabungkan dirinya di samping Sharon, sengaja duduk mendekat. Lalu, ia mengeluarkan beberapa kotak makanan dari paper bag yang sempat Sharon lihat tadi.
“Apa ini?”
Pertanyaan Sharon diabaikan oleh Benedict sampai kotak terakhir sudah ia keluarkan. Tidak perlu merasa menjawab pertanyaan itu, lantas pria itu pergi begitu saja meninggalkan Sharon yang masih ternganga dengan pria yang sebentar lagi akan jadi suaminya itu.
Benedict membuka pintu dan berjalan keluar, langkahnya terhenti oleh gerakan Sharon. Membuat dirinya mau tidak mau kembali menatap wanita itu.
“Mau ke mana?”
Lagi-lagi Benedict hanya diam mematung, membisu. Sharon semakin tidak percaya jika pria ini adalah seorang pengacara. Pengacara selalu banyak omong, bukan?
“Aku kemari hanya mengantarkan makanan, sepertinya kamu belum sempat makan.”
K-kamu?!
Benedict segera menarik gagang pintu, dan terhenti saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Sharon.
“Terima kasih.”
Tanpa bersusah payah membalikkan tubuhnya lagi, Benedict hanya mengangguk, keluar dari apartemen Sharon dan berjalan tegap menyisir lorong sepi menuju lift.
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa
Hari ini, Benedict pulang dari Barcelona.Bunyi dering ponsel di atas nakas membuatnya terbangun kaget, dengan cepat meraba sisi kiri dan lalu menarik ponsel yang masih berdering itu dengan mata tertutup.“Halo?”Semalaman dirinya begadang hanya untuk membaca banyak artikel yang ternyata tidak sesuai ekspektasinya. Akibat terlalu sering menonton film fantasi membuat kepalanya dipenuhi halusinasi yang luar biasa.Sebenarnya, ia ingin membuat bacaan yang menarik untuk diletakkan di blog miliknya, tetapi rencana itu digagalkan oleh Grace dengan fakta yang tidak membuatnya terdiam di sudut ruangan.“Untuk apa bersusah payah mencari bahan untuk blog-mu itu, sebentar lagi kau akan menjadi Nyonya kaya, kau akan menikah!”Akhirnya ia menyerah setelah jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi, diiringi rasa kantuk yang tertahankan. Kemudian menyerah dengan perkelahian di dalam pikirannya dan memilih berkelumun di dalam selimut.
Sharon mematung saat melihat Benedict yang berbalut jas navy sedang duduk membaca buku menu restoran sembari menunggu kedatangannya.Tampan. Itu yang terlintas pertama kali di benaknya saat melihat pemandangan itu.Sebelumnya, Benedict sudah mengatakan melalui telepon bahwa pria itu akan menjemputnya. Tapi, tiba-tiba dirinya malah menyuruh Benedict untuk langsung menuju restoran saja dan menunggunya di sana, karena ada hal yang mendesak saat ia membantu Grace di kafe temannya itu.Dan di sinilah ia berdiri memandangi si Pengacara itu dari kejauhan, baru saja ia berkedip tiba-tiba pria itu sudah membalas tatapannya, dengan sebelah tangan menggaruk sisi kelapanya.Sharon berdeham, entah mengapa rasa gugup tiba-tiba menyerangnya. Lalu ia berjalan mendekati meja tempat Benedict berada, mendudukkan dirinya dengan kikuk saat pria itu masih menatap gerak-geriknya.“Kau terlambat tiga menit.”Kalimat pertama yang diucapkan oleh Benedict
Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.... Tapi, apa-apaan ini?Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!&
Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya."Aku ingin kau menikah,"Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah."Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia.""Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?""Bodoh!"Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut."Seharusnya kau tidak menjawab apa-a
Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dal