Benedict adalah seorang pria yang kaya raya, ini semua ia miliki bukan semata-mata dari orang tuanya ataupun harta warisan. Tapi, ia mendapatkan ini semua dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Jadi, dirinya tidak berhak menerima perintah dari siapa pun, apalagi sampai menerima dirinya ditumbalkan oleh keluarga besarnya sendiri.
Meskipun sejak kecil dirinya sudah merasakan kesusahan akibat kecelakaan yang merengut nyawa kedua orang tuanya, ia tetap bisa mendirikan perusahaan ini tanpa bantuan siapa pun. Begitu pun perihal pernikahan, ia bisa mengurus semuanya dengan tangannya sendiri, tidak membutuhkan bantuan siapa pun!
“Sebenarnya, tidak perlu menolak sebegitunya. Kau terima saja apa nasibmu,” ujar Cathy.
... Tapi, apa-apaan ini?
Ben—panggilan akrabnya, hanya mengusap wajahnya. Kedatangan Cathy, sepupunya, kemari hanya menambah beban di pundaknya.
“Hei, Pak Pengacara! Usiamu itu sudah matang tahu, tiga puluh dua tahun!”
Cathy menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa empuk di sudut ruangan Benedict, saat baru sampai di Chicago dirinya langsung mendapat perintah dari Mamanya untuk singgah dan mencoba membujuk sepupunya yang masih bersikeras untuk melajang itu.
“Hah, tidak semua wanita seperti mendiang Ibumu, maafkan saja—“ kalimat Cathy tertahan begitu melihat tatapan Benedict yang menatapnya tajam, ia menelan ludah, buru-buru melanjutkan tidurnya.
“Oh ya, jangan bangunkan aku untuk dua jam ke depan, setelah landing aku tidak sempat beristirahat.”
Benedict yang tidak banyak komentar kembali memfokuskan pikirannya terhadap kasus yang sedang memakan banyak waktu dan energi itu, kasus pembunuhan selebriti dan sebagai pengacara tersangka ia tidak menemukan setitik cahaya pun untuk membela kliennya.
Ditambah lagi berita mendadak ini. Bibinya yang mengasuhnya dari kecil itu kembali mendesaknya untuk menikah, terkadang ia berpikir bahwa bibinya itu seorang biro jodoh. Karena siapa pun yang ia kenal belum menikah, dengan berbangga hati ia akan mencarikan jodoh untuk oran tersebut.
“ ... dan bukan hanya dirimu saja yang ditumbalkan, Ben. Setelah ini aku juga akan bertemu dengan pria pilihan Mama.”
“Kau tidak tidur?” tanya Benedict.
Cathy bangkit dari tidurnya, menatap Benedict yang duduk di meja kerjanya dengan rambut yang berantakan, sudah berapa hari pria ini tidak pulang?
“Siapa yang bisa tidur dalam keadaan seperti ini? Kedua kakakku pun dia yang bersikeras mencarikan jodoh, jadi tidak heran nasibku sekarang, bukan?”
Benedict merasa sangat susah jika percakapan selalu melibatkan tentang pernikahan, “Aku bisa mencari pasanganku sendiri, Cath. Tolong sampaikan kepada bibi—“
“Kalau begitu, kau saja yang menyampaikan sendiri. Kau belum pernah sekalipun menolak keinginan wanita yang kau sayangi itu, bukan?”
Cathy sengaja menggoda sepupunya itu, dan benar saja, pria itu langsung menenggelamkan pikirannya begitu kalimat itu ia lontarkan.
Benedict menggeleng, itu tidak akan pernah bisa ia lakukan, apa pun permintaan bibinya selagi itu bukan minta nyawa ia akan berikan. Toh, ini hanya menerima sebuah perjodohan. Terima saja, lalu ceraikan wanita itu, gampang, bukan?
**
Teriakan anak-anak yang sedang bermain tentu saja membuat kegaduhan, apalagi jumlah anak di dalam panti asuhan ini berjumlah dua puluh lima orang.
“Aku mau mainan seperti punya Max!” jerit anak perempuan gendut yang menggunakan kostum Spiderman, matanya setengah berair.
“Tapi kamu sudah punya kostum keren ini, bukan? Kasihan, Max, jika mainannya diambil.” Salah seorang wanita di sana menengahi mereka.
Max yang berpostur lebih tinggi dari Tracy pun membalikkan matanya, di panti, anak laki-laki yang berusia sembilan tahun ini lebih dewasa pemikirannya dibandingkan usianya.
“Jangan mulai, Tracy. Setelah merebut kostum milik Josh sekarang kau ingin merebut barangku? Jangan kekanak-kanakan!”
Tracy menerjang ke arah Max saat anak laki-laki itu menyebut kostum itu tidak cocok digunakan oleh anak perempuan gendut sepertinya, Max sudah cukup sabar menghadapi Tracy yang selalu bersikap semena-mena terhadapnya.
“Jangan kabur, Max! Lawan aku jika kau kuat!”
Di panti asuhan ini, Max dan Tracy diberi julukan Si Pembuat Keributan. Meskipun Max terkenal dengan cara berpikirnya yang dewasa, tetapi jika dihadapkan dengan Tracy tingkahnya kembali sesuai usianya.
Ruth sebagai Ibu Kepala di panti asuhan itu memegang bahu wanita yang melihat pertengkaran Max dan Tracy dengan lelah.
“Kau selalu saja kemari, Sharon.”
Senyuman Sharon mengembang begitu melihat Ruth, ia memeluk wanita yang sudah tidak muda lagi itu dengan erat.
“Aku sudah tidak kemari selama dua bulan!” pekik Sharon.
Ruth tertawa, setiap Sharon kemari bukan hanya anak-anak saja yang suka, bahkan dirinya dan dua orang penjaga panti juga senang saat Sharon berkunjung.
“Dan juga aku akan menginap di sini. Dua hari lagi Natal, aku tidak punya tujuan selain kemari.”
“Tentu saja, kau bebas jika mau di sini, aku ke dapur sebentar, kamarmu ada di ujung lorong seperti biasa.”
Ruth berjalan cepat saat salah satu anak panti memanggilnya untuk bertanya tentang resep untuk makan malam ini dan persiapan kue untuk Natal. Sharon memasukkan tangannya ke saku jaketnya, malam ini cuaca sangat dingin. Ia yang baru pulang dari kantor cepat-cepat pulang agar tidak ketinggalan bus dan terjebak kemacetan.
Sharon membawa tasnya yang berisi pakaian untuk dua hari, kalau tidam salah, pakaian tebalnya ada beberapa ia tinggalkan di lemari kamarnya yang terletak di ujung lorong, dekat jendela lantai dua panti asuhan ini.
Sejenak Sharon berhenti tepat di depan pintu kamarnya, ia menatap ke halaman yang penuh dengan salju. Bulan lalu, usianya genap dua puluh sembilan tahun tapi tidak ada satu pun yang berubah dari hidupnya.
“Menyedihkan,” bisik Sharon pada dirinya.
Setelah dicampakkan oleh pria yang ia cintai tiga tahun yang lalu, Sharon merasa tidak perlu bersusah payah membuka hati kembali. Di usia segini ia memfokuskan diri kepada hobinya yang membuat kue dan menulis blog di internet.
Hidupnya tidak begitu kekurangan, tapi dengan pendapatannya yang tidak terlalu besar ia tidak bisa berliburan saat natal ini, tapi siapa juga yang akan pergi jauh di saat orang-orang berkumpul dengan keluarganya di malam natal?
Meskipun secara darah, dirinya hidup sebatang kara. Lalu, berkumpul dengan anak-anak yang nasibnya kurang lebih sama seperti dirinya.
“Sharon!”
Lamunan Sharon buyar, ia melihat seorang anak laki-laki berlari ke arahnya, Max. Memeluknya dengan erat.
“Wah, sekarang tinggimu pun sudah se-bahuku!”
“Aku rajin berolahraga, meski kadang direpotkan si anak gendut itu.”
Max yang dari kecil selalu menempel dengan Sharon, saat berumur tiga tahun masih membekas di ingatan Sharon jika Max akan menjerit-jerit menangis saat dirinya meninggalkan panti asuhan, tidak ingin dirinya pergi.
“Katakan sesuatu yang ingin kau katakan, Max.”
Max tersenyum malu, tangannya yang berada di belakang punggung pun segera ia keluarkan, ada sebuah kotak berwarna hijau di sana.
“Ini sudah aku siapkan seminggu yang lalu, meskipun tidak terlalu mewah tapi aku sungguh-sungguh membuatnya,” jelas Max dengan semangat.
Sharon mengusap puncak kepala Max, terkikik saat anak laki-laki itu merona wajahnya. Ah, manis sekali.
“Baiklah, terima kasih atas kadonya. Semoga ini bukan obat-obatan terlarang,” canda Sharon yang berhasil membuat tatapan Max membesar.
Max mundur beberapa langkah, berniat kembali kepada teman-temannya, “kalau begitu aku pergi dulu,” pamit Max yang berjalan mundur.
Sharon mengangguk dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, bersiap masuk ke dalam kamar.
Gerakannya terhenti saat Max memanggilnya dari kejauhan.
“Sharon! Selamat ulang tahun!” pekik anak laki-laki itu sebelum akhirnya menghilang di ujung lorong yang minim pencahayaan.
***
Setelah makan malam bersama dengan anak-anak, semua penghuni panti asuhan kembali ke kamarnya masing-masing.
“Jangan membuat keributan di malam hari, paham?”
Anak-anak yang mendengar peringatan terkesan lembut itu hanya mengangguk setuju, melangkah gontai menuju ke kamar masing-masing.
Ruth yang masih setia duduk di meja makan menemani Sharon yang sibuk menulis kado untuk anak-anak yang akan ia beli besok.
“Kau tidak perlu repot-repot menulis ini semua,” ujar Ruth setelah beberapa saat. Sharon yang masih mengunyah makanan pun tidak beralih dari catatannya.
“Aku melakukan ini setahun sekali, tidak perlu khawatir.”
Helaan napas Ruth terdengar oleh Sharon, ia merasa ada sesuatu yang janggal dari gelagat Ruth saat dirinya kemari.
“Ada apa?” tanya Sharon sembari meremas lembut tangan Ruth.
“Tidak ada, aku hanya sedikit tidak enak badan akhir-akhir ini.”
Sharon menatap dalam ke mata kelam milik Ruth, merasa cemas dan takut kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi.
“Sudah periksa ke rumah sakit?”
Ruth menggeleng, terlihat jelas kelelahan di wajah tua Ruth yang masih berusaha tersenyum kepadanya.
“Boleh aku mengatakan sesuatu?”
Kalimat pertanyaan itu meluncur saat beberapa keheningan menyelimuti mereka, Ruth dengan pikirannya begitu pun dengan Sharon yang menatap khawatir wanita yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
“Bisa aku meminta sesuatu darimu?” pertanyaan kedua membuat Sharon spontan mengangguk.
“Apa saja, kau boleh meminta apa saja.”
Ruth menatap lantai dapur yang menampilkan garis-garis retakan, berpikir sejenak.
Sharon yang menunggu kalimat selanjutnya dari Ruth hanya bisa mengangguk, memberi isyarat untuk mengatakannya.
Remasan tangan Ruth semakin menguat, menatap wajah Sharon yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.
“Aku ingin kau menikah.”
Jika malam tiba, terkadang ia selalu bertanya kepada dirinya sendiri. Apa itu kebahagiaan?Sembari menatap langit-langit kamar yang sudah usang dan cuaca dingin yang menusuk tulang tembus ke dinding kamarnya, Sharon merapatkan selimutnya yang tebal.Sudah dua jam yang lalu percakapannya dengan Ruth berakhir, tetapi pikirannya tidak mau diajak damai, tidak mau beristirahat, selalu saja saling berperang di dalam kepalanya."Aku ingin kau menikah,"Permintaan Ruth berhasil membuat Sharon bungkam, meskipun Ruth tidak memaksanya menjawab, tapi dengan tatapan memohon itu membuat Sharon gelisah."Usiaku sudah tua, aku hidup dengan banyak anak-anak, dikelilingi mereka. Tapi, entah kenapa ingin rasanya melihatmu bahagia.""Apakah dirimu menjamin kebahagiaan itu? Apakah solusinya dengan menikah?""Bodoh!"Ini kesekian kalinya ia memaki dirinya sendiri, menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut."Seharusnya kau tidak menjawab apa-a
Mobil yang baru saja berhenti di halaman luas panti asuhan itu pun mulai dikerubungi anak-anak yang antusias menunggu sejak tadi. Dari dalam mobil Kendall mengusap matanya sembari tersenyum hangat.“Senyum tulus mereka hanya bisa kulihat tiga kali saja dalam setahun, oh, air mataku jatuh.”Benedict menghela napasnya, masih menatap dalam diam bibinya yang masih mengoceh sambil menyeka air matanya. Melihat semua ini ia tidak bisa lagi mengeluh. Toh, bibinya sebahagia ini saat berada di panti asuhan milik temannya ini.“Bibi Kendall, aku sudah menunggu sejak tadi, sudah lama tidak bertemu, ya!” teriak salah satu anak paling tinggi di antara kumpulan anak-anak lainnya. Suara anak-anak lain juga ikut mengatakan hal yang serupa, sembari melambai-lambaikan tangan yang tertutup sarung tangan hangat.Lagi-lagi Kendall menangis, air matanya yang sempat kering kembali jatuh. Merasa tidak ada waktu lagi, Kendall mengambil kacamata hitam di dal
Makan malam yang riuh ricuh itu sudah berakhir, menyisakan Sharon dan Max beserta tumpukkan piring yang akan segera dicuci telah menunggu mereka.“Sharon, istirahatlah, aku bisa mengerjakan ini dengan Tracy si pemalas itu.”Suara tawa Sharon meluncur dari bibirnya, “kau masih saja membenci Tracy, dia anak yang manis.”“Huek, itu kalimat yang paling menjijikkan di penghujung tahun ini,” seru Max dengan gelagat menahan muntah.Saat Sharon dan Max asyik bercanda dan saling sikut menyikut, Max melihat ke belakang di sisi kiri Sharon yang membuat dirinya mengerti, ia mengangguk paham setelah melihat siapa yang baru saja datang.“Aku pamit dulu, Sharon. Bersihkan semuanya sendiri, ya!”Max berlari tanpa rasa bersalah, meninggalkan Sharon yang ingin mengejarnya dengan lap kotor.Di depan pintu dapur, pria yang akrab dipanggil Ben itu mematung dengan sebuah gelas di tangannya.Benedict be
“Aku dapat kabar gembira dari Mama, apa itu benar?”Kedatangan Cathy saat jam makan siang membuat Benedict merasa gerah dengan semua celotehannya. Padahal sepupunya itu bisa menanyakan hal yang lain, selain masalah personal yang dimilikinya.Hari ini, ia sedang berkutat dengan sebuah buku yang mengumpulkan seluruh kasus di dunia yang tidak berhasil dipecahkan. Ia sangat suka dengan cerita misteri atau apa pun yang menyangkut sekitarnya. Jadi, dengan amat terpaksa ia membuka kacamatanya dan menandai halaman 215 sebagai bacaan terakhirnya.“Kabar apa?” tanya Benedict sembari menyeruput kopinya yang sudah dingin.“Kau menerima perjodohan itu!”Benedict tersedak saat Cathy tiba-tiba menepuk meja disertai suara tawa yang menggelegar di ruang kerjanya. Benedict meletakkan gelas itu dan beralih mengambil sebuah koran di samping meja kecilnya mengabaikan Cathy yang masih belum selesai dengan segala protesnya,
Beribu pikiran menyerang puncak kepalanya, pasokan napasnya menipis begitu melihat siapa yang tengah memegang lengannya, dengan senyum seperti saat mereka masih bersama, senyum manis milik Cedric.“Aku menunggumu saat natal kemarin, hanya saja aku lupa bahwa kebiasaanmu adalah datang ke panti asuhan selang beberapa hari sebelum natal.”Cedric menjelaskan dengan panjang lebar, masih dengan mempertahankan senyumannya yang manis itu, yang terkadang menghampiri di alam mimpi Sharon.Sharon menggeleng saat mengingat bahwa dirinya terlalu terpana melihat mantan pacarnya ini. Kaku berdehem mengatur suara detak jantungnya yang berdegup kencang.“Ada apa mencariku?”Pria itu mengeratkan mantelnya sembari mengedarkan pandangan, “berdiri di tengah jalan seperti ini akan membuatku pilek, bisa kita pindah tempat saja?”***“Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Sharon?&rd
Sudah sekitar tiga menit lift tertutup dan mengantarkan pria di dalamnya menuju basemen, Sharon masih setia berdiri di depan pintu apartemennya. Entah apa yang ia tunggu, tapi enggan rasanya memindahkan kakinya agar segera berkelumun dengan selimut.Mengapa pria itu kemari? Dan juga dari mana ia tahu tempat tinggalku?Tidak ingin berlama-lama lagi, Sharon memutuskan untuk segera masuk karena angin mulai menjalari kakinya yang tidak dibalut apa pun. Ia kembali terdiam saat melihat kotak makanan yang dibawa oleh Benedict, sebenarnya jika mereka memiliki hubungan layaknya dua orang insani yang jatuh cinta atau barangkali dua orang yang menerima perjodohan ini dan menyambutnya dengan perasaan gembira, mungkin hal seperti ini akan membuatnya merasa melayang, perasaannya membuncah. Tapi, ia tidak merasakan itu, perasaan yang ia rasakan bercampur aduk. Masih memikirkan apa yang sebenarnya ada di benak pria yang sempat duduk di sofanya beberapa menit yang lalu.
Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”Kalima
Sharon akhirnya menyetujui rencana yang ditawarkan Grace.Setelah dirinya mendengarkan semua penjelasan Grace yang terdengar menggebu-gebu, ia berpikir tidak ada salahnya mengikuti alur permainan pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu. Meskipun ia juga tidak yakin apa semua rencana yang sudah susah payah dirancang Grace itu akan terlaksanakan.“Kau buang semua makanan yang dikirimkan pria sombong itu!”Begitulah akhir pembicaraan mereka, dan hari ini ia akan pergi berbelanja seperti yang sudah diperintahkan Benedict, ia mendapatkan izin dari Grace setelah ia diberitahu bahwa mereka kedatangan pegawai baru.Ngomong-ngomong tentang surat kontrak itu ... masih belum ditandatanganinya, ia hanya membaca sekilas dan memberikan kepada Grace. Rencana Grace adalah membiarkan kontrak itu ditandatangani setelah pernikahan saja. Entahlah.Baru saja Sharon membuka pintu apartemennya ia tersentak kaget saat mendapati seorang wanita yang sa