Suara petir yang bergemuruh dan angin kencang yang menderu-deru segera menghentikan Myan dari aktivitasnya.
Kanan dan kiri meja kerjanya sudah kosong. Tampaknya hanya dia yang masih tertinggal di kantor untuk menyelesaikan laporan terakhirnya.
Ponselnya berdering saat ia mulai membereskan mejanya.
"Halo" Myan segera menjawab panggilan itu.
"Apa kau belum selesai juga?!" suara di seberang sana terdengar tidak sabaran.
"Lima menit lagi oke, aku sedang merapikan mejaku sebentar"
Rick, kekasihnya yang memiliki sifat sedikit tidak sabaran sedang menunggunya di depan kantor untuk menjemputnya. Tak ingin membuat Rick menunggu terlalu lama, Myan bergegas keluar ruangan.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba semua lampu padam. Mungkin ada pemadaman listrik mengingat cuaca yang sedang tidak bersahabat.
Myan terpekik kecil ketika tidak sengaja menabrak sebuah meja. Dia segera mengeluarkan ponselnya untuk penerangan.
Myan dengan gugup melewati lorong kantornya. Mungkin karena minimnya cahaya semua serasa begitu menakutkan.
Lorong yang setiap pagi dia lewati, malam ini serasa sangat panjang.
Myan dapat mendengar detak jantungnya sendiri karena dia merasa sangat gugup dalam kegelapan. Dia merasa sedikit takut seolah-olah seperti ada yang mengikutinya.
Karena pemadaman listrik, Myan terpaksa harus turun ke lantai satu melewati tangga darurat. Disaat seperti ini lift pasti tidak akan berfungsi.
Baru beberapa langkah dia turun, tiba-tiba di depannya muncul sekelebatan hitam disertai hembusan angin yang langsung berhambur seolah-olah hendak menerjangnya.
Myan setengah terpekik karena terkejut oleh angin yang tiba-tiba seperti mendorongnya hingga terhuyung. Ia hampir terjerembab jika tak ada tangan seseorang yang menangkapnya dari belakang.
"Kau tak apa-apa?" suara berat terdengar di belakangnya dari seorang pria yang menahannya agar tidak jatuh tadi.
"Ti_tidak apa, terima kasih," ucapnya sedikit bergetar. Myan segera melepaskan diri dari orang tersebut.
Refleks, Myan kemudian mempercepat langkahnya untuk menuruni tangga. "Permisi!" ucapnya kemudian sambil terburu-buru turun dan berlari menuju pintu keluar.
Myan sengaja tidak menoleh ke belakang lagi. Dia memang tidak ingin, karena ia takut akan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat di sana. Jadi Myan memilih untuk segera kabur.
Dengan napas yang terengah-engah Myan sampai di tempat parkir. Mengetuk halus kaca mobil Rick yang telah menunggunya. Tanpa menunggu lama lagi, Myan langsung masuk ke dalam mobil begitu pintu terbuka.
"Rick, ayo cepat kita pergi dari sini!" ucapnya sedikit panik.
"Ada apa? mengapa kau lama sekali?" protes Rick.
"Apa kau tidak lihat? sedang ada pemadaman listrik di kantorku. D_dan mungkin aku bertemu sosok yang seharusnya tidak ada di dalam sana."
"Apa maksudmu?"
"Rick, aku hampir terjatuh tadi di tangga karena ada angin yang tiba-tiba datang menerjangku. D_dan kemudian ada seseorang di belakangku yang menahanku agar tidak jatuh!"
"Oh, aku bahkan tidak tahu dia betul orang atau bukan. Aku tidak melihat wajahnya, aku hanya berlari karena terlalu takut untuk menengok ke belakang," aku Myan dengan takut-takut.
Rick mendesah, "Mungkin kau hanya terlalu lelah, jadi berhalusinasi yang tidak-tidak," ucapnya.
"Ayo cepat kita pulang Rick, aku takut jika hantu tadi mungkin mengejarku!"
Rick tertawa kecil, "Hantu? konyol. Tidak ada yang namanya hantu, Myan."
"Baiklah aku akan cepat memgantarmu pulang, karena aku ada janji malam ini dengan Alan." ucap Rick sambil menghidupkan mesin mobilnya.
"Kau langsung pergi? tidak ikut masuk sebentar?"
"Ya, aku sudah terlambat. Maaf mungkin lain kali," ucap Rick dengan nada penyesalan.
"Tapi kita sudah lama tidak punya waktu untuk bertemu. Apa hari ini tidak bisa kau batalkan saja janjimu dengan Alan?" tanya Myan lagi.
"Maaf, tidak bisa."
"Bahkan hanya untuk sekadar makan malam denganku? Aku sengaja memintamu menjemputku agar kita bisa makan malam bersama, sudah dua minggu kita tidak bertemu. Please, bisakah?" tanya Myan lagi penuh harap.
"Maaf Myan, aku tidak bisa. Mungkin lain waktu. Aku sudah ada janji dan sudah terlambat" jawab Rick
Myan menghela napasnya tanda menyerah. Mungkin memang mereka belum memiliki kesempatan untuk bisa menghabiskan waktu berdua.
Sudah hampir setahun mereka bersama, tapi Rick jarang meluangkan waktu untuknya. Jika diingat-ingat lagi, memang Rick terhitung sangat sedikit meluangkan waktu untuk bertemu. Hanya pada saat awal-awal Rick mendekatinya saja, dan setelah itu mereka hanya beberapa kali berkencan sebelum akhirnya jadian.
"Aku seperti wanita yang tidak punya kekasih," gerutu Myan perlahan.
"Maaf Myan, ada baiknya kau langsung beristirahat ya. Bukankah besok ada kegiatan kantor yang harus kau ikuti?"
"Hm, baiklah. Berhati-hatilah dalam menyetir," ucap Myan mengalah.
Besok memang ada acara kantor yang sebenarnya dia sendiri pun sangat tidak ingin mengikutinya. Acara kebersamaan karyawan kantor yang mengharuskan mereka mendaki gunung dan berkemah di tempat terbuka. Memikirkannya saja sudah sangat melelahkan.
Rick hanya mengantar Myan kembali ke apartemennya, setelah itu dia langsung pergi untuk memenuhi janjinya dengan Alan.
Myan pun tak banyak beraktivitas setelah kembali ke apartemen. Ia hanya makan malam lalu mandi. Karena dirinya sudah berkemas untuk keperluan besok pagi, jadi ia memutuskan untuk langsung beristirahat.
****
Esoknya...
Myan meraih tas ranselnya setelah selesai menyantap sarapan paginya. Karena tak ingin terlambat ia bergegas untuk segera berangkat ke kantornya. Titik awal tempat keberangkatan dan pertemuan para peserta acara kebersamaan.
Sudah banyak karyawan lain yang berkumpul di lobi kantor saat ia memarkir mobilnya di halaman parkir. Di sana sudah tampak tiga buah bis yang berjajar rapi untuk transportasi mereka nanti.
"Myan! Kemari, cepatlah!" teriak Stevie bersemangat sambil menghampirinya.
"Kenapa kau semangat sekali? Oh, aku saja sudah capek membayangkan kita akan mendaki gunung," sungut Myan sambil menggendong tas punggungnya.
"Tentu semangat, kau tahu tidak? kita akhirnya bisa berkumpul dan melihat langsung para pria dari divisi kreatif yang terkenal tampan!" pekik Stevie sumringah.
Myan memutar kedua bola matanya. Memang Stevie sahabatnya itu sangat menyukai pria-pria berwajah tampan.
"Apa kau sudah melihat July?" tanyanya kemudian.
"Aku baru datang, aku bahkan belum sempat menutup pintu mobilku"
"Ah, baiklah ayo cepat kita ikut berkumpul!" Stevie menarik Myan untuk masuk kedalam kerumunan.
Perusahaan tempat mereka bekerja adalah perusahaan periklanan bernama 'Shine Advertising' . Myan, Stevie dan July tergabung dalam divisi konsultan pemasaran.
"July, cepatlah!" Stevie melambai kearah July yang baru saja bergabung bersama mereka di lobi.
Setelah semua karyawan lengkap dan berkumpul, perjalanan kebersamaan kantor pun dimulai.
Tiga buah bis yang membawa mereka berjalan saling beriringan, menuju gunung yang dituju.
Banyak jadwal dan agenda acara kebersamaan yang harus mereka ikuti selama berkemah dua hari satu malam itu.
Hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mendaki gunung, setelah mereka meletakkan semua barang dan keperluan dalam tenda sesuai kelompok dan divisi masing-masing.
Cuaca yang begitu cerah, tampaknya sangat mendukung untuk aktivitas yang akan mereka lakukan. Walau masih tampak sisa-sisa hujan semalam yang membuat tanah basah dan berembun, tetapi banyak peserta yang sangat antusias menanti kegiatan yang akan berlangsung.
Seperti contohnya Stevie dan July. Tentu saja Myan adalah pengecualian. Ia merasa sangat malas mengikuti serangkaian acara kebersamaan kantor mereka.
"Oke, apakah kalian siap?" tanya July sambil membetulkan letak tas ransel yang digendongnya.
Myan, Stevie dan July sudah berada di dalam barisan. Setelah mendengar aba-aba dari ketua grup masing-masing, mereka memulai start untuk mendaki.
"Setelah kalian sampai di puncak, ingat untuk langsung menancapkan bendera divisi kalian!" Panitia acara memberikan arahan.
"Pemenang yang berhasil menancapkan bendera terlebih dahulu akan mendapatkan hadiah menarik. Selain itu, divisi yang berhasil menancapkan bendera kemenangan akan mendapat bonus tambahan untuk semua karyawan pada divisi tanpa terkecuali."
Sorak sorai terdengar begitu bergemuruh saat disebutkan tentang hadiah yang bisa didapatkan oleh pemenang. Banyak peserta yang hadir tampak begitu bersemangat.
Tidak peduli dengan riuhnya suasana, Myan sibuk sendiri memeriksa ponselnya. Belum ada balasan dari Rick untuk beberapa pesan singkat yang dia kirimkan tadi.
Myan tidak pernah menerima pesan singkat duluan dari kekasihnya itu. Selalu saja dia yang pertama menelepon atau mengirim pesan. Walau Rick memang selalu lambat saat merespon semua pesan-pesannya, tetap saja Myan sedikit merasa suram.
Myan menghembuskan napasnya, untuk sedikit mengusir rasa kecewanya.
Hujan yang turun semalam meninggalkan sedikit sisa-sisa tanah basah termasuk di jalur pendakian. Area sekitarnya pun masih terlihat lembab karena tanah basah yang tampak licin.
"Satu, dua, tiga, gooo ...!!" Aba-aba start sudah diteriakkan. Segera setelah peluit ditiup, para peserta kemah langsung berbondong-bondong menyerbu jalur masuk gunung untuk segera memulai pendakian.
Myan dan teman-temannya berada di tengah-tengah rombongan, mereka berjalan dengan kecepatan sedang agar tidak cepat kehabisan napas.
"Hei, kau sungguh membuat hari ini muram Myan." Senggol July mengagetkannya.
"Jangan ganggu dia July, dia sedang menunggu balasan dari Rick" timpal Stevie
July memutar kedua bola matanya tanda bosan. Sudah ratusan kali dia selalu melihat Myan murung karena Rick.
"Tidak usah terlalu memikirkannya Myan, kau itu terlalu baik buatnya. Jika kau akhirnya memutuskan untuk pergi darinya, aku yakin dia yang akan menyesal setelah kehilanganmu."
"Aku berani bertaruh, Myan tak akan pernah meninggalkan Rick!" timpal Stevie lagi.
"Aah, sudah, kita makan camilan saja yuk!" Stevie membagi cokelat kepada masing-masing kedua temannya itu.
"Ingat, bawa pulang kembali bungkus sampahmu ya, Stev!" timpal Nico teman satu divisi mereka yang tiba-tiba sudah berjalan menjajarinya.
"Iya, iya berusahalah untuk divisi kita ya!" balas Stevie.
"Kalau aku memenangkan ini, kau harus berjanji padaku untuk kencan denganku, oke?!" serunya sambil berlalu mendahului mereka.
"Dalam mimpimu!" balas Stevie sambil tertawa.
Saat itu ponsel di saku jaket Myan bergetar. Segera Myan membuka dan melihatnya. Benar saja, ada sebuah pesan masuk dari Rick. Sebuah kiriman foto lebih tepatnya.
Hanya sedetik kegembiraannya berlangsung, saat melihat isi pesan tersebut jantungnya seolah berhenti berdetak. Myan sangat shock melihat foto yang dikirim ke ponselnya itu.
Foto Rick yang bertelanjang dada dan sedang tidur di sebuah ranjang, di samping seorang perempuan yang tersenyum menghadap kamera! Dan perempuan itu hanya memakai selimut untuk menutupi bagian atas dadanya.
Stevie dan July yang merasa heran karena Myan berhenti, kemudian menghampirinya. Melihat ekspresinya, dengan sigap mereka mengambil ponsel di tangan Myan dan segera ikut melihatnya.
"Ya Tuhan ..." bisik Stevie ikut shock melihat foto tersebut. July membulatkan matanya dan menutup mulutnya, sama terkejutnya dengan Stevie.
Saat itu juga ponsel Myan kembali bergetar. Ada panggilan masuk!
Agar tidak mengganggu peserta yang lain, Myan keluar dari jalur rute pendakian untuk menerima telepon. Myan menerima panggilan itu, tapi tidak langsung menjawab. Myan berjalan semakin menjauhi rombongan.
"Halo Dear, tolong jangan kirim pesan singkat terus-menerus please, Rick butuh istirahat. Aku tidak mau dia terbangun. Kau tahu, dia sangaaat ... kelelahan sejak semalam." Suara manja seorang wanita terdengar dari seberang sana.
"Siapa kau!?" tanya Myan begitu terkejut.
"Menurutmu siapa? aku adalah orang yang selalu menemani dan memberi kehangatan untuk Rick di malam hari." Ucapnya dengan nada seperti menertawakan Myan.
"Apa kau tahu siapa aku?!" tanya Myan bergetar karena menahan marah.
Terdengar suara gelak tawa wanita itu.
"Ya, hanya seorang gadis malang yang tidak pernah bisa memberikan kepuasan pada pacarnya. Taukah kau kenapa Rick tidak pernah menyentuhmu?"
"Kauuu....!" Myan menggeram. Karena kekesalannya, dia tidak melihat pijakannya hingga kakinya terperosok.
"Myaann!! Awaas!!"
Pekikan peringatan terdengar bersamaan dengan terperosoknya kaki Myan ke bawah jurang terjal yang dalam.
Masih bisa Myan lihat sekilas wajah orang-orang yang berlari mengejarnya. Seperti gerakan melambat, ada yang berusaha menangkap dan menarik tangannya.
Tapi terlambat! Myan dapat merasakan dirinya semakin ringan, seperti terbang. Dan sedetik kemudian ia langsung dihempaskan menghunjam permukaan yang keras, hingga membuatnya tak sadarkan diri.
"MYAANN....!!!"
Dengan mata yang terpejam, sayup-sayup masih bisa ia dengar suara-suara yang memanggil namanya. Suara itu terasa sangat jauh dan jauh ... hingga akhirnya suara itu semakin menghilang, dan tak terdengar lagi.
Semua hening dan gelap.
******
Myan mulai dapat merasakan kembali tubuhnya. Jari-jarinya mulai bergerak perlahan, meraba-raba permukaan yang dapat tersentuh olehnya. Samar-sama ia mulai dapat mendengar suara serangga yang seolah bernyanyi. Mungkin itu suara serangga-serangga penghuni pohon. Wajar karena dirinya sedang berada di gunung sekarang. Myan dapat merasakan semilir angin yang menerpa wajah dan rambutnya. Wangi bunga yang lembut pun samar-samar dapat tercium olehnya. Sinar matahari yang menyilaukan pun dirasa sedikit mengganggunya. Perlahan, Myan mulai membuka matanya. Mengangkat tangannya untuk menghalangi terik matahari yang menyorot wajahnya. Seolah tersadar, ia mengamati jemari tangannya yang terpantul sinar matahari. Myan lalu duduk dengan tiba-tiba. Ia teringat dirinya terperosok jatuh ke dalam jurang saat pendakiannya. Dengan ketinggian itu pasti tulang-tulangnya bisa remuk dan... Oh! apa yang terjadi?! Myan meraba tubuhnya, memeriksa tangannya. Menekan ba
Kouza mendesak maju menciumi Myan yang masih tercengang. Myan berusaha mendorong dada Kouza yang terus menekannya. Hingga akhirnya Kouza menyudutkannya merapat di pojok dinding. Menahan kepala Myan dan mendekap erat tubuhnya. Myan terkunci dan tak dapat bergerak. Kouza yang seperti telah terlena, belum terpuaskan memagutnya. Ia memasukkan lidahnya lebih dalam lagi, mencari-cari, menghisap dan menuntut tanpa henti. Myan sendiri mau tak mau mengikuti permainan Kouza hingga mendesah tak tertahankan, sangat kewalahan dengan serangan Kouza yang bertubi-tubi itu. "Kou... hh... Kouza... tolong hentikan," bisiknya disela-sela cumbuan Kouza. Myan mencoba beberapa kali lagi untuk berusaha berpaling menyudahi ciuman Kouza, tetapi masih tidak berhasil. Kouza menguncinya hingga sulit bergerak bebas. Baru beberapa saat kemudian, setelah Kouza memutuskan untuk menyudahinya, Myan dapat mengambil kesempatan untuk sedikit menjauhkan wajahnya darinya.
Myan telah berganti baju dengan terusan gaun malam berwarna merah tua yang lebih tebal dan hangat dibandingkan dengan pakaian yang dikenakannya tadi. Rambut cokelat panjangnya ditata cantik dengan gaya yang sesuai dengan gaun panjangnya malam ini. Ia tidak begitu kesulitan beradaptasi dengan pakaian yang ada di sini. Ditambah, Myan dibantu dalam segala hal oleh para pelayan. Walau merasa canggung, ia hanya akan menerimanya saja, agar ia tidak kesulitan sendiri. "Benar-benar luar biasa," gumamnya lirih. Myan mulai mengamati bagian-bagian ruangan dan istana tempatnya berada. Kalau-kalau situasinya tidak baik dan sewaktu-waktu dibutuhkan, ia sudah hapal dan ingat di mana saja letak-letak ruangan dan pintu keluarnya agar bisa melarikan diri. Yang pasti ia harus segera mempelajari dan mencari jalan keluar dari istana agar dapat kembali lagi ketempatnya ditemukan pertama kali. Selesai bersiap, Myan dibimbing memasuki salah satu
"Apa maksudmu dengan menikah?" Myan yang begitu terkejut, menatap Kouza dengan penuh tanya. "Tentu saja kau akan menikah denganku." ucap Kouza. "Mengapa? Apakah harus? Maksudku, mengapa aku harus menikah denganmu?" Kouza mengerutkan keningnya. "Kau tidak ingin menikah dengan seorang pangeran?" tanyanya tak mengerti. "Maksudku, mengapa kita tiba-tiba harus menikah? Bukankah jika kita menikah, kita harus saling menyukai? Kita harus saling mengenal dahulu?" "Karena kau adalah Kisha. Dan aku memang menyukaimu," ucap Kouza jujur. "Kau tidak menyukaiku?" tanya Kouza lagi. Myan menggigit bibir bawahnya. Ia tak mengerti mengapa Kouza bisa dengan mudah mengatakan hal itu. "Bukan begitu, bukan berarti aku membencimu. Hanya saja, kita harus saling cocok bukan?" "Aku akan menunggumu menyukaiku jika kau belum merasakan hal yang sama Myan. Aku akan berusaha membuatmu menyukaiku. Seperti aku yang menganggapmu adalah tak
Pelupuk mata Myan dipenuhi dengan air mata yang menggenang. Wajahnya terasa panas. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Antara kesal, marah, malu, dan shock membuat darahnya seolah mendidih. "Apa kau baru saja menyerang seorang pangeran?!" geram Kouza menatap tajam Myan. Myan terbelalak mendengar tuduhan Kouza. Perlahan ia berdiri dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Mengusap air matanya yang menetes dan dengan mata yang berapi-api mendekati Kouza. Mencengkeram baju Kouza dengan tangan satunya. Mendekatkan wajahnya pada Kouza, "MENYERANGMU?! Hah apa?! Kau bilang aku menyerangmu?! Apa kau sudah tak waras?! Dasar pangeran bajing*n!!! Kau yang menyerangku saat aku tidur! Kau pria berengs*k!! Pangeran apanya?! Kau hanya pangeran mesum!! Cabul!! Apa kau tahu aku sudah terlalu frustasi karena masuk ke dalam duniamu! Sekarang kau memperlakukanku seperti ini?!! Kau mau memperkos*ku??!!! Kenapa??! Apa karena kau seorang pangeran kau berhak melakukan itu padaku?! HAAAHHH???!!!"
Aroka berjalan cepat menuju istana utama dengan diiringi beberapa pengawal kepercayaannya. Ia hendak menyampaikan pesan langsung kepada baginda raja dan ratu. Dilihatnya wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan utama sang Ratu, sedang berjaga di depan ruang singgasana. "Madia, Pangeran memberi titah yang ingin beliau sampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu," lapornya. Saat itu, Madia wanita kepercayaan sang Ratu sedang berjaga dengan beberapa pelayan yang menemaninya. Madia mengangguk. Kepala pengawal kepercayaan Kouza masuk ke dalam ruang singgasana kerajaan. Dengan penuh khidmat dan hormat, Aroka membungkuk sebelum menyampaikan pesan dari sang Pangeran. "Hormat Baginda, hamba membawakan pesan dari Pangeran untuk disampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu" "Sampaikanlah," jawab Baginda Raja. "Pangeran mengatakan bahwa hari ini beliau ingin mengadakan pernikahan dengan Kisha, Sang Pembebas." Raja Zais dan Ratu Shila tampak
Raia seketika membeku. Tidak dapat melangkahkan kakinya lagi untuk mendekat ke arah Kouza. Sebelumnya jika bisa, begitu inginnya ia berhambur ke dalam pelukan Kouza, pangeran tampan dan sekaligus teman masa kecilnya itu yang sudah mencuri hatinya sejak usia mereka masih sama-sama 10 tahun. Raia mengepalkan kedua tangannya untuk menahan nyeri yang dirasakan di dalam dadanya. Melihat Kouza menggenggam tangan gadis lain di depan matanya sungguh membuatnya sangat cemburu. Kouza bahkan mengacuhkannya begitu saja saat berjalan melewatinya. "Ayah, ada yang ingin aku sampaikan," ucap Kouza sambil menggandeng tangan Myan untuk mendekat ke arah Raja Zais, ayahnya. Myan tampak ragu dan takut-takut berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi dengan orang asing. Ia tadi hampir saja kabur saat Kouza menariknya masuk ke dalam ruangan pertemuan ini. Sayangnya Kouza begitu erat menggenggam tangannya, hingga Myan hanya bisa pasrah mengikutinya. "KOUZA...!! " Raja
Segerombolan pria berjubah hitam saling melesat berlarian melalui pohon-pohon lebat yang berada di dalam hutan. Mereka berlari secepat kilat dengan gesit seolah sedang berlomba-lomba untuk mendekati perbatasan Kerajaan Tarcha.Dengan lihai mereka bersembunyi di antara pepohonan. Mereka mengamati benteng penjagaan perbatasan yang sedang dijaga oleh para prajurit perbatasan di beberapa pos penjagaan.Dalam pekatnya malam, nampaknya para penjaga benteng tidak menyadari keberadaan sekelompok mata-mata yang saling berpencar itu.Salah seorang yang tampak seperti pemimpin gerombolan mengisyaratkan untuk melakukan pergerakan dengan perlahan-lahan mendekati benteng penjagaan.Beberapa prajurit penjaga yang sedang berpatroli seketika terjaga waspada saat sayup-sayup terdengar gesekan kaki-kaki yang berlari melesat menerobos rumput ilalang tinggi, dan semakin mendekat ke arah mereka. Mereka belum sempat menarik pedang ketika kilatan-kilatan cahaya tiba-tiba menyerang dan mengoyak tubuh mereka se
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge