Sinar hangat yang menembus melalui jendela kamar, tepat menyinari wajah polos Myan yang masih terlelap. Myan sedikit terusik dengan terik hangat yang dirasa terlalu menyilaukan. Matanya masih terpejam walau kesadarannya sudah mulai pulih. Kelopak matanya terasa masih terlalu berat untuk dibuka. Myan mencari-cari perlindungan dari serangan sinar matahari pagi. Tubuhnya menggeliat, kepalanya bergerak-gerak untuk menghindari sorotan pada wajahnya. Ia terus mendesak, hingga akhirnya menemukan sandaran yang nyaman. Bagaikan anak kucing, Myan kembali meringkuk dan menempatkan posisi tidurnya dengan nyaman dalam dekapan bidang kokoh yang sangat hangat dan terasa padat itu. Tangannya meraba-raba bidang nyaman yang menyelubunginya itu, berusaha untuk menariknya lebih dekat. "Jangan memancingku, ini sudah pagi," Suara maskulin yang sedikit parau terdengar jelas di telinganya. Walau matanya masih terpejam, Myan dapat merasakan belaian lembut pada kepalanya. Tung
Gerombolan pria berjubah hitam terlihat mengendap-endap di samping tembok pembatas istana Kouza yang terletak paling ujung. Malam yang pekat menyamarkan kehadiran mereka. Para penjaga dan pengawal yang bersiaga di depan pintu kamar Kouza mendadak ambruk satu persatu tanpa suara. Mereka diserang dengan belati kecil yang dilempar dari jarak jauh, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Para gerombolan misterius itu telah sampai pada tempat tujuan mereka, yaitu kamar Pangeran Kouza. Sang pemimpin perlahan-lahan mulai membuka pintu kamar Kouza dengan hati-hati. Tanpa mereka ketahui, Kouza telah menunggu mereka di dalam. Kouza sebelumnya telah bersiap dengan pedangnya saat instingnya menangkap sekelebatan bayangan dan suara kecil dari luar kamarnya semenit yang lalu. Ia telah bersiaga menunggu kedatangan para tamu tak diundang tersebut. "Myan, apapun yang terjadi jangan keluar dari tem
Ibu kota Kerajaan Tarcha. Sangat besar, ramai, dan dipenuhi orang-orang yang masih beraktivitas di malam hari. Terlihat dari beberapa kedai menyerupai tempat makan yang masih menyediakan dan menjual makanan pada malam hari. Rombongan Kouza sampai di ibu kota hampir menjelang tengah malam. Mereka memutuskan singgah dan beristirahat di salah satu penginapan untuk memulihkan tenaga agar besok dapat melanjutkan perjalanan lagi. "Kemarilah, Myan," Kouza menepuk sebelah ranjang tempatnya duduk. Mempersilakan Myan agar mengambil tempat di sebelahnya. "Memang sedikit sempit dan mungkin tidak nyaman, kuharap kau tak keberatan untuk beristirahat di sini malam ini." "Aku tak keberatan," jawab Myan sambil tersenyum. Penginapan itu mengingatkannya dengan apartemen pertamanya saat dirinya mulai bekerja dulu. Jika mau dibandingkan, mungkin ranjang yang sekarang ada di hadapannya jauh lebih besar daripada ranjang yang pernah ia punyai dulu. "Besok kit
Kouza dan rombongannya melanjutkan perjalanan saat matahari dirasa cukup hangat untuk mengawali perjalanan mereka. Karena melewati ibu kota, tak lupa mereka membeli bekal tambahan lagi untuk perjalanan yang akan mereka lalui selanjutnya. Setelah melewati ibu kota yang ramai, mereka memasuki wilayah pedesaan. Wilayah itu di dominasi oleh hamparan perkebunan dan tanah pertanian yang luas. Mereka melewati juga ladang-ladang penduduk yang subur. Hingga malam menjemput, mereka akhirnya mulai masuk ke daerah Hutan Kelam. Kouza memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di dalam hutan. Mereka saling duduk mengitari api unggun kecil yang menghangatkan dan memberi penerangan di sekitar mereka. Suara binatang malam dan dinginnya kabut membuat suasana terasa mencekam. Hanya dengan api itulah mereka bisa merasakan kehadiran satu sama lain. "Apa perjalanan kita masih jauh Kouza?" tanya Myan sembari mengamati ke sekelilingnya dengan was-was. I
Myan berpindah ke suatu ruangan besar. Ruangan terang dengan langit-langit yang tinggi. Hampir seluruh perabotan dan warna ruangan itu di dominasi oleh warna putih dan emas. Perpindahan yang mendadak ini membuatnya merasa sedikit mual. Kepalanya terasa berputar. Myan mencengkeram erat karpet bulu tempat di mana dirinya mendarat saat teleportasi tadi. "Selamat datang, Kisha..." Seorang pria merentangkan kedua tangannya dan tersenyum menyambut Myan. Ia berjalan dengan langkah tenang dengan jubah emasnya yang berkilauan. Rambut kebiruan, mata tajamnya, serta suaranya mengingatkan Myan pada sosok seseorang yang pernah masuk ke dalam mimpinya. "Roun..." ucapnya begitu tersadar. Roun, pria itu tersenyum mendengar Myan menyebutkan namanya. "Kau mengingatku rupanya," Roun berlutut di depan Myan, mengulurkan tangannya, meraihnya untuk berdiri. "Apa yang terjadi, mengapa aku di sini? Di mana Kouza?" tanya Myan dengan
Dengan secepat kilat Kouza melesat dan mengayunkan pedangnya ke arah Roun. Tak kalah gesit, Roun seketika meloncat dan menghindari serangan Kouza. Kouza menyentuhkan telapak tangannya ke wajah Myan. Seketika Myan tersentak dan dapat bergerak kembali. Mengikuti instingnya, Myan segera berlindung di balik Kouza. Roun melesat maju. Kali ini ia menyerang Kouza dengan pedang yang telah diraihnya. Kouza melompat dan menahan serangannya. Kouza kembali membalas disertai dengan kekuatan menghempasnya. Hingga pada satu titik, Roun terpelanting tak dapat menghindari serangan Kouza. Perbedaan kekuatannya dengan Kouza masih kalah jauh. "Penjagaa...!!!!" teriak Roun terengah-engah. Para penjaga istana berderap-derap memasuki ruangan. Tampak sesosok pria tua berjubah putih, dan seorang wanita muda yang mencolok mengikuti para penjaga tersebut. Kouza melesat, secepat kilat menghampiri dan menyembunyikan Myan di belakangnya. Ia menangkap sosok Siraz pria tua penyihir kerajaan Coda, dan Amala wani
Roun duduk di singgasananya dengan wajah murka. Amala dan Siraz saling pandang penuh arti. "Kau lihat kekuatan Kouza? Roh Murninya belum sepenuhnya bebas, tetapi kekuatannya sudah melampauiku!" ucapnya penuh amarah. "Yang Mulia, hamba akan menyiapkan mantra yang lebih kuat untuk menambah kekuatan Yang mulia" Siraz menunduk memberi hormat pada rajanya. "Aku hanya butuh Sang Pembebas untuk melepaskan Roh Murniku!" Roun berkeras. Mengingat dengan mudahnya Kouza mengalahkannya, Roun kembali meradang. "Hamba memiliki cara, Yang mulia." Amala maju menghadap Roun. Siraz menatapnya seperti hendak memperingatkannya. Tetapi Amala tidak mempedulikan tatapan Siraz. Sedangkan Roun sendiri tampak tertarik dengan apa yang hendak dikatakan Amala. "Biarkan hamba menjadi media Anda untuk menyalurkan semua Roh Hitam melewati tubuh hamba, agar dapat membangkitkan Roh Murni yang berada di dalam tubuh Yang Mulia sendiri. Dengan kekuatan Roh Hitam, hamba yak
Rombongan berkuda Kouza saling berdiri berjajar dan beriringan, tak jauh dari tempat tujuan mereka. Tempat yang mereka sebut Gua Gil. Dan mereka telah tiba di tempat itu. Myan melepas penutup mukanya. Dari kejauhan ia bisa melihat sekumpulan pemukiman dan orang-orang yang sedang beraktivitas di sana. "Itukah tempat tujuan kita?" tanyanya pada Kouza. "Ya... kita sudah sampai Myan. Ini adalah rumah keduaku." Jawab Kouza dengan bangga. Gua Gil. Tempat tujuan mereka merupakan daerah pemukiman kecil yang dikelilingi oleh hamparan padang rumput hijau yang sejuk. Pemukiman tersebut terletak tepat di bawah perbukitan. Di bawah naungan bukit yang menjulang di atasnya, pemukiman itu tampak begitu tenang dan asri. Kedatangan Kouza dan rombongan di sambut dengan hangat oleh para pemukim. Sebagian besar dari mereka merupakan para pengawal rahasia Kouza, yang berbaur dengan penduduk yang lainnya. Tidak hanya lelaki dewasa, di sana ban