Melihat Kouza menggenggam tangan gadis lain di depan matanya sungguh membuatnya sangat cemburu. Kouza bahkan mengacuhkannya begitu saja saat berjalan melewatinya.
"Ayah, ada yang ingin aku sampaikan," ucap Kouza sambil menggandeng tangan Myan untuk mendekat ke arah Raja Zais, ayahnya.
Myan tampak ragu dan takut-takut berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi dengan orang asing. Ia tadi hampir saja kabur saat Kouza menariknya masuk ke dalam ruangan pertemuan ini. Sayangnya Kouza begitu erat menggenggam tangannya, hingga Myan hanya bisa pasrah mengikutinya.
"KOUZA...!! " Raja Zais meneriakkan namanya untuk memberinya peringatan. Ia tahu benar apa yang hendak dikatakan putranya itu. Wajahnya mulai memerah menahan amarah. Tetapi Kouza tak tampak gentar.
"Ayah, aku akan menikahi Kisha hari ini dan..."
"HENTIKAAN..!!!" hardik Zais.
Ketegangan seketika tercipta begitu Raja Zais berteriak dengan suara menggelegarnya. Semua orang yang berada di dalam ruangan begitu terkejut dengan teriakan murka sang Raja.
Myan refleks meremas tangan Kouza, berharap Kouza akan segera berhenti untuk meneruskan niatnya.
Reaksinya itu justru membuat Kouza semakin menarik Myan yang tampak takut-takut untuk lebih mendekat padanya.
"Ayah, bagaimanapun aku tetap akan menikahi Kisha hari ini," ucap Kouza sembari menatap Myan mencoba untuk menenangkannya.
"Dan Raia, dengan segala hormat, aku harus menolak perjanjian pernikahan yang baru aku ketahui hari ini denganmu." Kouza berpaling menatap Raia yang tengah berdiri membeku.
Raia berbalik menatap Kouza. Dengan wajah tenang dan datarnya ia berjalan mendekati Kouza dan Myan.
"Kau pikir bisa membatalkan perjanjian pernikahan kita semudah itu? Kau tahu betul apa yang akan terjadi diantara kedua kerajaan kita jika perjanjian kita batal bukan?"
Kouza menatap Raia, terlihat jelas bahwa gadis itu sedang menahan emosinya. "Sayangnya, bukan hanya sekali ini saja aku membatalkan perjanjian pernikahan, kau juga tahu itu bukan?" balas Kouza.
Raia hampir saja tak dapat menahan kekesalannya, memang yang dikatakan Kouza benar adanya. Sudah beberapa kali tersiar kabar bahwa dia batal menikah dengan beberapa putri dari kerajaan lain.
"Mungkin karena mereka saja yang tidak mampu untuk menghadapimu. Tapi aku berbeda, aku mengenalmu sejak kita masih kecil. Dan kau tahu benar posisi kerajaanku yang lebih besar dan berkuasa, pastinya akan lebih menguntungkan kerajaanmu saat kita berdua menikah. Kita bisa menjadi raja dan ratu yang paling kuat."
Kouza hanya memandang Raia tajam, memasang wajah dinginnya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Walau demikian aura ketegangan tampak jelas menguat diantara keduanya.
Tak ingin perdebatan berlanjut sengit, Shila menghampiri Kouza dan Raia untuk menjadi penengah mereka.
"Bagaimana jika kita bicarakan ini lebih lanjut di tempat yang lebih tenang. Mari kita adakan pertemuan di ruang perjamuan untuk membahas lebih lanjut, agar Raia juga dapat beristirahat setelah perjalanan panjangnya."
Shila memberi kode kepada kepala pelayan kepercayaannya. Mereka mengiringi Putri Raia segera untuk mengantarnya menuju ke ruang perjamuan diikuti dengan Pangeran Kouga dan Putri Keira.
"Dan Nona Kisha, bisakah kami sedikit berbincang denganmu?" tanya Shila lembut.
"Aku akan ikut dengannya," jawab Kouza cepat.
"Kau membuatnya seolah seperti kita akan memakannya atau semacamnya, tenanglah" jawab Shila tersenyum.
"Baik, Yang Mulia" jawab Myan gugup.
"Kisha tidak berasal dari dunia kita, dia sama sekali tidak mengerti aturan atau keadaan disini." Kouza memberi penjelasan lagi.
"Duduklah," Shila mempersilakan Myan untuk mengambil posisi di salah satu kursi. Kouza mengikuti, mengambil tempat tepat di sebelahnya.
"Kau berasal dari mana?" tanya Raja Zais tiba-tiba.
"Vi..Victoria" jawab Myan gugup karena terkejut.
"Vi..apa?" tanyanya tak mengerti.
"Maaf, Yang Mulia. Saya terbangun di padang rumput yang luas setelah sebelumnya terjatuh dari ketinggian tebing. Pada saat itu, saya sedang dalam acara kebersamaan karyawan kantor tempat saya bekerja, dan__dan setelah itu sa__saya tidak mengerti mengapa bisa berada di sini. Saat itulah Kouza membawaku kemari." Jelasnya.
"Sudah aku bilang, Kisha bukan berasal dari dunia kita. Dia sendiri pun bingung tentang keberadaannya di sini."
"Apa kau yakin dia Kisha?" tanya Zais
"Dia menyelamatkanku dan para pengawalku dengan kekuatannya dari serangan Izaak saat aku membawanya. Ayah tahu bukan ramalan Mera? Panggil ia kemari untuk melihat apakah gadis ini Kisha atau bukan, jika kau masih tidak yakin. Percuma kalian menanyainya. Ia tidak mengerti apapun!"
"Dan kau bersikeras menikahinya?! Bagaimana jika ia seorang penipu?!"
"Yang Mulia Raja Zais!" Kouza meninggikan nada suaranya, "Tidak pantas seorang raja meragukan ramalan suci yang telah tertulis! Dan bisakah sekali saja kau mempercayai perkataan putramu?!" geram Kouza.
"Dan ya! Jika dengan pernikahan ini bisa menyelamatkan nyawaku, aku akan tetap bersikeras melakukannya!"
"Dan tentang perjanjian pernikahan dengan Raia, aku tidak ingat seorang pun pernah menyebutkan tentang hal itu kepadaku. Jangan seenaknya mengatur hidupku hanya karena kau Raja di sini. Jika saja Kouga sudah ayah jadikan raja sejak lama, ayah tidak perlu bersusah payah lagi untuk mempersiapkanku untuk menggantikan posisinya bukan!"
"KAU...!!!" Zais berteriak geram.
"Jika kau menjadikan Kouga raja sejak lama, kau tidak perlu sampai memaksaku untuk tunduk pada kerajaan lain yang lebih berkuasa dari kerajaan kita! Dan menjadikanku budak untuk kepentingan pribadimu semata!" lanjut Kouza berteriak sengit.
"Hentikan kalian!" hardik Shila.
"Mari kita berpikir dengan kepala dingin. Kouza, lagipula kau tidak sedang dalam kondisi menjadi dirimu sendiri, benar bukan? Tolong, kalahkan roh jahat yang sedang menguasaimu sekarang," Shila menatap Kouza penuh arti.
"Oh demi dewa, roh jahat dalam dirimu benar-benar telah membuatku kehilangan kesabaran. Tenangkan dirimu! pergilah ke ruang pengendalian diri!" perintah Zais
"Langkahi mayatku dulu!" Kouza berdiri seolah menantang Zais.
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil atau pelayanmu lagi! Dan aku bersumpah aku akan membunuh siapa saja yang berani membawaku ke sana!!" teriak Kouza. Napasnya terengah-engah akibat luapan emosinya.
"Kouza... hentikan... tenanglah" Myan menarik tangan Kouza dengan khawatir. Ia melihat Kouza sudah sangat dikuasai oleh emosinya. Myan merasa harus menghentikan Kouza.
Kouza menatap Myan, tanpa berpikir panjang menarik tangannya untuk segera pergi dari ruangan itu.
Kouza pergi dari ruangan tersebut tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia bergegas menarik Myan agar dapat segera menjauh. Ia bergegas tanpa menghiraukan teriakan dan panggilan dari orangtuanya lagi. Ia merasa muak, sesak! Berada di tengah-tengah manusia yang menyebut diri mereka orangtua.
Aroka dan beberapa pengawal tetapnya mengikuti Kouza dan Myan dari jarak jauh. Mereka sudah mengerti seberapa jauh mereka harus menjaga jarak.
Kouza membawa Myan ke dalam salah satu taman istana di halaman utama. Taman rindang yang penuh dengan pohon besar dan berbagai macam bunga di sekelilingnya.
"Hebat bukan orangtuaku, mereka selalu mengatur semuanya agar sesuai dengan kepentingan mereka! Dan mereka juga tidak segan menyingkirkan segala hal yang mungkin dapat menghalangi jalan mereka. Untuk itulah aku si Kouza liar hadir di dalam kehidupan si bodoh ini!" gumam Kouza kesal.
Myan menatap Kouza yang tampak sedang terluka. Myan tidak tahu persis apa masalahnya dengan orangtuanya. Saat ini ia merasa begitu bersimpati dengan Kouza.
Ia sendiri bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya telah Kouza lalui hingga dirinya merasa begitu terluka?
"Mengapa kau menolak untuk menikah dengan Raia?" tanya Myan hati-hati.
"Raia hanya akan mengendalikanku. Dan bukannya sudah aku bilang, hanya kaulah yang aku inginkan untuk jadi pendampingku."
"K__kenapa harus aku?"
Kouza menatap Myan lekat-lekat, membimbingnya, dan mendudukkannya pada salah satu bangku taman.
"Untuk pertama kalinya aku dapat kembali tidur dengan nyenyak, saat kau berada bersamaku. Aku tidak mengalami mimpi buruk atau hal semacamnya saat tidur denganmu," akunya.
Dari tatapan matanya, Myan dapat melihat Kouza tampak tulus saat mengatakannya.
"Jadi karena itu kau bersikeras mengurungku di kamarmu?" tanya Myan tak percaya.
"Jika aku mau, aku mungkin sudah mengikatmu di sana, tidak hanya sekadar mengurungmu saja," Kouza sedikit tersenyum saat melihat Myan membelalakkan matanya karena ngeri.
"Mungkin bagimu itu tampak seperti hal remeh, tetapi bagiku dapat tidur dengan nyenyak karena kau di sampingku bukanlah hal kecil. Kau tidak tahu rasanya penderitaanku selama belasan tahun. Ketakutan dan mimpi buruk yang menghantuiku setiap malam sangat membuatku tersiksa, hingga aku kesulitan untuk bernapas."
"Tapi dengan kau ada disisiku, aku tidak merasakan itu semua, Myan. Untuk pertama kalinya lagi dalam hidupku, aku merasa benar-benar damai dan tenang. Mungkin memang benar kau datang untuk menyelamatkanku."
"Tidakkah kau pernah mencoba, mungkin... m... melakukannya dengan wanita lain?" tanya Myan hati-hati.
"Menurutmu?" Kouza balik bertanya
"Aku tidak akan mendapat julukan pangeran penakluk wanita dengan cuma-cuma bukan? Aku sudah mencoba tidur dengan ratusan wanita, semua tidak berhasil. Hari berikutnya mereka lari terbirit-birit ketakutan saat melihat perubahanku di malam hari. Mereka ketakutan melihatku yang menggila. Pantas saja mereka menyebutku roh jahat!" dengus Kouza.
"Jadi k__kau juga menyerang mereka?!" Myan membulatkan matanya tak percaya.
Kouza sedikit terkejut dengan pertanyaan Myan. Sedetik kemudian ia menggeleng dan tertawa terbahak-bahak.
Myan menatapnya heran, "Apa yang lucu? Kau sengaja menggodaku lagi ya? Hei!!" ucapnya kesal.
"Satu-satunya wanita yang pernah aku serang adalah kau, Myan." Kouza meraih kedua tangan Myan. Meremasnya dalam genggaman tangannya. "Dan aku senang saat melakukannya." Kouza kembali tersenyum.
"Nanti aku berjanji akan melakukannya lebih lembut lagi, jika caraku sebelumnya telah menakutimu." Kouza kali ini mengelus lembut pipi Myan. Kali ini juga senyumannya lebih mendalam.
Kouza menatap Myan dengan penuh arti. Myan mau tak mau sedikit memalingkan mukanya untuk menutupi kegugupannya.
"Sekarang kau memanggilku Myan..." gumamnya. "Aku kira kau tak ingat namaku.."
"Aku akan memanggilmu Myan mulai sekarang. Agar sama seperti si bodoh itu." jawab Kouza.
Myan tidak menduga, Kouza liar dapat tersenyum dan tertawa seperti itu. Ia takut dirinya sedikit terlena dengan sikap Kouza liar yang dapat bersikap dan menatapnya lembut seperti sekarang ini. Hatinya sedikit berdebar.
"Bagaimana jika aku tidak dapat membedakan kalian?"
"Percayalah, kau pasti bisa membedakannya," Kouza tersenyum jahil. Entah mengapa Myan lebih suka melihat Kouza yang seperti ini dibanding Kouza yang menyiratkan penderitaan di dalam matanya tadi.
"Sekarang, ikutlah denganku. Ada yang harus kita lakukan."
Lagi-lagi Kouza menarik Myan. Menggandengnya dan membimbingnya untuk mengikutinya.
"Kemana lagi? Hari ini berapa kali saja kau sudah menarikku kesana kemari!" protes Myan.
"Kita akan menemui Mera."
"Peramal kerajaanmu?"
"Ya, peramal sekaligus penyihir kerajaanku."
Myan sedikit terkesiap. Ia sedikit berlari untuk mengikuti langkah Kouza yang semakin lebar. "Apa dia akan mengetesku? Memeriksaku?" tanyanya penuh kekhawatiran.
Kouza tersenyum simpul. "Lebih dari itu, ia akan memberikan kita ikatan. Dan ia tak perlu memeriksamu, karena ia pasti sudah tahu keberadaanmu."
"Lalu untuk apa kau terburu-buru mengajakku ke sana?"
"Aku akan memintanya untuk menikahkan kita secepatnya."
"Ap__apa?!" Myan tercekat. Langkahnya terhenti seketika.
*****
Segerombolan pria berjubah hitam saling melesat berlarian melalui pohon-pohon lebat yang berada di dalam hutan. Mereka berlari secepat kilat dengan gesit seolah sedang berlomba-lomba untuk mendekati perbatasan Kerajaan Tarcha.Dengan lihai mereka bersembunyi di antara pepohonan. Mereka mengamati benteng penjagaan perbatasan yang sedang dijaga oleh para prajurit perbatasan di beberapa pos penjagaan.Dalam pekatnya malam, nampaknya para penjaga benteng tidak menyadari keberadaan sekelompok mata-mata yang saling berpencar itu.Salah seorang yang tampak seperti pemimpin gerombolan mengisyaratkan untuk melakukan pergerakan dengan perlahan-lahan mendekati benteng penjagaan.Beberapa prajurit penjaga yang sedang berpatroli seketika terjaga waspada saat sayup-sayup terdengar gesekan kaki-kaki yang berlari melesat menerobos rumput ilalang tinggi, dan semakin mendekat ke arah mereka. Mereka belum sempat menarik pedang ketika kilatan-kilatan cahaya tiba-tiba menyerang dan mengoyak tubuh mereka se
Sinar hangat yang menembus melalui jendela kamar, tepat menyinari wajah polos Myan yang masih terlelap. Myan sedikit terusik dengan terik hangat yang dirasa terlalu menyilaukan. Matanya masih terpejam walau kesadarannya sudah mulai pulih. Kelopak matanya terasa masih terlalu berat untuk dibuka. Myan mencari-cari perlindungan dari serangan sinar matahari pagi. Tubuhnya menggeliat, kepalanya bergerak-gerak untuk menghindari sorotan pada wajahnya. Ia terus mendesak, hingga akhirnya menemukan sandaran yang nyaman. Bagaikan anak kucing, Myan kembali meringkuk dan menempatkan posisi tidurnya dengan nyaman dalam dekapan bidang kokoh yang sangat hangat dan terasa padat itu. Tangannya meraba-raba bidang nyaman yang menyelubunginya itu, berusaha untuk menariknya lebih dekat. "Jangan memancingku, ini sudah pagi," Suara maskulin yang sedikit parau terdengar jelas di telinganya. Walau matanya masih terpejam, Myan dapat merasakan belaian lembut pada kepalanya. Tung
Gerombolan pria berjubah hitam terlihat mengendap-endap di samping tembok pembatas istana Kouza yang terletak paling ujung. Malam yang pekat menyamarkan kehadiran mereka. Para penjaga dan pengawal yang bersiaga di depan pintu kamar Kouza mendadak ambruk satu persatu tanpa suara. Mereka diserang dengan belati kecil yang dilempar dari jarak jauh, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Para gerombolan misterius itu telah sampai pada tempat tujuan mereka, yaitu kamar Pangeran Kouza. Sang pemimpin perlahan-lahan mulai membuka pintu kamar Kouza dengan hati-hati. Tanpa mereka ketahui, Kouza telah menunggu mereka di dalam. Kouza sebelumnya telah bersiap dengan pedangnya saat instingnya menangkap sekelebatan bayangan dan suara kecil dari luar kamarnya semenit yang lalu. Ia telah bersiaga menunggu kedatangan para tamu tak diundang tersebut. "Myan, apapun yang terjadi jangan keluar dari tem
Ibu kota Kerajaan Tarcha. Sangat besar, ramai, dan dipenuhi orang-orang yang masih beraktivitas di malam hari. Terlihat dari beberapa kedai menyerupai tempat makan yang masih menyediakan dan menjual makanan pada malam hari. Rombongan Kouza sampai di ibu kota hampir menjelang tengah malam. Mereka memutuskan singgah dan beristirahat di salah satu penginapan untuk memulihkan tenaga agar besok dapat melanjutkan perjalanan lagi. "Kemarilah, Myan," Kouza menepuk sebelah ranjang tempatnya duduk. Mempersilakan Myan agar mengambil tempat di sebelahnya. "Memang sedikit sempit dan mungkin tidak nyaman, kuharap kau tak keberatan untuk beristirahat di sini malam ini." "Aku tak keberatan," jawab Myan sambil tersenyum. Penginapan itu mengingatkannya dengan apartemen pertamanya saat dirinya mulai bekerja dulu. Jika mau dibandingkan, mungkin ranjang yang sekarang ada di hadapannya jauh lebih besar daripada ranjang yang pernah ia punyai dulu. "Besok kit
Kouza dan rombongannya melanjutkan perjalanan saat matahari dirasa cukup hangat untuk mengawali perjalanan mereka. Karena melewati ibu kota, tak lupa mereka membeli bekal tambahan lagi untuk perjalanan yang akan mereka lalui selanjutnya. Setelah melewati ibu kota yang ramai, mereka memasuki wilayah pedesaan. Wilayah itu di dominasi oleh hamparan perkebunan dan tanah pertanian yang luas. Mereka melewati juga ladang-ladang penduduk yang subur. Hingga malam menjemput, mereka akhirnya mulai masuk ke daerah Hutan Kelam. Kouza memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di dalam hutan. Mereka saling duduk mengitari api unggun kecil yang menghangatkan dan memberi penerangan di sekitar mereka. Suara binatang malam dan dinginnya kabut membuat suasana terasa mencekam. Hanya dengan api itulah mereka bisa merasakan kehadiran satu sama lain. "Apa perjalanan kita masih jauh Kouza?" tanya Myan sembari mengamati ke sekelilingnya dengan was-was. I
Myan berpindah ke suatu ruangan besar. Ruangan terang dengan langit-langit yang tinggi. Hampir seluruh perabotan dan warna ruangan itu di dominasi oleh warna putih dan emas. Perpindahan yang mendadak ini membuatnya merasa sedikit mual. Kepalanya terasa berputar. Myan mencengkeram erat karpet bulu tempat di mana dirinya mendarat saat teleportasi tadi. "Selamat datang, Kisha..." Seorang pria merentangkan kedua tangannya dan tersenyum menyambut Myan. Ia berjalan dengan langkah tenang dengan jubah emasnya yang berkilauan. Rambut kebiruan, mata tajamnya, serta suaranya mengingatkan Myan pada sosok seseorang yang pernah masuk ke dalam mimpinya. "Roun..." ucapnya begitu tersadar. Roun, pria itu tersenyum mendengar Myan menyebutkan namanya. "Kau mengingatku rupanya," Roun berlutut di depan Myan, mengulurkan tangannya, meraihnya untuk berdiri. "Apa yang terjadi, mengapa aku di sini? Di mana Kouza?" tanya Myan dengan
Dengan secepat kilat Kouza melesat dan mengayunkan pedangnya ke arah Roun. Tak kalah gesit, Roun seketika meloncat dan menghindari serangan Kouza. Kouza menyentuhkan telapak tangannya ke wajah Myan. Seketika Myan tersentak dan dapat bergerak kembali. Mengikuti instingnya, Myan segera berlindung di balik Kouza. Roun melesat maju. Kali ini ia menyerang Kouza dengan pedang yang telah diraihnya. Kouza melompat dan menahan serangannya. Kouza kembali membalas disertai dengan kekuatan menghempasnya. Hingga pada satu titik, Roun terpelanting tak dapat menghindari serangan Kouza. Perbedaan kekuatannya dengan Kouza masih kalah jauh. "Penjagaa...!!!!" teriak Roun terengah-engah. Para penjaga istana berderap-derap memasuki ruangan. Tampak sesosok pria tua berjubah putih, dan seorang wanita muda yang mencolok mengikuti para penjaga tersebut. Kouza melesat, secepat kilat menghampiri dan menyembunyikan Myan di belakangnya. Ia menangkap sosok Siraz pria tua penyihir kerajaan Coda, dan Amala wani
Roun duduk di singgasananya dengan wajah murka. Amala dan Siraz saling pandang penuh arti. "Kau lihat kekuatan Kouza? Roh Murninya belum sepenuhnya bebas, tetapi kekuatannya sudah melampauiku!" ucapnya penuh amarah. "Yang Mulia, hamba akan menyiapkan mantra yang lebih kuat untuk menambah kekuatan Yang mulia" Siraz menunduk memberi hormat pada rajanya. "Aku hanya butuh Sang Pembebas untuk melepaskan Roh Murniku!" Roun berkeras. Mengingat dengan mudahnya Kouza mengalahkannya, Roun kembali meradang. "Hamba memiliki cara, Yang mulia." Amala maju menghadap Roun. Siraz menatapnya seperti hendak memperingatkannya. Tetapi Amala tidak mempedulikan tatapan Siraz. Sedangkan Roun sendiri tampak tertarik dengan apa yang hendak dikatakan Amala. "Biarkan hamba menjadi media Anda untuk menyalurkan semua Roh Hitam melewati tubuh hamba, agar dapat membangkitkan Roh Murni yang berada di dalam tubuh Yang Mulia sendiri. Dengan kekuatan Roh Hitam, hamba yak