Aroka berjalan cepat menuju istana utama dengan diiringi beberapa pengawal kepercayaannya. Ia hendak menyampaikan pesan langsung kepada baginda raja dan ratu. Dilihatnya wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan utama sang Ratu, sedang berjaga di depan ruang singgasana.
"Madia, Pangeran memberi titah yang ingin beliau sampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu," lapornya.
Saat itu, Madia wanita kepercayaan sang Ratu sedang berjaga dengan beberapa pelayan yang menemaninya.
Madia mengangguk. Kepala pengawal kepercayaan Kouza masuk ke dalam ruang singgasana kerajaan. Dengan penuh khidmat dan hormat, Aroka membungkuk sebelum menyampaikan pesan dari sang Pangeran.
"Hormat Baginda, hamba membawakan pesan dari Pangeran untuk disampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu"
"Sampaikanlah," jawab Baginda Raja.
"Pangeran mengatakan bahwa hari ini beliau ingin mengadakan pernikahan dengan Kisha, Sang Pembebas."
Raja Zais dan Ratu Shila tampak terkejut dengan pesan yang disampaikan Aroka.
"Kisha?" tanya Raja Zais
"Benar yang mulia, kemarin pangeran menemukan Kisha"
Raja Zais memukul tepi kursi singgasana dengan geram.
"Bagaimana bisa kabar itu tidak kau sampaikan kepadaku?!" teriak Raja Zais. "Dan sekarang pangeran ingin mengajukan pernikahan?!" serunya tak percaya.
"Maaf yang mulia, pangeran memiliki alasannya sendiri untuk tidak langsung menyampaikan kabar tersebut. Nona Kisha tidak dalam kondisi yang baik kemarin setelah kedatangannya."
"Kisha sudah muncul? Benarkah? Lalu bagaimana dengan Putri Raia ayah? Bukankah utusan Kerajaan Seas beberapa hari yang lalu sudah memberi kabar bahwa mereka menyetujui pernikahan Kouza dengan putri mereka untuk memperkuat kerjaan kita?" protes Pangeran Kouga, sang putra sulung.
"Jika memang ia adalah Kisha, Kouza memang bisa langsung untuk segera menikahinya bukan? Karena memang itu takdirnya. Tapi kita lihat saja dahulu wanita seperti apa Kisha itu. Bukankah Mera bisa menilainya? Jika memang benar, Kisha bisa menjadi selir Kouza."
Seorang wanita cantik berambut panjang memasuki ruang singgasana dengan anggun dan ikut bergabung. Ia menimpali ucapan ayahnya. Ia adalah Putri Keira, anak kedua Raja Zais.
"Ayah, jika memang itu keinginan Kouza untuk segera mengadakan pernikahan, bukankah kita harus memeriksa wanita yang akan menjadi pasangannya? Apa memang benar dia adalah Kisha yang selama ini ditunggu-tunggu?"
"Ayah tidak boleh terburu-buru menyetujui permintaan Kouza. Ayah bisa mengutus pelayan agar wanita tersebut menghadap kita dahulu. Kita sudah mengikat janji dengan Kerajaan Seas, jika kita membatalkan pernikahan Kouza dengan Putri Raia, akan terjadi peperangan yang tidak dapat kita hindari!" timpal Pangeran Kouga melanjutkan ucapannya.
"Kouza bahkan belum mengetahui ayah telah mengikat janji dengan Kerajaan Seas. Menurut ayah apa Kouza akan menerima begitu saja perjanjian pernikahannya dengan Putri Raia?" Keira mengambil tempat duduk di sebelah Kouga.
Raja Zais menghembuskan napas perlahan. Tampak berpikir. Zais mengerutkan keningnya, berusaha mencari jalan keluar.
"Rajaku, biarkan aku menemui Kouza untuk mengetahui apa yang ia inginkan, dan menyampaikan secara perlahan tentang perjanjian pernikahannya dengan Putri Raia" tawar Shila dengan tenang.
Zais tampak mempertimbangkan ucapan istrinya tersebut.
"Baiklah Ratuku. Berhati-hatilah agar tidak membuatnya murka. Kita tidak ingin berurusan dengan roh kejam yang ada di dalam dirinya." Zais mengangguk.
"Dan pertegaskan agar Kouza menerima perjanjian pernikahan dengan Kerajaan Seas. Bagaimana pun dengan mempertimbangkan Raia adalah teman masa kecil Kouza, tidak mungkin ia akan menolaknya bukan?"
"Baiklah..." Ratu Shila hendak beranjak dari kursi singgasananya sampai Madia, kepala pelayan ratu tergopoh-gopoh datang menghadap.
"Hormat Baginda Raja dan Ratu," Madia memberi salam dengan hormat.
"Ada apa Madia?" tanya Ratu.
"Putri Raia dari Kerajaan Seas telah tiba di istana" lapornya.
"Apaaa....?!" seru mereka serempak. Laporan Madia mengagetkan semua yang berada di dalam ruang singgasana.
"Bagaimana ini, Ayah?" Keira seketika panik.
"Tenanglah," balas Zais.
"Aroka, sampaikan pesan agar Kouza menyambut Putri Raia. Untuk masalah pernikahan dengan Kisha, aku akan pertimbangkan lagi."
"Baik, Yang Mulia..." Aroka undur diri dan bergegas menyampaikan pesan Raja Zais.
"Kita harus menyambut Putri Raia, Ratuku." ucap Zais kepada Shila.
****
Sementara itu, arak-arakan rombongan pengawal dan pelayan yang telah tiba di halaman istana Tarcha telah berjajar rapi.Tepat di tengah-tengahnya sebuah kereta kuda yang tampak mewah dan paling besar, turun sesosok perempuan bertubuh kecil dan berwajah anggun dengan jubah emasnya yang menjuntai.
"Selamat datang Tuan Putri Raia, kami akan mengantar Anda ke hadapan Baginda Raja dan Ratu." Seorang kepala pelayan istana membungkuk dan menyambut kedatangan Putri Raia.
Raia tersenyum bahagia, setelah beberapa hari perjalanannya, akhirnya ia sampai juga di kediaman Kouza. Kerajaan Tarcha. Tempat di mana dia akan menjadi ratu di masa mendatang dan berdampingan dengan Kouza.
Dengan langkah anggun dan pasti, Raia berjalan memasuki istana.
******
Kouza mondar-mandir dengan gusar di dalam kamarnya. Mengapa ayah tidak mengabulkan permintaannya? dan sejak kapan ia harus memenuhi perjanjian pernikahan dengan Raia? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Lihat saja ayah, apa kau bisa memaksaku nanti. Geramnya dalam hati.
"Apa Kisha sudah siap?"
"Belum, Pangeran, Nona Kisha masih mempersiapkan diri"
"Terlalu lama." Kouza dengan tidak sabar bergegas keluar kamarnya, hendak menuju ke ruang ganti.
"Pangeran, tunggu...! Bukankah Anda harus menyambut kedatangan Puteri Raia?"
"Aku tidak harus menyambutnya, sudah ada cukup banyak orang yang bisa menyambutnya di istana ini"
"Bagaimana jika Yang Mulia murka?"
"Maka pak tua itu akan lebih merasakan kemurkaanku."
Kouza membuka pintu ruang ganti dengan kencang. Dilihatnya Myan sedang berdiri dengan dikelilingi beberapa pelayan yang sedang membantunya mengenakan jubahnya. Jubah putih berhiaskan emas yang senada dengan pakaiannya. Pakaian untuk pernikahan khas kerajaannya.
"Apa masih lama?" tanyanya.
"Sebentar lagi, Pangeran" seorang pelayan menjawab yang sebelumnya membungkuk dan memberi hormat padanya.
Keterkejutan Myan berubah menjadi kekesalan ketika melihat Kouza menerobos ruang ganti begitu saja. "Apa kau tidak tahu seorang wanita membutuhkan waktu lebih lama untuk berhias dan mempersiapkan dirinya?" ucapnya kesal.
"Itu sudah cukup." Kouza menarik tangan Myan.
"Tidak perlu terburu-buru!" protesnya.
Kouza menoleh, mengamati Myan dengan seksama dan meraih dagunya, "Aku sudah melihat wajah polosmu, dan cukup melihat yang lainnya. Menurutku ini sudah sempurna," ucapnya sambil tersenyum menggoda.
Myan mengerjap, wajahnya kembali bersemu merah. Dengan gugup ia melihat ke sekitarnya. "Ap__apa maksudmu... tidak usah bicara yang tidak masuk akal." Ia tahu Kouza sedang menggodanya. Ia hanya tidak ingin para pelayan di sekitarnya menyalahartikan maksudnya.
"Kita harus bergegas," ucap Kouza sambil tersenyum. Ia menarik tangan Myan untuk segera keluar dari ruangan tersebut.
Myan tidak mengerti mengapa Kouza begitu tergesa-gesa. Ia berjalan sejajar dengan Kouza yang tak sedikit pun melepaskan genggaman tangannya. Myan terpaksa berlari kecil dan berusaha menyejajarkan langkah kakinya untuk mengikuti Kouza.
"Kita akan kemana?" tanya Myan.
"Menemui orangtuaku"
"Orangtua? Ma__maksudmu Raja dan Ratu?" Jelas terpancar kepanikan di wajah Myan.
Kouza mengamati perubahan wajah Myan. Ia tahu gadis itu pasti sedang terkejut dan panik. Walau begitu, raut wajahnya yang sedang gugup tidak menghilangkan kecantikannya.
Dalam hati Kouza sangat mengagumi penampilan Myan saat ini. Jika situasinya tidak mendesak, mungkin ia sudah menarik gadis itu ke dalam kamarnya dan sudah membuat acak-acakan rambutnya yang sudah tertata rapi itu.
"Jangan khawatir, mereka tidak akan menggigitmu. Kau tahu betul kan siapa di sini yang suka menggigitmu," lagi-lagi Kouza tersenyum menggoda Myan.
Myan membelalak. Refleks menatap Kouza dengan wajahnya yang bersemu merah begitu tahu maksud Kouza.
"Sekarang bukan waktunya untuk bercanda!" ucapnya sedikit kesal sambil memukul ringan lengan Kouza.
Kouza tersenyum puas. Sungguh mudah membuat gadis itu bersemu. Entah mengapa, ia sangat suka melihat perubahan ekspresi Myan yang gugup dan malu saat dirinya menggodanya.
"Kita sudah sampai"
Kouza berdiri di ambang pintu yang besar. Menatap pintu tersebut dengan penuh keyakinan.
Beberapa pengawal yang mengikutinya bergegas hendak membuka pintu. Kouza mengangkat tangannya, tanda agar mereka berhenti.
Samar-samar terdengar dari dalam ruangan suara ayahnya yang sedang bercakap-cakap.
"Putri Raia... akan aku pastikan segera waktu pernikahan untuk kalian, dan aku akan segera mengirim utusanku untuk menyampaikan pesan kepada Raja Izka"
"Tidak perlu terburu-buru ayah," suara berat tiba-tiba muncul dan memotong percakapan Zais. Dalam keterkejutannya, Zais melihat Kouza menerobos masuk saat pintu ruangan terbuka.
Ia sudah berdiri dengan gagah di ambang pintu masuk.
Raia ikut menoleh mencari sumber suara. Dan saat melihat Kouza berdiri di sana, wajahnya begitu berbinar-binar mengetahui kedatangan Kouza. Seakan tak dapat menahan kegembiraannya melihat Kouza yang sangat gagah dan tampan berdiri di depan matanya, tanpa sadar serta-merta Raia berhambur untuk menyambut kedatangan Kouza.
"Kou... za...." langkahnya terhenti seketika ketika dirinya semakin dekat, dan saat tiba-tiba dilihatnya ada sesosok wanita berdiri di belakang Kouza sedang menunduk.
Tenggorokannya seketika tercekat saat melihat Kouza menggenggam tangan wanita itu dari balik jubahnya, dan pakaian yang mereka kenakan....
*******Raia seketika membeku. Tidak dapat melangkahkan kakinya lagi untuk mendekat ke arah Kouza. Sebelumnya jika bisa, begitu inginnya ia berhambur ke dalam pelukan Kouza, pangeran tampan dan sekaligus teman masa kecilnya itu yang sudah mencuri hatinya sejak usia mereka masih sama-sama 10 tahun. Raia mengepalkan kedua tangannya untuk menahan nyeri yang dirasakan di dalam dadanya. Melihat Kouza menggenggam tangan gadis lain di depan matanya sungguh membuatnya sangat cemburu. Kouza bahkan mengacuhkannya begitu saja saat berjalan melewatinya. "Ayah, ada yang ingin aku sampaikan," ucap Kouza sambil menggandeng tangan Myan untuk mendekat ke arah Raja Zais, ayahnya. Myan tampak ragu dan takut-takut berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi dengan orang asing. Ia tadi hampir saja kabur saat Kouza menariknya masuk ke dalam ruangan pertemuan ini. Sayangnya Kouza begitu erat menggenggam tangannya, hingga Myan hanya bisa pasrah mengikutinya. "KOUZA...!! " Raja
Segerombolan pria berjubah hitam saling melesat berlarian melalui pohon-pohon lebat yang berada di dalam hutan. Mereka berlari secepat kilat dengan gesit seolah sedang berlomba-lomba untuk mendekati perbatasan Kerajaan Tarcha.Dengan lihai mereka bersembunyi di antara pepohonan. Mereka mengamati benteng penjagaan perbatasan yang sedang dijaga oleh para prajurit perbatasan di beberapa pos penjagaan.Dalam pekatnya malam, nampaknya para penjaga benteng tidak menyadari keberadaan sekelompok mata-mata yang saling berpencar itu.Salah seorang yang tampak seperti pemimpin gerombolan mengisyaratkan untuk melakukan pergerakan dengan perlahan-lahan mendekati benteng penjagaan.Beberapa prajurit penjaga yang sedang berpatroli seketika terjaga waspada saat sayup-sayup terdengar gesekan kaki-kaki yang berlari melesat menerobos rumput ilalang tinggi, dan semakin mendekat ke arah mereka. Mereka belum sempat menarik pedang ketika kilatan-kilatan cahaya tiba-tiba menyerang dan mengoyak tubuh mereka se
Sinar hangat yang menembus melalui jendela kamar, tepat menyinari wajah polos Myan yang masih terlelap. Myan sedikit terusik dengan terik hangat yang dirasa terlalu menyilaukan. Matanya masih terpejam walau kesadarannya sudah mulai pulih. Kelopak matanya terasa masih terlalu berat untuk dibuka. Myan mencari-cari perlindungan dari serangan sinar matahari pagi. Tubuhnya menggeliat, kepalanya bergerak-gerak untuk menghindari sorotan pada wajahnya. Ia terus mendesak, hingga akhirnya menemukan sandaran yang nyaman. Bagaikan anak kucing, Myan kembali meringkuk dan menempatkan posisi tidurnya dengan nyaman dalam dekapan bidang kokoh yang sangat hangat dan terasa padat itu. Tangannya meraba-raba bidang nyaman yang menyelubunginya itu, berusaha untuk menariknya lebih dekat. "Jangan memancingku, ini sudah pagi," Suara maskulin yang sedikit parau terdengar jelas di telinganya. Walau matanya masih terpejam, Myan dapat merasakan belaian lembut pada kepalanya. Tung
Gerombolan pria berjubah hitam terlihat mengendap-endap di samping tembok pembatas istana Kouza yang terletak paling ujung. Malam yang pekat menyamarkan kehadiran mereka. Para penjaga dan pengawal yang bersiaga di depan pintu kamar Kouza mendadak ambruk satu persatu tanpa suara. Mereka diserang dengan belati kecil yang dilempar dari jarak jauh, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Para gerombolan misterius itu telah sampai pada tempat tujuan mereka, yaitu kamar Pangeran Kouza. Sang pemimpin perlahan-lahan mulai membuka pintu kamar Kouza dengan hati-hati. Tanpa mereka ketahui, Kouza telah menunggu mereka di dalam. Kouza sebelumnya telah bersiap dengan pedangnya saat instingnya menangkap sekelebatan bayangan dan suara kecil dari luar kamarnya semenit yang lalu. Ia telah bersiaga menunggu kedatangan para tamu tak diundang tersebut. "Myan, apapun yang terjadi jangan keluar dari tem
Ibu kota Kerajaan Tarcha. Sangat besar, ramai, dan dipenuhi orang-orang yang masih beraktivitas di malam hari. Terlihat dari beberapa kedai menyerupai tempat makan yang masih menyediakan dan menjual makanan pada malam hari. Rombongan Kouza sampai di ibu kota hampir menjelang tengah malam. Mereka memutuskan singgah dan beristirahat di salah satu penginapan untuk memulihkan tenaga agar besok dapat melanjutkan perjalanan lagi. "Kemarilah, Myan," Kouza menepuk sebelah ranjang tempatnya duduk. Mempersilakan Myan agar mengambil tempat di sebelahnya. "Memang sedikit sempit dan mungkin tidak nyaman, kuharap kau tak keberatan untuk beristirahat di sini malam ini." "Aku tak keberatan," jawab Myan sambil tersenyum. Penginapan itu mengingatkannya dengan apartemen pertamanya saat dirinya mulai bekerja dulu. Jika mau dibandingkan, mungkin ranjang yang sekarang ada di hadapannya jauh lebih besar daripada ranjang yang pernah ia punyai dulu. "Besok kit
Kouza dan rombongannya melanjutkan perjalanan saat matahari dirasa cukup hangat untuk mengawali perjalanan mereka. Karena melewati ibu kota, tak lupa mereka membeli bekal tambahan lagi untuk perjalanan yang akan mereka lalui selanjutnya. Setelah melewati ibu kota yang ramai, mereka memasuki wilayah pedesaan. Wilayah itu di dominasi oleh hamparan perkebunan dan tanah pertanian yang luas. Mereka melewati juga ladang-ladang penduduk yang subur. Hingga malam menjemput, mereka akhirnya mulai masuk ke daerah Hutan Kelam. Kouza memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di dalam hutan. Mereka saling duduk mengitari api unggun kecil yang menghangatkan dan memberi penerangan di sekitar mereka. Suara binatang malam dan dinginnya kabut membuat suasana terasa mencekam. Hanya dengan api itulah mereka bisa merasakan kehadiran satu sama lain. "Apa perjalanan kita masih jauh Kouza?" tanya Myan sembari mengamati ke sekelilingnya dengan was-was. I
Myan berpindah ke suatu ruangan besar. Ruangan terang dengan langit-langit yang tinggi. Hampir seluruh perabotan dan warna ruangan itu di dominasi oleh warna putih dan emas. Perpindahan yang mendadak ini membuatnya merasa sedikit mual. Kepalanya terasa berputar. Myan mencengkeram erat karpet bulu tempat di mana dirinya mendarat saat teleportasi tadi. "Selamat datang, Kisha..." Seorang pria merentangkan kedua tangannya dan tersenyum menyambut Myan. Ia berjalan dengan langkah tenang dengan jubah emasnya yang berkilauan. Rambut kebiruan, mata tajamnya, serta suaranya mengingatkan Myan pada sosok seseorang yang pernah masuk ke dalam mimpinya. "Roun..." ucapnya begitu tersadar. Roun, pria itu tersenyum mendengar Myan menyebutkan namanya. "Kau mengingatku rupanya," Roun berlutut di depan Myan, mengulurkan tangannya, meraihnya untuk berdiri. "Apa yang terjadi, mengapa aku di sini? Di mana Kouza?" tanya Myan dengan
Dengan secepat kilat Kouza melesat dan mengayunkan pedangnya ke arah Roun. Tak kalah gesit, Roun seketika meloncat dan menghindari serangan Kouza. Kouza menyentuhkan telapak tangannya ke wajah Myan. Seketika Myan tersentak dan dapat bergerak kembali. Mengikuti instingnya, Myan segera berlindung di balik Kouza. Roun melesat maju. Kali ini ia menyerang Kouza dengan pedang yang telah diraihnya. Kouza melompat dan menahan serangannya. Kouza kembali membalas disertai dengan kekuatan menghempasnya. Hingga pada satu titik, Roun terpelanting tak dapat menghindari serangan Kouza. Perbedaan kekuatannya dengan Kouza masih kalah jauh. "Penjagaa...!!!!" teriak Roun terengah-engah. Para penjaga istana berderap-derap memasuki ruangan. Tampak sesosok pria tua berjubah putih, dan seorang wanita muda yang mencolok mengikuti para penjaga tersebut. Kouza melesat, secepat kilat menghampiri dan menyembunyikan Myan di belakangnya. Ia menangkap sosok Siraz pria tua penyihir kerajaan Coda, dan Amala wani
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge