Pelupuk mata Myan dipenuhi dengan air mata yang menggenang. Wajahnya terasa panas. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Antara kesal, marah, malu, dan shock membuat darahnya seolah mendidih.
"Apa kau baru saja menyerang seorang pangeran?!" geram Kouza menatap tajam Myan.
Myan terbelalak mendengar tuduhan Kouza. Perlahan ia berdiri dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Mengusap air matanya yang menetes dan dengan mata yang berapi-api mendekati Kouza. Mencengkeram baju Kouza dengan tangan satunya. Mendekatkan wajahnya pada Kouza,
"MENYERANGMU?! Hah apa?! Kau bilang aku menyerangmu?! Apa kau sudah tak waras?! Dasar pangeran bajing*n!!! Kau yang menyerangku saat aku tidur! Kau pria berengs*k!! Pangeran apanya?! Kau hanya pangeran mesum!! Cabul!! Apa kau tahu aku sudah terlalu frustasi karena masuk ke dalam duniamu! Sekarang kau memperlakukanku seperti ini?!! Kau mau memperkos*ku??!!! Kenapa??! Apa karena kau seorang pangeran kau berhak melakukan itu padaku?! HAAAHHH???!!!" teriak Myan histeris.
Seketika amarahnya yang meledak ia luapkan dengan berapi-api. Napasnya naik turun dan terengah-engah. Mukanya masih memerah karena sisa-sisa luapan emosinya.
Kouza yang begitu terkejut tampak tertegun dan shock mendengar teriakan Myan. Apa ia baru saja dimarahi? Apa gadis itu benar mencengkeram kerah bajunya dan berteriak di depan mukanya? Mengumpatnya dengan bahasa-bahasa kasar yang belum pernah ia dengar sebelumnya seumur hidupnya?!! Saking tak percaya dengan apa yamg baru saja dialaminya, Kouza hanya bisa mengerjapkan matanya.
"Kemasukan roh apa?! Hah, omong kosong! Kau itu memiliki kepribadian ganda bukan? Kau bahkan ingat semua yang kau lakukan dengan kepribadian yang ini. Kouza liar." Lanjut Myan sinis, seolah menantang Kouza.
Myan menatap Kouza tajam, sebelum akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya. Ia menghembuskan napasnya untuk meredakan kekesalannya.
"K_Kouza liar?" tanya Kouza tak mengerti.
"Ya! Kau! Kau Kouza liar. Kau yang memanggilku Kisha adalah Kouza versi liar yang selalu berbuat mesum dan menyerangku!"
"Sedang Kouza yang satunya adalah Kouza lembut yang memperlakukanku lebih baik. Sifat kalian sangat bertolak belakang. Jadi, yang mana diantara kalian yang diciptakan Kouza yang asli?!" tanyanya kesal.
Myan tak ingin mengalah. Ia jelas memiliki bukti yang tak dapat dibantah. Kerasukan apa? Omong kosong! Kouza hanya memiliki kepribadian dengan versi buruk. Itu saja. Apa dia akan menyangkalnya? Myan bertanya-tanya dalam hati.
Kouza berdehem, menata sedikit bajunya yang berantakan. Ia merasa takjub dengan gadis ini yang bisa dengan mudah mengetahui rahasianya. Apa karena dirinya dari dunia yang berbeda dengannya, jadi pemikirannya pun berbeda? Kouza menimbang-nimbang hal itu.
"Kau benar. Seperti yang kau bilang, aku Kouza liar yang diciptakannya. Aku muncul untuk melindungi dirinya yang lemah. Saat aku keluar, ia tertidur di dalam sini." Kouza mengetuk perlahan kepalanya sendiri.
"Ia memang tak pernah mengingat apapun yang sudah kulakukan. Lagipula apa yang bisa dilakukan si lemah itu"
"Lalu, kenapa kau melakukan itu padaku?!" tanya Myan.
"Melakukan apa?!"
"Menyerangku dan mencoba memperkosaku dam***!!!" geram Myan kesal.
"Kau itu wanitaku, aku bisa melakukan apapun yang aku mau padamu. Seorang pangeran sepertiku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan?!"
Myan tak percaya apa yang baru saja didengarnya, "Wah... dengar ya Kouza, aku di sini karena kau yang membutuhkanku. Kau seharusnya lebih menghormatiku. Karena hanya aku yang bisa menolongmu bukan? Jadi kau harus menuruti semua perkataanku," tegas Myan.
Kouza tersenyum simpul. Ia bangkit dari duduknya dan menarik Myan dengan cepat. Myan terpekik saat Kouza menjatuhkannya di atas ranjang besar itu. Kouza mencengkeram kedua tangannya dan menindihnya untuk mengunci tubuhnya. Myan meronta dengan sia-sia karena Kouza jauh lebih kuat darinya. Tubuh mungilnya tidak seimbang melawan kekuatan Kouza.
Dengan suara beratnya Kouza memperingati Myan seolah hendak menghipnotisnya.
"Entahlah, kita lihat saja, kau atau aku yang sangat membutuhkan bantuan di sini. Usaha yang bagus sudah berani mengancamku seperti tadi. Seperti yang kau tahu Nona, aku bukanlah pangeran yang dikutuk oleh seorang roh. Dan kau sekarang hanyalah seorang gadis kecil lemah yang sangat putus asa, yang ingin segera kembali ke duniamu sendiri bukan?" kali ini seulas senyum licik menghiasi wajah Kouza.
"Jadi, menurutmu____aku___atau kau___ yang paling membutuhkan bantuan di sini? Hmm?" tanyanya. Myan mengerjap karena terpojok.
Dimata Kouza sekarang ia bagaikan seekor kelinci kecil yang sedang meringkuk ketakutan karena terperangkap oleh serigala buas yang hendak memangsanya.
"Dan menurutmu sekarang, siapa yang harus menuruti perkataan siapa?" tanya Kouza sambil tersenyum penuh kemenangan melihat Myan terpojok sambil menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai berlinang air mata lagi.
"Siapa tahu, dengan kau menurutiku___kau bisa kembali ke duniamu___sendiri" bujuk Kouza lambat-lambat.
Ia mulai mengecup air mata Myan yang menetes hingga ke lehernya. Myan memalingkan wajahnya menghindari tatapan Kouza.
Benar, semua yg dikatakan Kouza liar memang benar. Sekarang satu-satunya yang diinginkannya hanyalah pulang. Pulang ke dunianya sendiri. Dan Kouza adalah orang yang sangat memungkinan bisa mewujudkan itu.
"Apa sekarang kau mengerti posisimu? Hm?"
Kouza masih mencumbui leher Myan. Myan menelan ludahnya berkali-kali.
"Kau tidak menjawabku?!" desak Kouza menuntut dengan suara parau.
"Y__ya..." Myan akhirnya menjawab dengan pasrah. Dengan memikirkan semua kemungkinan yang ada, jika ia menuruti Kouza mungkin keadaannya tak akan terlalu sulit. Bukankah ia sudah bertekad akan bertahan di sini bagaimanapun caranya sampai ia kembali lagi.
"Gadis pintar... hm..." puji Kouza penuh kemenangan.
Kouza langsung melumat bibir Myan yang merekah itu tanpa ampun. Memuaskan kenikmatan yang sempat ditahannya tadi. Sekuat apapun Myan menghindar dan meronta, tenaga Kouza jauh lebih kuat. Semakin Myan berusaha menghindar, semakin liar Kouza mencumbunya.
"K__Kouza..." Myan mencengkeram rambut Kouza disela-sela desahannya.
Walau dirinya tak menginginkan ini, tapi permainan Kouza yang intens cukup membuatnya melayang. Selama ini Myan bahkan tidak pernah mendapat perlakuan dari seorang pria seperti Kouza liar memperlakukannya saat ini. Ia tidak pernah disentuh sedemikian intimnya sebelumnya.
Semakin Myan meronta dan mencengkeram rambutnya, Kouza semakin rakus melahap yang tersaji di hadapannya. Ia yakin gadis itu sangat sensitif terhadap sentuhannya. Hanya dengan sedikit ciuman dan sentuhan di area sensitifnya saja gadis itu langsung menegang dan napasnya begitu memburu.
Kouza sendiri tahu, dibalik penolakannya yang keras, gadis itu pun sebenarnya juga menikmati permainannya. Kouza semakin bernafsu untuk memilikinya.
"Hen___hentikan!!! Kita bahkan belum menikah!" seru Myan panik.
Hanya itu yang terpikir olehnya untuk menghentikan 'serangan' Kouza. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Myan terlalu panik jika ia tak segera menghentikan serangan Kouza, maka habislah dirinya....
Kouza menghentikan aktifitasnya segera karena terkejut. Menatap Myan dengan mata liarnya dan tersenyum licik penuh arti.
"Arokaaaa!!!!!!!!" teriaknya kemudian.
Myan tergagap, refleks meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Kouza bangkit turun dari ranjangnya, membelakanginya. Menutup semua tirai yang terpasang pada ranjangnya. Sebisa mungkin menjauhkan semua mata yang mungkin bisa mencuri pandang tubuh Myan.
Aroka dengan cekatan masuk setelah namanya diteriakkan. Membungkuk penuh hormat pada pangerannya.
"Sampaikan pesan kepada baginda raja dan ratu, bahwa pangeran Kouza akan melaksanakan pernikahan hari ini dengan Kisha. Persiapkan semua yang diperlukan untuk pernikahanku hari ini." tegasnya.
"Ap.. apaa?!!" teriak Myan tercekat. Refleks menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya membulat ngeri.
"Baik pangeran!" Aroka segera beranjak keluar meninggalkan kamar tersebut dengan hormat.
Kouza menyibak tirai halus yang menyelubungi ranjangnya. Menatap Myan dengan wajah maskulinnya yang penuh kemenangan. Senyumnya yang sangat arogan dan menawan sekaligus mematikan itu ia sunggingkan penuh kepuasan.
"Bersiaplah untuk pernikahan kita hari ini permaisuriku" ucapnya sambil mengecup ujung rambut Myan yang tergerai lembut di bahu setengah telanjangnya.
Myan hanya bisa memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya dengan geram.
*******
Aroka berjalan cepat menuju istana utama dengan diiringi beberapa pengawal kepercayaannya. Ia hendak menyampaikan pesan langsung kepada baginda raja dan ratu. Dilihatnya wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan utama sang Ratu, sedang berjaga di depan ruang singgasana. "Madia, Pangeran memberi titah yang ingin beliau sampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu," lapornya. Saat itu, Madia wanita kepercayaan sang Ratu sedang berjaga dengan beberapa pelayan yang menemaninya. Madia mengangguk. Kepala pengawal kepercayaan Kouza masuk ke dalam ruang singgasana kerajaan. Dengan penuh khidmat dan hormat, Aroka membungkuk sebelum menyampaikan pesan dari sang Pangeran. "Hormat Baginda, hamba membawakan pesan dari Pangeran untuk disampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu" "Sampaikanlah," jawab Baginda Raja. "Pangeran mengatakan bahwa hari ini beliau ingin mengadakan pernikahan dengan Kisha, Sang Pembebas." Raja Zais dan Ratu Shila tampak
Raia seketika membeku. Tidak dapat melangkahkan kakinya lagi untuk mendekat ke arah Kouza. Sebelumnya jika bisa, begitu inginnya ia berhambur ke dalam pelukan Kouza, pangeran tampan dan sekaligus teman masa kecilnya itu yang sudah mencuri hatinya sejak usia mereka masih sama-sama 10 tahun. Raia mengepalkan kedua tangannya untuk menahan nyeri yang dirasakan di dalam dadanya. Melihat Kouza menggenggam tangan gadis lain di depan matanya sungguh membuatnya sangat cemburu. Kouza bahkan mengacuhkannya begitu saja saat berjalan melewatinya. "Ayah, ada yang ingin aku sampaikan," ucap Kouza sambil menggandeng tangan Myan untuk mendekat ke arah Raja Zais, ayahnya. Myan tampak ragu dan takut-takut berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi dengan orang asing. Ia tadi hampir saja kabur saat Kouza menariknya masuk ke dalam ruangan pertemuan ini. Sayangnya Kouza begitu erat menggenggam tangannya, hingga Myan hanya bisa pasrah mengikutinya. "KOUZA...!! " Raja
Segerombolan pria berjubah hitam saling melesat berlarian melalui pohon-pohon lebat yang berada di dalam hutan. Mereka berlari secepat kilat dengan gesit seolah sedang berlomba-lomba untuk mendekati perbatasan Kerajaan Tarcha.Dengan lihai mereka bersembunyi di antara pepohonan. Mereka mengamati benteng penjagaan perbatasan yang sedang dijaga oleh para prajurit perbatasan di beberapa pos penjagaan.Dalam pekatnya malam, nampaknya para penjaga benteng tidak menyadari keberadaan sekelompok mata-mata yang saling berpencar itu.Salah seorang yang tampak seperti pemimpin gerombolan mengisyaratkan untuk melakukan pergerakan dengan perlahan-lahan mendekati benteng penjagaan.Beberapa prajurit penjaga yang sedang berpatroli seketika terjaga waspada saat sayup-sayup terdengar gesekan kaki-kaki yang berlari melesat menerobos rumput ilalang tinggi, dan semakin mendekat ke arah mereka. Mereka belum sempat menarik pedang ketika kilatan-kilatan cahaya tiba-tiba menyerang dan mengoyak tubuh mereka se
Sinar hangat yang menembus melalui jendela kamar, tepat menyinari wajah polos Myan yang masih terlelap. Myan sedikit terusik dengan terik hangat yang dirasa terlalu menyilaukan. Matanya masih terpejam walau kesadarannya sudah mulai pulih. Kelopak matanya terasa masih terlalu berat untuk dibuka. Myan mencari-cari perlindungan dari serangan sinar matahari pagi. Tubuhnya menggeliat, kepalanya bergerak-gerak untuk menghindari sorotan pada wajahnya. Ia terus mendesak, hingga akhirnya menemukan sandaran yang nyaman. Bagaikan anak kucing, Myan kembali meringkuk dan menempatkan posisi tidurnya dengan nyaman dalam dekapan bidang kokoh yang sangat hangat dan terasa padat itu. Tangannya meraba-raba bidang nyaman yang menyelubunginya itu, berusaha untuk menariknya lebih dekat. "Jangan memancingku, ini sudah pagi," Suara maskulin yang sedikit parau terdengar jelas di telinganya. Walau matanya masih terpejam, Myan dapat merasakan belaian lembut pada kepalanya. Tung
Gerombolan pria berjubah hitam terlihat mengendap-endap di samping tembok pembatas istana Kouza yang terletak paling ujung. Malam yang pekat menyamarkan kehadiran mereka. Para penjaga dan pengawal yang bersiaga di depan pintu kamar Kouza mendadak ambruk satu persatu tanpa suara. Mereka diserang dengan belati kecil yang dilempar dari jarak jauh, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Para gerombolan misterius itu telah sampai pada tempat tujuan mereka, yaitu kamar Pangeran Kouza. Sang pemimpin perlahan-lahan mulai membuka pintu kamar Kouza dengan hati-hati. Tanpa mereka ketahui, Kouza telah menunggu mereka di dalam. Kouza sebelumnya telah bersiap dengan pedangnya saat instingnya menangkap sekelebatan bayangan dan suara kecil dari luar kamarnya semenit yang lalu. Ia telah bersiaga menunggu kedatangan para tamu tak diundang tersebut. "Myan, apapun yang terjadi jangan keluar dari tem
Ibu kota Kerajaan Tarcha. Sangat besar, ramai, dan dipenuhi orang-orang yang masih beraktivitas di malam hari. Terlihat dari beberapa kedai menyerupai tempat makan yang masih menyediakan dan menjual makanan pada malam hari. Rombongan Kouza sampai di ibu kota hampir menjelang tengah malam. Mereka memutuskan singgah dan beristirahat di salah satu penginapan untuk memulihkan tenaga agar besok dapat melanjutkan perjalanan lagi. "Kemarilah, Myan," Kouza menepuk sebelah ranjang tempatnya duduk. Mempersilakan Myan agar mengambil tempat di sebelahnya. "Memang sedikit sempit dan mungkin tidak nyaman, kuharap kau tak keberatan untuk beristirahat di sini malam ini." "Aku tak keberatan," jawab Myan sambil tersenyum. Penginapan itu mengingatkannya dengan apartemen pertamanya saat dirinya mulai bekerja dulu. Jika mau dibandingkan, mungkin ranjang yang sekarang ada di hadapannya jauh lebih besar daripada ranjang yang pernah ia punyai dulu. "Besok kit
Kouza dan rombongannya melanjutkan perjalanan saat matahari dirasa cukup hangat untuk mengawali perjalanan mereka. Karena melewati ibu kota, tak lupa mereka membeli bekal tambahan lagi untuk perjalanan yang akan mereka lalui selanjutnya. Setelah melewati ibu kota yang ramai, mereka memasuki wilayah pedesaan. Wilayah itu di dominasi oleh hamparan perkebunan dan tanah pertanian yang luas. Mereka melewati juga ladang-ladang penduduk yang subur. Hingga malam menjemput, mereka akhirnya mulai masuk ke daerah Hutan Kelam. Kouza memutuskan untuk beristirahat dan bermalam di dalam hutan. Mereka saling duduk mengitari api unggun kecil yang menghangatkan dan memberi penerangan di sekitar mereka. Suara binatang malam dan dinginnya kabut membuat suasana terasa mencekam. Hanya dengan api itulah mereka bisa merasakan kehadiran satu sama lain. "Apa perjalanan kita masih jauh Kouza?" tanya Myan sembari mengamati ke sekelilingnya dengan was-was. I
Myan berpindah ke suatu ruangan besar. Ruangan terang dengan langit-langit yang tinggi. Hampir seluruh perabotan dan warna ruangan itu di dominasi oleh warna putih dan emas. Perpindahan yang mendadak ini membuatnya merasa sedikit mual. Kepalanya terasa berputar. Myan mencengkeram erat karpet bulu tempat di mana dirinya mendarat saat teleportasi tadi. "Selamat datang, Kisha..." Seorang pria merentangkan kedua tangannya dan tersenyum menyambut Myan. Ia berjalan dengan langkah tenang dengan jubah emasnya yang berkilauan. Rambut kebiruan, mata tajamnya, serta suaranya mengingatkan Myan pada sosok seseorang yang pernah masuk ke dalam mimpinya. "Roun..." ucapnya begitu tersadar. Roun, pria itu tersenyum mendengar Myan menyebutkan namanya. "Kau mengingatku rupanya," Roun berlutut di depan Myan, mengulurkan tangannya, meraihnya untuk berdiri. "Apa yang terjadi, mengapa aku di sini? Di mana Kouza?" tanya Myan dengan
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge