Kouza yang seperti telah terlena, belum terpuaskan memagutnya. Ia memasukkan lidahnya lebih dalam lagi, mencari-cari, menghisap dan menuntut tanpa henti.
Myan sendiri mau tak mau mengikuti permainan Kouza hingga mendesah tak tertahankan, sangat kewalahan dengan serangan Kouza yang bertubi-tubi itu.
"Kou... hh... Kouza... tolong hentikan," bisiknya disela-sela cumbuan Kouza.
Myan mencoba beberapa kali lagi untuk berusaha berpaling menyudahi ciuman Kouza, tetapi masih tidak berhasil. Kouza menguncinya hingga sulit bergerak bebas.
Baru beberapa saat kemudian, setelah Kouza memutuskan untuk menyudahinya, Myan dapat mengambil kesempatan untuk sedikit menjauhkan wajahnya darinya. Sembari mengatur napasnya yang tak beraturan, jantungnya berdetak sangat kencang.
Napas Kouza sama tak beraturannya seperti napasnya. Setelah melepaskan pagutannya, Kouza memandang Myan yang sedang kehabisan napas. Wajahnya memerah memburu.
"A__apa yang kau lakukan!" Myan mendorong Kouza agar menjauh darinya. Dia merasa sangat malu dan gugup."Hmm... tak kusangka kau begitu menarik Kisha, kau sangat menggoda." Gumam Kouza penuh kepuasan.
"Aku seperti tak dapat menahan diriku. Rasanya, aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja," ucapnya lagi sambil tersenyum penuh arti.
"Aku tidak keberatan untuk memilikimu seutuhnya, mari kita teruskan diranjangku. Aku akan memberikanmu kenikmatan lebih." Kouza yang tampak gelap mata, langsung membopong tubuh Myan dengan mudah.
"Ap__apa?! Kouza tunggu!" cegahnya panik.
Belum habis keterkejutan Myan tadi, kini Kouza tiba-tiba sudah membaringkannya di atas ranjang. Dia sendiri kemudian ikut bergabung di atasnya dan memerangkap Myan dengan kedua kakinya.
Kouza mulai membungkuk, dan dengan cepat melepas tali-tali simpul ikatan baju atasan Myan hingga terekspos di bagian dada.
"Tunggu... tungguu... Kouza hentikan!!" teriak Myan frustasi.
Kouza tersentak. Mungkin terkejut karena teriakan Myan, ia refleks berhenti. Kouza memegangi kepalanya dan terduduk. Tanpa sadar menindih sebatas pinggang Myan.
Seperti kembali tersadar akan sekeliling, Kouza mengerjapkan matanya. Ia membelalak kaget saat mendapati posisi dirinya tengah menindih Myan. Terlebih dengan pemandangan belahan dada Myan yang setengah timbul dan terbuka di hadapannya.
Kouza tampak shock. Ia refleks mundur dengan cepat hingga terjerembab ke atas lantai dengan suara yang keras.
Myan yang juga terkejut, segera menuju sisi ranjang dan melongokkan kepalanya untuk memeriksa keadaan Kouza.
"Kau tak apa-apa, Kouza?" tanyanya sambil membungkuk di salah satu sisi ranjang. Myan mengulurkan tangan padanya.
Kouza membeku. Ia sedikit tertegun karena mendapati posisi Myan yang membuatnya dapat lebih jelas lagi melihat belahan dadanya. Karena malu, ia memalingkan mukanya dan berdiri sendiri.
"Tidak apa-apa," jawabnya tanpa memandang Myan.
Myan memandangi Kouza dengan keheranan, meneliti perubahan sikapnya yang begitu mendadak. Ia akhirnya berjalan mendekatinya karena begitu penasaran.
"Kau, tadi hendak..."
"Apa yang sudah aku lakukan?" Kouza tersentak dan menatap Myan. Ia berbalik dan mencengkeram kedua bahu Myan setelah memotong ucapan gadis itu.
"Ti__tidak, maksudku kau tadi..... aku pikir kau hendak menyerangku lagi, jadi tanpa sadar aku berteriak padamu. Apa kau kesakitan lagi?" tanyanya.
"Apa aku menyakitimu?" tanya Kouza lagi.
Myan membulatkan matanya dan menelan ludahnya. Membayangkan kembali yang telah Kouza lakukan padanya tadi. Ciuman serangannya tadi memang terasa begitu intens dan panas.
Kouza memang tidak menyakitinya. Tapi hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Myan kembali tergelitik. Belum pernah ia merasakan ciuman yang sepanas itu sebelumnya. Muka Myan kembali merona hanya dengan mengingatnya saja.
"Maafkan aku," ucap Kouza lembut dengan wajah penuh penyesalan.
"Kau tidak menyakitiku," Myan sedikit terkejut dengan perubahan ekspresi Kouza.
"Kau hanya... me_mengagetkanku saja dengan c_ciuman mendadakmu tadi, selain itu aku tak apa-apa"
"Apa?!" Kouza terkejut dengan ucapan Myan.
"Aku menciummu?" tanyanya. Tubuhnya seketika menegang.
Myan mengerjap dan mengangguk tanpa ia sadari.
"Oh, maaf," Kouza mendesah. Kali ini raut wajahnya berubah menjadi kusut.
"Maafkan aku, itu bukan aku," ucapnya. Myan tak mengerti maksud perkataan Kouza.
"Itu aku, tapi bukan aku," lanjutnya.
"Jika kau melihatku lagi, dan saat itu aku berkelakuan aneh, tolong pergilah. Menghindarlah dariku, sampai aku yang seperti sekarang kembali lagi."
"Apa maksud perkataanmu sih?" Myan
"Aku akan menjelaskan semua padamu nanti Myan, sekarang buatlah dirimu lebih nyaman dahulu. Jika kau ingin berganti pakaian, atau mungkin membersihkan dirimu, para pelayan akan mempersiapkannya untukmu."
Myan baru tersadar dengan keadaannya sendiri, setelah Kouza menyebutkannya. Baju atasannya yang sudah berantakan, dan dengan dadanya yang sudah separuh menyembul memperlihatkan kemulusannya kulitnya di depan Kouza, seketika membuatnya sangat malu! Refleks, ia menutupi dengan tangannya. Kouza ikut berpaling dengan canggung.
****
Beberapa pelayan wanita membawa Myan ke tempat pemandian di dalam istana. Mereka menyiapkan bak kayu besar berisi air hangat yang muat untuk dirinya. Di sisi lain ada sebuah kolam yang berisi air yang jernih mirip seperti kolam berenang kecil.
Myan memilih untuk berendam di dalam bak berisi air hangat dengan banyak kelopak mawar merah yang menghiasinya.
Seorang pelayan wanita hendak membantunya menggosok tubuhnya saat ia mulai berendam.
"Biar aku sendiri saja," ucap Myan. Pelayan tersebut mengangguk dan undur diri.
"Aku akan membersihkan diriku sendiri. Kalian bisa menungguku diluar, terima kasih," ucapnya canggung.
"Baik, Nona" jawab mereka kemudian keluar.
Myan menarik napas lega. Ia memejamkan matanya untuk menikmati air hangat yang menyelimuti tubuhnya.
Jelas ia tidak gila, atau sedang berhalusinasi. Entah apa, tapi tempat ini memang lah asli. Semua yang ia lihat, ia alami, dan ia sentuh terasa begitu nyata.
Di mana ini? Jaman apa ini? Negara apa ini? apa ia sedang berada di dimensi lain dengan hal-hal ajaib dan sihir aneh yang tadi dilihatnya?
Siapa mereka semua dengan pakaian anehnya? Kerajaan apa ini? Semua terasa sangat asing, tapi mengapa bahasa mereka sama? Mengapa ia bisa berada di sini? Ini jelas bukan surga! Ah entahlah! Tak tahulah! Myan merasa sangat frustasi.
Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikirannya membuatnya sangat kesal. Walau begitu, Myan berusaha untuk tetap tenang. Ia mulai merunut kembali kejadian yang telah dialaminya sebelum ini.
Logikanya, jika ia memang telah terjatuh dari tebing, pasti dirinya sekarang sedang berakhir di rumah sakit. Atau yang lebih buruk adalah... Kematian. Ya, ia mungkin sudah mati.
Myan membuka kembali matanya. Membelalak. Sedikit tercekat dengan analisanya. Jika memang ia sudah mati, apa mungkin arwahnya lalu masuk ke dalam tubuh orang lain yang mirip dengan dirinya? Dari jaman, waktu, dan dimensi yang lain mungkin? Seperti yang ada di film-film yang pernah ia tonton?
Ah masa bodoh lah! Myan berpikir, jika memang masih ada kemungkinan ia bisa kembali ke dunianya sendiri, jelas itu yang akan ia upayakan. Ia tidak mau peduli dan tidak mau tahu di mana dan dunia apa yang sebenarnya sedang ia jelajahi sekarang. Ia hanya ingin pulang.
Walau tampak menyedihkan dan tidak ada lagi yang tersisa di kehidupan aslinya, ia tetap ingin kembali jika bisa. Kembali ke rutinitasnya sehari-hari, berangkat bekerja setiap pagi. Ia bahkan mulai sedikit merindukan Rick bodoh yang telah mengkhianatinya.
Tunggu saja Rick, begitu aku bisa kembali, aku akan memberimu pelajaran! Batin Myan geram.
Perasaan amarah dan frustasi bercampur menjadi satu, bagaimana pun ia harus segera mencari cara agar dapat kembali kebdunianya sendiri! Yang paling penting sekarang adalah dirinya. Benar, ia tak ingin tahu sedang di mana. Ia hanya ingin pulang!
"Oh, sungguh menyebalkan!"
Myan mendesah, menyeka air matanya yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Ia begitu sedih hingga tak dapat menahan air matanya.
Tapi ia memiliki misi sekarang. Ia tidak boleh lemah dan menjadi pengecut. Ia akan mencari tahu alasan mengapa dirinya bisa berada di sini, dan bagaimana caranya ia bisa pulang. Itu yang paling penting.
Myan sudah membulatkan tekadnya dan akan mencari cara apapun yang bisa membuatnya pulang lagi ke dunianya sendiri.
*******Myan telah berganti baju dengan terusan gaun malam berwarna merah tua yang lebih tebal dan hangat dibandingkan dengan pakaian yang dikenakannya tadi. Rambut cokelat panjangnya ditata cantik dengan gaya yang sesuai dengan gaun panjangnya malam ini. Ia tidak begitu kesulitan beradaptasi dengan pakaian yang ada di sini. Ditambah, Myan dibantu dalam segala hal oleh para pelayan. Walau merasa canggung, ia hanya akan menerimanya saja, agar ia tidak kesulitan sendiri. "Benar-benar luar biasa," gumamnya lirih. Myan mulai mengamati bagian-bagian ruangan dan istana tempatnya berada. Kalau-kalau situasinya tidak baik dan sewaktu-waktu dibutuhkan, ia sudah hapal dan ingat di mana saja letak-letak ruangan dan pintu keluarnya agar bisa melarikan diri. Yang pasti ia harus segera mempelajari dan mencari jalan keluar dari istana agar dapat kembali lagi ketempatnya ditemukan pertama kali. Selesai bersiap, Myan dibimbing memasuki salah satu
"Apa maksudmu dengan menikah?" Myan yang begitu terkejut, menatap Kouza dengan penuh tanya. "Tentu saja kau akan menikah denganku." ucap Kouza. "Mengapa? Apakah harus? Maksudku, mengapa aku harus menikah denganmu?" Kouza mengerutkan keningnya. "Kau tidak ingin menikah dengan seorang pangeran?" tanyanya tak mengerti. "Maksudku, mengapa kita tiba-tiba harus menikah? Bukankah jika kita menikah, kita harus saling menyukai? Kita harus saling mengenal dahulu?" "Karena kau adalah Kisha. Dan aku memang menyukaimu," ucap Kouza jujur. "Kau tidak menyukaiku?" tanya Kouza lagi. Myan menggigit bibir bawahnya. Ia tak mengerti mengapa Kouza bisa dengan mudah mengatakan hal itu. "Bukan begitu, bukan berarti aku membencimu. Hanya saja, kita harus saling cocok bukan?" "Aku akan menunggumu menyukaiku jika kau belum merasakan hal yang sama Myan. Aku akan berusaha membuatmu menyukaiku. Seperti aku yang menganggapmu adalah tak
Pelupuk mata Myan dipenuhi dengan air mata yang menggenang. Wajahnya terasa panas. Perasaannya bercampur aduk menjadi satu. Antara kesal, marah, malu, dan shock membuat darahnya seolah mendidih. "Apa kau baru saja menyerang seorang pangeran?!" geram Kouza menatap tajam Myan. Myan terbelalak mendengar tuduhan Kouza. Perlahan ia berdiri dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Mengusap air matanya yang menetes dan dengan mata yang berapi-api mendekati Kouza. Mencengkeram baju Kouza dengan tangan satunya. Mendekatkan wajahnya pada Kouza, "MENYERANGMU?! Hah apa?! Kau bilang aku menyerangmu?! Apa kau sudah tak waras?! Dasar pangeran bajing*n!!! Kau yang menyerangku saat aku tidur! Kau pria berengs*k!! Pangeran apanya?! Kau hanya pangeran mesum!! Cabul!! Apa kau tahu aku sudah terlalu frustasi karena masuk ke dalam duniamu! Sekarang kau memperlakukanku seperti ini?!! Kau mau memperkos*ku??!!! Kenapa??! Apa karena kau seorang pangeran kau berhak melakukan itu padaku?! HAAAHHH???!!!"
Aroka berjalan cepat menuju istana utama dengan diiringi beberapa pengawal kepercayaannya. Ia hendak menyampaikan pesan langsung kepada baginda raja dan ratu. Dilihatnya wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan utama sang Ratu, sedang berjaga di depan ruang singgasana. "Madia, Pangeran memberi titah yang ingin beliau sampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu," lapornya. Saat itu, Madia wanita kepercayaan sang Ratu sedang berjaga dengan beberapa pelayan yang menemaninya. Madia mengangguk. Kepala pengawal kepercayaan Kouza masuk ke dalam ruang singgasana kerajaan. Dengan penuh khidmat dan hormat, Aroka membungkuk sebelum menyampaikan pesan dari sang Pangeran. "Hormat Baginda, hamba membawakan pesan dari Pangeran untuk disampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu" "Sampaikanlah," jawab Baginda Raja. "Pangeran mengatakan bahwa hari ini beliau ingin mengadakan pernikahan dengan Kisha, Sang Pembebas." Raja Zais dan Ratu Shila tampak
Raia seketika membeku. Tidak dapat melangkahkan kakinya lagi untuk mendekat ke arah Kouza. Sebelumnya jika bisa, begitu inginnya ia berhambur ke dalam pelukan Kouza, pangeran tampan dan sekaligus teman masa kecilnya itu yang sudah mencuri hatinya sejak usia mereka masih sama-sama 10 tahun. Raia mengepalkan kedua tangannya untuk menahan nyeri yang dirasakan di dalam dadanya. Melihat Kouza menggenggam tangan gadis lain di depan matanya sungguh membuatnya sangat cemburu. Kouza bahkan mengacuhkannya begitu saja saat berjalan melewatinya. "Ayah, ada yang ingin aku sampaikan," ucap Kouza sambil menggandeng tangan Myan untuk mendekat ke arah Raja Zais, ayahnya. Myan tampak ragu dan takut-takut berada di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi dengan orang asing. Ia tadi hampir saja kabur saat Kouza menariknya masuk ke dalam ruangan pertemuan ini. Sayangnya Kouza begitu erat menggenggam tangannya, hingga Myan hanya bisa pasrah mengikutinya. "KOUZA...!! " Raja
Segerombolan pria berjubah hitam saling melesat berlarian melalui pohon-pohon lebat yang berada di dalam hutan. Mereka berlari secepat kilat dengan gesit seolah sedang berlomba-lomba untuk mendekati perbatasan Kerajaan Tarcha.Dengan lihai mereka bersembunyi di antara pepohonan. Mereka mengamati benteng penjagaan perbatasan yang sedang dijaga oleh para prajurit perbatasan di beberapa pos penjagaan.Dalam pekatnya malam, nampaknya para penjaga benteng tidak menyadari keberadaan sekelompok mata-mata yang saling berpencar itu.Salah seorang yang tampak seperti pemimpin gerombolan mengisyaratkan untuk melakukan pergerakan dengan perlahan-lahan mendekati benteng penjagaan.Beberapa prajurit penjaga yang sedang berpatroli seketika terjaga waspada saat sayup-sayup terdengar gesekan kaki-kaki yang berlari melesat menerobos rumput ilalang tinggi, dan semakin mendekat ke arah mereka. Mereka belum sempat menarik pedang ketika kilatan-kilatan cahaya tiba-tiba menyerang dan mengoyak tubuh mereka se
Sinar hangat yang menembus melalui jendela kamar, tepat menyinari wajah polos Myan yang masih terlelap. Myan sedikit terusik dengan terik hangat yang dirasa terlalu menyilaukan. Matanya masih terpejam walau kesadarannya sudah mulai pulih. Kelopak matanya terasa masih terlalu berat untuk dibuka. Myan mencari-cari perlindungan dari serangan sinar matahari pagi. Tubuhnya menggeliat, kepalanya bergerak-gerak untuk menghindari sorotan pada wajahnya. Ia terus mendesak, hingga akhirnya menemukan sandaran yang nyaman. Bagaikan anak kucing, Myan kembali meringkuk dan menempatkan posisi tidurnya dengan nyaman dalam dekapan bidang kokoh yang sangat hangat dan terasa padat itu. Tangannya meraba-raba bidang nyaman yang menyelubunginya itu, berusaha untuk menariknya lebih dekat. "Jangan memancingku, ini sudah pagi," Suara maskulin yang sedikit parau terdengar jelas di telinganya. Walau matanya masih terpejam, Myan dapat merasakan belaian lembut pada kepalanya. Tung
Gerombolan pria berjubah hitam terlihat mengendap-endap di samping tembok pembatas istana Kouza yang terletak paling ujung. Malam yang pekat menyamarkan kehadiran mereka. Para penjaga dan pengawal yang bersiaga di depan pintu kamar Kouza mendadak ambruk satu persatu tanpa suara. Mereka diserang dengan belati kecil yang dilempar dari jarak jauh, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun. Para gerombolan misterius itu telah sampai pada tempat tujuan mereka, yaitu kamar Pangeran Kouza. Sang pemimpin perlahan-lahan mulai membuka pintu kamar Kouza dengan hati-hati. Tanpa mereka ketahui, Kouza telah menunggu mereka di dalam. Kouza sebelumnya telah bersiap dengan pedangnya saat instingnya menangkap sekelebatan bayangan dan suara kecil dari luar kamarnya semenit yang lalu. Ia telah bersiaga menunggu kedatangan para tamu tak diundang tersebut. "Myan, apapun yang terjadi jangan keluar dari tem
Lima bulan kemudian ... "Bagus ... lihatlah sekarang aku tampak begitu aneh saat difoto!" Valerie tampak kesal mengamati foto-foto yang baru saja diambilnya dari ponselnya. "Menurutku tak ada yang aneh, kau tampak menawan, Sayang," Jordan mengusap lembut pucuk kepala istrinya tersebut. Valerie kembali cemberut, ia mengusap perutnya yang sudah tampak membesar. "Aku tampak seperti sedang mengantungi bola" keluhnya lagi. "Bukan bola, tapi anak kita ... anak cantik kita yang akan mempesona sepertimu." jawab Jordan menenangkan. "Tak ada yang buruk dengan itu, setiap wanita yang sedang mengandung pasti akan mengalami perubahan bentuk tubuh," Milia ikut menengahi. "Aku iri denganmu, mengapa hanya perutmu saja yang berubah, tapi tidak dengan badanmu?" Valerie merujuk pada Myan yang sedang duduk berhadapan dengannya di samping Devon. Myan tersenyum menanggapi ucapan Valerie, "Mungkin karena kandunganku masih belum begitu besar dan masih
Devon membopong Myan memasuki kediamannya yang telah rapi dan bersih. Sejak pemulihan kecelakaannya kemarin, ia belum pernah menginjakkan kaki lagi ke tempatnya sendiri. "Pelan-pelan Sayang, kau seperti banteng yang siap menerjang tanpa ampun. Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri!" Myan tersenyum geli sambil memukul ringan bahu suaminya. "Jangan menyuruhku untuk bergerak perlahan, kakimu terlalu kecil untuk mengikuti langkahku ... lagipula aku tak ingin membuat kaki mungilmu itu kelelahan sebelum aku melakukan apa-apa." Myan tergelak, ia mendekap leher Devon dengan lebih erat. "Kalau begitu, cepatlah ..." bisiknya menggoda suaminya. Mengirimkan sinyal untuk segera melepaskan hasrat mereka. Seperti dikomando, Devon membuat langkahnya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia menerobos pintu masuk setelah membuka kuncinya. Menendang daun pintu begitu saja dengan kakinya dan segera menghujani Myan dengan ciuman lembut begitu mereka masuk ke dalam tempatny
"Hentikan Devon, masih ada yang harus aku lakukan," Myan berusaha melepaskan diri dari cumbuan suaminya yang berbadan kekar itu. "Apakah ada yang lebih penting selain menghabiskan waktu dengan suamimu ini, Nyonya Devon?" Devon bergumam sembari mengecup bibir dan leher Myan secara bergantian. Myan sedikit menggeliat kegelian, "Kita akan punya banyak waktu nanti, beri aku waktu beberapa menit saja, oke?" balas Myan lagi. "Ck...! Aku sudah menunggu selama hampir 4 minggu untuk dapat memilikimu dan sekarang kau memintaku untuk menunggu lagi?" erang Devon tersiksa. "Tenang , Sayang ... kau dapat memilikiku semaumu setelah ini, berikan gelangmu." Myan melepaskan gelang dari pergelangan tangan Devon dan melakukan hal yang sama dengan miliknya sendiri. "Apa yang akan kau lakukan, Sayang? Berhentilah menyibukkan dirimu sendiri." Devon memeluk Myan dengan manja. "Aku akan menemui Lilian. Hanya sebentar saja, beri aku waktu sepuluh menit ya,"
Suasana riuh menghiasi tempat acara pernikahan yang akan berlangsung siang ini. Milia dan Myan tengah sibuk bersiap untuk acara yang akan digelar dengan sederhana dan tertutup. Staf pernikahan yang bertugas mempersiapkan mereka berias dan berganti gaun, telah selesai membantu pengantin dan ibunya. Myan dan Milia tampak menakjubkan dengan gaunnya masing-masing. "Oh ya Tuhan ... kau menakjubkan!" July dan Stevie memasuki ruangan tempat pengantin wanita bersiap. Mereka begitu takjub dengan gaun dan riasan yang Myan pakai. Myan tampak sangat bersinar dalam baju pernikahannya. Sudah semenjak 4 minggu yang lalu Myan mengumumkan acara pernikahannya kepada kedua sahabatnya, dan dengan histeris mereka menerima kabar gembira itu. Mereka turut berbahagia saat mengetahui Myan akan menikah dengan pria yang dicintainya. "Jadi ... akhirnya ia ternyata memang benar-benar suamimu ya," ledek Stevie pada Myan. Myan tertawa, "Sudah kubilang sebelumnya bukan, Devo
Jordan menyesap kembali minumannya dengan tenang sambil memperhatikan ponselnya yang tergeletak di sebelah hidangan manis yang sudah ia pesan beberapa menit sebelumnya. Malam ini ia akan berkencan. Ia mengenakan jeans kasual dipadukan dengan sweater rajut putih tulang miliknya yang sepasang dengan milik Valerie. Dan ia sedang menanti Valerie di sebuah kafe. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita ramping muncul dengan sweater rajut yang sama dengan miliknya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu masuk untuk mencari teman kencannya. Valerie tersenyum cerah saat dilihatnya Jordan telah menunggunya di salah satu meja kafe. Ia melambaikan tangan sejenak dengan ceria, kemudian mulai berjalan menghampiri meja milik Jordan. Rambut keemasan halus Valerie bergerak-gerak ringan seiring dengan langkah kakinya yang mantap menyongsong Jordan. Ia sedikit tersipu saat terpaku menatap Jordan, pria yang sedang menantinya itu. Valerie tersenyum manis disetiap langkahnya saat ia m
"Apa yang harus aku katakan?" Myan berjalan mondar-mandir dalam kamar Devon dengan raut cemas. "Katakan saja yang sebenarnya ..." Devon menjawab Myan dengan sabar. "Ma ... aku sudah menikah dan sudah menjadi istri Devon sekarang. Hanya dalam waktu satu hari? Hah ... bisakah kau bayangkan betapa terkejutnya mamaku nanti?" "Oh, ini semua salahmu Devon! Tidak hanya di dunia mimpi mau pun kenyataan, kau selalu bertindak semaumu ..." keluh Myan cemas. Devon menarik lengan Myan, mendudukkannya dipangkuannya sendiri. "Bisakah kau berhenti? Kau membuatku pusing ... hentikan kecemasanmu sekarang juga, tak ada yang perlu kau khawatirkan, Sayang." "Aku akan mengantarmu pulang nanti. Aku akan menghadap mamamu, meminta izin agar diperbolehkan memiliki putri satu-satunya. Walau secara teknis aku sudah memilikinya," Devon tersenyum jahil. "Hm ... sekarang, apa kau sudah bisa tenang?" tanya Devon sambil tersenyum dengan ceria. "Bagaimana dengan ayahmu
Myan melangkahkan kaki keluar dari gedung sendirian setelah semua pembicaraan panjang mengenai acara resepsi, gaun, makanan dan segala macam pernak-pernik tentang pernikahan selesai Devon bicarakan dengan Laura. Myan tak mengerti mengapa Devon melakukan ini. Bahkan ia menyebutnya istri dan menjelaskan bahwa mereka telah menikah. Jelas Myan akan menuntut penjelasan atas semua aksi Devon ini. "Apa kau kesal padaku ...?" Devon yang ia kira masih berada di dalam ternyata telah menghampirinya. Myan kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu kursi taman yang bernaungkan pohon rindang. Myan tak menjawab pertanyaan Devon. Ia sedikit memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan menyelidik dari pria itu. "Terima kasih kau tidak menamparku atau meninggalkanku di sana sendirian sementara aku mungkin dapat menanggung malu," ucap Devon sambil duduk di samping Myan yang masih berwajah masam. Myan menghembuskan napasnya perlahan seolah ingin membua
Milia menatap kedua anaknya dengan tatapan menyelidik. Baik Jordan mau pun Myan hanya menatap ponselnya masing-masing tanpa menyentuh sedikit pun hidangan yang telah tersaji di hadapan mereka. "Apa perut kalian akan terisi sendiri hanya dengan menatap ponsel?" tanyanya. Jordan dan Myan segera meletakkan ponsel mereka. Mereka tahu betul nada suara Milia saat merasa kesal. "Aku hanya mengecek pekerjaanku saja," jawab Myan kemudian melahap sepotong pancake manis di hadapannya. "Aku juga." Jordan melakukan hal yang sama. Hanya beberapa suap saja sampai Jordan dan Myan kembali sibuk dengan ponsel mereka masing-masing. Mereka tampak terlalu larut untuk mengetik dan kembali fokus untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Milia menghela napas panjang. Kedua anaknya sekarang dimatanya tampak begitu mencurigakan. Jika mereka tadi begitu tegang dengan ponsel masing-masing, kini mereka berdua terlihat cerah saat membalas beberapa pesan-pesan yang
Valerie mengikat jubah mandinya erat-erat sebelum ia keluar dari kamar mandi. Saat itu dilihatnya Jordan sedang bercermin dan telah mengenakan kemeja yang Valerie pesan dari Rebecca sebelumnya. "Cocok untukmu, ukurannya sangat pas bukan?" komentar Valerie saat mengamati Jordan dengan baju barunya. "Benar ... kau memilih ukuran yang tepat dan ..." ucapan Jordan seketika menggantung di udara saat ia menatap Valerie dengan jubah mandinya dan wajah polosnya tanpa make up. Jordan membeku di tempat. Ia menelan ludahnya. Tak menyangka Valerie bisa tampak begitu berbeda ketika tak mengenakan riasan apa pun. Ia tampak segar, muda, polos, cantik dan juga tampak sangat menggoda dalam balutan jubah mandinya ... "Aku bisa memperkirakan ukuran baju seseorang hanya dengan melihatnya. Itu pekerjaanku sehari-hari, dan juga salah satu keahlianku ..." ucapnya. Valerie dengan tenang menghampiri kotak baju miliknya sendiri untuk memeriksa isinya. Ia sesekali menge