Bau kambing gunung yang dibakar, memang sejak tadi memenuhi tempat itu.Sahabat, makanan, dan arak.Tiga hal yang tak akan pernah dilewatkan Cio San.Dan rupanya, teman-temannya pun memiliki pendirian yang sama.Siang hari.Usai latihan, Beng Liong paling suka duduk di bawah pohon sambil menikmati ikan panggang. Ia memang suka ikan panggang. Dan sungai kecil di Thay San ini penuh dengan ikan-ikan kegemarannya.Bagian atas tubuhnya masih belum ditutupi. Dadanya yang bidang tegap berkeringat. Keringatnya sangat harum, sampai-sampai orang mengira keringatnya itu adalah minyak pewangi.Ia telah keluar dari sungai, dan telah memperoleh sejumlah tangkapan. Api bakaran sudah dipersiapkannya sebelum tadi turun ke sungai.Tak berapa lama ia menanti, panggangannya sudah selesai. Semerbak harum ikan membuatnya tersenyum.Betapa nikmat menikmati makanan seperti ini di alam terbuka!Sesuatu yang sederhana jika ditempatkan di tempat yang pas, akan terasa jauh lebih indah dan bermakna.Ia menikmati
Sore hari menjelang.Beng Liong sedang berada di tendanya. Rombongan Bu Tong-pay membawa 3 tenda. Sebuah tenda kecil untuk Ciangbunjin dan seorang pengawalnya. Sebuah lagi agak sedang, buat murid-murid tingkatan agak tinggi. Sedangkan yang satunya lagi, yang paling besar, untuk murid-murid biasa.Beng Liong kini menikmati tehnya. Murid-murid yang lain tahu, jika Beng Liong sedang menikmati tehnya, orang lain sungkan mengganggu. Ini bukan karena Beng Liong akan marah jika terganggu. Ia tidak pernah marah jika terganggu. Mereka hanya mengerti, bahwa acara minum teh ini adalah acara yang paling disenangi Beng Liong. Oleh karena itu, mereka membiarkannya sendirian.Acara minum teh jauh lebih disukai Beng Liong daripada minum arak. Ia heran, mengapa ada pendekar yang mengorbankan kekuatan tubuh mereka hanya untuk kesenangan minum arak? Walaupun kemampuan minum arak adalah salah satu pembuktian kekuatan tubuh, Beng Liong jarang sekali mau minum arak. Baginya, pembuktian kekuatan tubuh yang
Berjam-jam mereka mencari. Ang Lin Hua tidak ditemukan. Luk Ping Hoo pun bahkan ikut menghilang.Terbayang sedikit kepanikan di wajah mereka bertiga.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kao Ceng Lun.“Lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bersama sambil mencari mereka,” usul Lie Sat.Suma Sun hanya mengangguk-angguk.Sampai pagi menjelang, kedua orang itu tidak kembali.Kao Ceng Lun nampak sangat bingung, dan Lie Sat pun tidak tenang.“Suma-tayhiap, sebaiknya Tayhiap beristirahat. Pertarungan akan diadakan nanti malam. Saya takut hal ini bisa mengganggu pikiran Tayhiap.”Suma Sun tidak berkata apa-apa.Ia nampak tenang saja.Rupanya si ‘manusia’ telah kembali menjadi ‘dewa’.“Ahhh, aku sudah tak sabar lagi. Lebih baik aku pergi mencari mereka.” Kao Ceng Lun segera berdiri dan beranjak dari situ.“Orang muda memang selalu tidak sabaran,” batin Lie Sat. Ia sendiri pun beranjak dari situ. Meninggalkan Suma Sun sendirian.Jika seluruh gunung Thay San ini runtuh pun, ia tidak
Dengan sekali lesatan, Cio San sudah muncul di hadapan orang yang menggotong Beng Liong itu.“Apa yang terjadi, Enghiong?” tanyanya sambil menjura.“Cayhe menemukan Beng Liong-tayhiap di pinggiran jurang di dekat sini.Sambil mengangguk, Cio San memeriksa Beng Liong.Masih hidup!Nafasnya sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Secepatnya, Cio San langsung menyalurkan tenaga saktinya.Darah yang mengalir dari mulut Beng Liong masih segar. Itu berarti ia baru saja terluka. Melihat mantan kakak seperguruannya dalam keadaan seperti itu, hatinya merasa tergetar juga. Beng Liong kaku seperti mayat. Wajahnya pucat pasi. Begitu Cio San memeriksa jalan darahnya, segera ia menyadari bahwa jalan darah Beng Liong telah terpukul sedemikan hebatnya sehingga alirannya menjadi kacau balau.Jika terlambat beberapa menit saja, Beng Liong pasti meninggal.Dengan segenap kekuatan dan pengetahuannya, Cio San berusaha menyembuhkan Beng Liong. Saluran tenaga sakti yang Cio San berikan kepada Beng Liong seti
Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya terjadi hanya dalam sekejap mata.Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kam-tayhiap pun melenting ke atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.Tapi Suma Sun bukan ‘orang’.Suma Sun adalah Dewa Pedang.Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang, yang belum juga tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah menghempasnya terlempar ke belakang.Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara keras terdengar. Bebatuan terpecah-belah akibat tumbukan tubuh Suma Sun.Ia sendiri memang tidak terluka, karena tenaga dalam melindungi tubuhnya. Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu
Tentu saja angin pedang Kam Sin Kiam.Baju Suma Sun yang seputih salju, kini memerah oleh darah.Cio San yang menyaksikan pertarungan itu, mencoba untuk tetap tenang. Ia masih meletakkan tangan di dada Beng Liong dan menyalurkan tenaga saktinya. Sedikit saja pemusatan pikirannya kacau, maka nyawa Beng Liong akan melayang.Saat ini nyawa Beng Liong pun tergantung pada Suma Sun.Karena jika terjadi sesuatu pada Suma Sun, pikiran Cio San akan kacau. Dan itu akan membunuh Beng Liong.Untunglah penyaluran tenaga ini selesai. Tanpa harus diberitahu pun, Beng Liong dapat mengatur sendiri tenaga yang disalurkan Cio San itu. Thay Kek Kun memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam tentang pengerahan tenaga.“Tetaplah bersemadi, Enghiong. Dalam beberapa hari, luka dalammu akan pulih,” kata Cio San alias Lie Sat.“Terima kasih, Siansing,” kata Beng Liong pelan. Ia lalu bersemadi memulihkan tenaganya. Tubuhnya yang tadi dingin, kaku, dan membiru, kini terlihat merah segar dan hangat. Bahkan ha
Suma Sun akhirnya berhasil mencabut pedang dari sarungnya!Tapi gerakannya begitu lambat. Dalam jarak satu langkah, Kam-tayhiap telah mampu membaca gerakan pedangnya.Lalu tangan Suma Sun pun putus!Tangan yang begitu mengagumkan dalam memainkan pedang itu putus dan terkulai!Darah muncrat bagai air bah!Tapi entah bagaimana, Suma Sun bergerak maju dengan sangat cepat.Sangat-sangat cepat!Bahkan Kam-tayhiap pun tidak menyangka ada makhluk di atas bumi yang bisa bergerak secepat itu.Lalu jari tangan kiri Suma Sun telah menempel di kerongkongan Kam-tayhiap!Hanya beberapa orang yang mampu benar-benar melihat kejadian sekejap mata itu dengan jelas. Suma Sun menggunakan tembok yang ada di belakang tubuhnya sebagai dasar pijakan lentingan kakinya. Dengan menggunakan tebing karang itu, gerakannya menjadi dua kali lebih cepat.Apalagi pedang berat yang tadi dipegangnya sudah jatuh berikut tangan kanannya yang memegang pedang itu. Kini kecepatannya menjadi berlipat-lipat. Dengan sisa tenaga
Tidak ada yang berani melangkah duluan.Mereka semua sudah mengurungnya. Tapi tak ada satu pun yang berani melangkah maju.Beberapa orang melangkah ke depan. Tapi mereka tidak menyerang.“Biar bagaimanapun, Cio-siansing telah menolong nyawaku saat keracunan kemarin. Aku maju untuk membelanya,” kata salah seorang.Beberapa orang yang lain pun ikut maju dan teriak, “Benar!”Puluhan orang yang maju ini adalah orang-orang yang beberapa hari lalu sempat ditolong Cio San saat mereka keracunan jarum beracun. Orang-orang golongan ‘bawah’. Kaum LiokLim yang selama ini dianggap rendah, tidak terhormat, dan tidak masuk hitungan dalam dunia Kang Ouw.Mereka semua kini di pihak Cio San.Cio San berkata kepada mereka,“Para Enghiong semua, ini bukan urusan para Enghiong. Harap jangan menyia-nyiakan nyawa. Tidak ada hutang-piutang di antara kita.”“Hutang nyawa bayar nyawa. Masa urusan ‘kecil’ seperti ini, In-hiap (Tuan Penolong) tidak paham?” kata mereka.Kadang-kadang, ketulusan terbaik hanya bisa
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge