Share

Bab 230

Author: Norman Tjio
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya terjadi hanya dalam sekejap mata.

Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kam-tayhiap pun melenting ke atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.

Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.

Tapi Suma Sun bukan ‘orang’.

Suma Sun adalah Dewa Pedang.

Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang, yang belum juga tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah menghempasnya terlempar ke belakang.

Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara keras terdengar. Bebatuan terpecah-belah akibat tumbukan tubuh Suma Sun.

Ia sendiri memang tidak terluka, karena tenaga dalam melindungi tubuhnya. Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 231

    Tentu saja angin pedang Kam Sin Kiam.Baju Suma Sun yang seputih salju, kini memerah oleh darah.Cio San yang menyaksikan pertarungan itu, mencoba untuk tetap tenang. Ia masih meletakkan tangan di dada Beng Liong dan menyalurkan tenaga saktinya. Sedikit saja pemusatan pikirannya kacau, maka nyawa Beng Liong akan melayang.Saat ini nyawa Beng Liong pun tergantung pada Suma Sun.Karena jika terjadi sesuatu pada Suma Sun, pikiran Cio San akan kacau. Dan itu akan membunuh Beng Liong.Untunglah penyaluran tenaga ini selesai. Tanpa harus diberitahu pun, Beng Liong dapat mengatur sendiri tenaga yang disalurkan Cio San itu. Thay Kek Kun memberikannya pengetahuan yang sangat mendalam tentang pengerahan tenaga.“Tetaplah bersemadi, Enghiong. Dalam beberapa hari, luka dalammu akan pulih,” kata Cio San alias Lie Sat.“Terima kasih, Siansing,” kata Beng Liong pelan. Ia lalu bersemadi memulihkan tenaganya. Tubuhnya yang tadi dingin, kaku, dan membiru, kini terlihat merah segar dan hangat. Bahkan ha

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 232

    Suma Sun akhirnya berhasil mencabut pedang dari sarungnya!Tapi gerakannya begitu lambat. Dalam jarak satu langkah, Kam-tayhiap telah mampu membaca gerakan pedangnya.Lalu tangan Suma Sun pun putus!Tangan yang begitu mengagumkan dalam memainkan pedang itu putus dan terkulai!Darah muncrat bagai air bah!Tapi entah bagaimana, Suma Sun bergerak maju dengan sangat cepat.Sangat-sangat cepat!Bahkan Kam-tayhiap pun tidak menyangka ada makhluk di atas bumi yang bisa bergerak secepat itu.Lalu jari tangan kiri Suma Sun telah menempel di kerongkongan Kam-tayhiap!Hanya beberapa orang yang mampu benar-benar melihat kejadian sekejap mata itu dengan jelas. Suma Sun menggunakan tembok yang ada di belakang tubuhnya sebagai dasar pijakan lentingan kakinya. Dengan menggunakan tebing karang itu, gerakannya menjadi dua kali lebih cepat.Apalagi pedang berat yang tadi dipegangnya sudah jatuh berikut tangan kanannya yang memegang pedang itu. Kini kecepatannya menjadi berlipat-lipat. Dengan sisa tenaga

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 233

    Tidak ada yang berani melangkah duluan.Mereka semua sudah mengurungnya. Tapi tak ada satu pun yang berani melangkah maju.Beberapa orang melangkah ke depan. Tapi mereka tidak menyerang.“Biar bagaimanapun, Cio-siansing telah menolong nyawaku saat keracunan kemarin. Aku maju untuk membelanya,” kata salah seorang.Beberapa orang yang lain pun ikut maju dan teriak, “Benar!”Puluhan orang yang maju ini adalah orang-orang yang beberapa hari lalu sempat ditolong Cio San saat mereka keracunan jarum beracun. Orang-orang golongan ‘bawah’. Kaum LiokLim yang selama ini dianggap rendah, tidak terhormat, dan tidak masuk hitungan dalam dunia Kang Ouw.Mereka semua kini di pihak Cio San.Cio San berkata kepada mereka,“Para Enghiong semua, ini bukan urusan para Enghiong. Harap jangan menyia-nyiakan nyawa. Tidak ada hutang-piutang di antara kita.”“Hutang nyawa bayar nyawa. Masa urusan ‘kecil’ seperti ini, In-hiap (Tuan Penolong) tidak paham?” kata mereka.Kadang-kadang, ketulusan terbaik hanya bisa

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 234

    Seumur hidup, baru pertama kali ini mereka menyaksikan hal seperti ini!Bagaimana Cio San melakukan hal menakjubkan seperti itu?Mengeluarkan tenaga sebesar itu tanpa kelelahan sama sekali?Para Ciangbunjin dan Tetua itu lupa atau mungkin tidak tahu, bahwa Cio San menguasai ilmu Menghisap Matahari. Ilmu milik Ma Kauw itu membuatnya mampu menghisap tenaga dalam orang lain.Hebatnya Cio San adalah, ia mampu menggabungkan ilmu itu dengan ilmu lainnya. Sehingga sambil melancarkan 18 Tapak Naga yang membutuhkan tenaga amat besar itu, ia sekaligus mampu juga melancarkan ilmu Menghisap Matahari. Sehingga orang yang diserangnya selain terhempas oleh tenaga Cio San, tenaga dalam mereka pun terhisap pula!Itulah sebabnya kenapa mereka tidak bisa bangun lagi. Seluruh tenaga dalam mereka terhisap hanya dalam satu serangan.Dengan kemampuannya ini, Cio San tak akan pernah kehabisan tenaga, karena setiap tenaga yang ia keluarkan, selalu berhasil mendapatkan gantinya.Dengan ilmu Tongkat Pemukul Anj

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 235

    Kadang-kadang, ketinggian budi manusia begitu mengagumkan, sampai-sampai malaikat pun terkagum-kagum.Tapi kadang, kerendahan akhlak manusia begitu menjijikkan, sampai iblis dan setan pun bergidik ketakutan.Keadaan di gunung Thay San ini menggambarkan kedua hal tersebut.Cio San tak tahu lagi ia berada di pemahaman yang mana. Berada di jalur yang mana. Batas antara pendekar, pengecut, pembunuh, dan korban, sudah menjadi sedemikian kabur baginya.Sekarang semua sunyi.Alangkah berbeda keadaannya dengan beberapa saat yang lalu, yang bergema dan menggetarkan jiwa!Tapi kesunyian seperti ini malah lebih menggetarkan jiwa.Hawa kematian jauh lebih menakutkan saat dihadapi sendirian. Itulah mengapa manusia menjadi lebih berani saat jumlah mereka banyak. Dan menjadi pengecut saat ia sendirian.Cio San melangkah maju.Langkahnya perlahan dan hati-hati.Entah tubuh siapa yang ia injak. Entah mayat siapa yang ia langkahi.Puluhan orang di hadapannya masih mengurungnya.Dari ribuan menjadi pulu

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 236

    Cahaya putih yang keluar dari tangannya membentuk gelombak angin deras yang bergerak bagai liukan naga, menghunjam menghantam ketiga orang Tetua perguruan utama itu.Tapi mereka bukan pendekar-pendekar kroco yang tadi dihajar Cio San. Mereka adalah ketua perguruan silat paling utama di Tionggoan. Bahkan mungkin paling utama di dunia!Menerima serangan itu, mereka berkelit dengan mudah. Pengalaman, pemahaman, dan pengetahuan mereka tentang pertarungan, jauh lebih matang daripada Cio San.Sedahsyat apapun 18 Tapak Naga, jika mampu menghindarinya, tentu saja tak akan melukai. Dan itulah rahasia dalam menghadapi 18 Tapak Naga.Jangan dihadapi langsung dengan tenaga juga, tetapi harus dihindari, lalu cari celah kosong untuk menyerang!Begitu 18 Tapak Naga dikeluarkan, ada celah sepersekian detik yang bisa dimanfaatkan. Karena orang yang mengeluarkan ilmu itu memerlukan tenaga dan kekuatan yang besar, sehingga untuk mengisi ulang tenaga itu diperlukan waktu sepersekian detik.Sepersekian de

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 237

    Semua orang berdiri di ujung tebing jurang itu.Tak ada seorang pun yang berani mengeluarkan kata-kata.Pertarungan para naga yang berakhir tak terduga.Perasaan campur aduk pasti akan muncul di hati manusia yang menyaksikan kejadian di puncak Thay San ini. Kagum, takut, sedih, marah, dan entah apa lagi.Peristiwa yang berlangsung sedemikian cepat, namun terasa begitu lama. Bagaikan bintang jatuh. Bercahaya menyilaukan, namun kemudian hilang tak membekas.Berapa ribu orang yang mati saat ini?Berapa banyak tubuh terkapar tak bernyawa yang ada di tempat ini?Berapa tinggi banjir darah yang menggenang membasahi alas kaki?Berapa banyak nyawa terbuang?Berapa banyak jiwa terhempas?Berapa banyak air mata tertumpahkan?Kadang-kadang manusia berperang untuk alasan yang tidak jelas sama sekali. Kadang-kadang mereka bahkan saling membunuh tanpa membutuhkan alasan.Kebencian, seperti cinta, kadang memang tidak memerlukan alasan.Demi cinta orang rela membunuh. Karena kebencian pula orang bera

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 238

    Setiap pemilihan, selalu ada sejenis panitia yang ditugaskan mengurus keperluan acara ini. Mereka telah disumpah untuk berlaku adil, dan tidak turut serta dalam pertarungan. Biasanya berisi Tetua-tetua perguruan yang sudah melakukan Upacara Cuci Tangan dari dunia persilatan.“Yang ingin ikut, silahkan mendaftar,” kata salah seorang Tetua.Ada beberapa orang yang maju.Beng Liong kenal siapa mereka.Ia melihat ada yang tulus.Ia melihat ada juga yang mencoba menggunakan kesempatan baik ini untuk menjadi Bengcu.Di saat hampir semua pendekar besar terluka atau mati dalam pertarungan tadi, inilah kesempatan terbaik untuk merebut posisi Bu Lim Bengcu.Ketua Dunia Persilatan!Siapa yang tidak tertarik kepada gelar itu?Bahkan orang yang tidak bisa silat pun ingin mendapatkan gelar itu.Gelar yang posisinya hampir sama dengan posisi kaisar sendiri.Beng Liong maju.Ia mendaftarkan dirinya. Ia tidak rela posisi yang begitu terhormat itu jatuh ke tangan orang yang tidak pantas menerimanya.Ad

Latest chapter

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status