Share

Bab 222

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku harus segera berlatih,” kata Suma Sun.

“Berlatih?”

“Ya.” Ia pergi sambil tersenyum. Menenteng pedangnya dan hilang di balik kegelapan malam.

Heran. Saat posisinya dulu ‘kalah’daripada Kam-tayhiap, ia malah mabuk-mabukan. Kini saat posisinya lebih ‘unggul’, ia malah berlatih.

Karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, Cio San pergi tidur.

Saat terang tanah, ia bangun. Sejak tadi telinganya sudah mendengar suara pertempuran. Ia tahu itu hanya berupa latihan biasa. Luk Ping Hoo, Ang Lin Hua, dan Kao Ceng Lung sedang berlatih bersama-sama. Memang, jika ahli silat berkumpul, hal yang paling menarik bagi mereka adalah adu jotos.

Melihat latihan ini, Cio San kagum juga. Luk Ping Hoo yang sudah tua, tidak kehilangan tenaga dan kelincahannya. Ang Lin Hua mengalami banyak sekali kemajuan. Kao Ceng Lun pun memiliki bakat yang sangat besar. Mereka bertiga saling menyerang satu sama lain, sehingga pertempuran ini terasa lucu. Kadang Ang Lin Hua bahu-membahu dengan Kao Ceng Lun menyerang Luk P
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   223

    “Wah, jurus apa itu?” tanya Suma Sun. Padahal tidak ada satu pun gerakan yang mereka buat.Cio San tidak berkata apa-apa. Ia sedang memusatkan pikirannya. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam ilmu pedang, Suma Sun masih setingkat lebih tinggi.“Hebat,” Suma Sun bergumam.Cio San masih diam. Ia merasa sangat terganggu dengan ucapan-ucapan Suma Sun. Maka ia kemudian menutup jalan pendengarannya. Dunia kini sunyi baginya. Justru dengan begitu, ia mampu mengatur lagi serangan-serangannya.Entah kata-kata apa yang diucapkan Suma Sun. Tapi si pendekar pedang ini rupanya sadar bahwa Cio San telah mengunci jalan pendengarannya, sehingga Suma Sun akhirnya memilih diam.Sesungguhnya jurus yang Cio San gunakan adalah jurus pedang dari Pendekar Pedang Kelana Can Liu Hoa yang dipelajarinya di hutan bambu. Jurus-jurus yang amat dahsyat jika diperagakan. Tapi justru menjadi lebih dahsyat ketika hanya dibayangkan.Suma Sun mulai kesulitan. Jurus pedang ini aneh dan tak masuk akal baginya.Walaupun mem

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 224

    “Aku sampai sekarang belum mengerti alasanmu mabuk-mabukan tempo hari,” kata Cio San.“Kau tentu paham jika aku sudah kalah pengalaman dan kalah ilmu dari Kam-tayhiap,” jelas Suma Sun, lalu melanjutkan, “Jika aku memikirkan hal untuk melawan kekuranganku itu, malah akan membuatku semakin kalah.”“Oleh sebab itu, aku memilih berbahagia dengan orang-orang terdekatku. Aku memilih menjalani masa kini, dan menghilangkan ketakutan-ketakutan akan masa depan.”“Dengan berbahagia, pikiran jadi terang. Hati jadi lapang. Dengan begitu, jiwaku menjadi lebih siap dalam menghadapi pertarungan. Apapun hasilnya, akan kuhadapi. Kalah ya kalah, mati ya mati. Tapi hasil itu baru ditentukan beberapa hari lagi. Hari ini? Hari ini aku ingin berbahagia. Ingin menjalani hidup yang lebih hidup.”“Jadi aku mengorbankan tenaga dengan minum arak. Tetapi hasilnya, aku mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini menjadi modal bagi jiwaku untuk menghadapi pertarungan nanti.”Orang yang bahagia, matanya menjadi terang

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 225

    Bayangan hutan yang gelap. Tapi bayangan orang ini terasa lebih gelap lagi. Kekelaman jiwanya bahkan jauh lebih gelap daripada malam. Semua itu terlihat dari sinar wajahnya.Sinar kegelapan!Jika ada cahaya yang bersinar darinya, malah membuat sekelilingnya terasa gelap. Itulah cahaya sinar matanya. Siapapun yang dipandangnya akan merasa terlempar ke dalam jurang paling gelap di sudut bumi.Senyumnya.Jika ular beracun bisa tersenyum, tentulah senyumnya akan seperti senyum orang ini.Orang lain membunuh dengan pedang, namun ia bisa membunuhmu cukup dengan senyumannya.Dengan perlahan, ia mengeluarkan secarik kertas dari balik bajunya. Lalu ia menulis. Tulisan huruf-hurufnya walau jelas dan mudah dibaca, terasa kacau dan tak teratur.Bunuh Beng Liong.Sebelum pertarungan antara Suma Sun dengan Kam Sin Kiam, Beng Liong harus mati.Gunakan racun. Jika gagal, kirim pendekar paling hebat. Jika gagal, gunakan perempuan. Jika gagal lagi, aku sendiri yang akan turun tangan.Jati diri tabib Li

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 226

    Bau kambing gunung yang dibakar, memang sejak tadi memenuhi tempat itu.Sahabat, makanan, dan arak.Tiga hal yang tak akan pernah dilewatkan Cio San.Dan rupanya, teman-temannya pun memiliki pendirian yang sama.Siang hari.Usai latihan, Beng Liong paling suka duduk di bawah pohon sambil menikmati ikan panggang. Ia memang suka ikan panggang. Dan sungai kecil di Thay San ini penuh dengan ikan-ikan kegemarannya.Bagian atas tubuhnya masih belum ditutupi. Dadanya yang bidang tegap berkeringat. Keringatnya sangat harum, sampai-sampai orang mengira keringatnya itu adalah minyak pewangi.Ia telah keluar dari sungai, dan telah memperoleh sejumlah tangkapan. Api bakaran sudah dipersiapkannya sebelum tadi turun ke sungai.Tak berapa lama ia menanti, panggangannya sudah selesai. Semerbak harum ikan membuatnya tersenyum.Betapa nikmat menikmati makanan seperti ini di alam terbuka!Sesuatu yang sederhana jika ditempatkan di tempat yang pas, akan terasa jauh lebih indah dan bermakna.Ia menikmati

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 227

    Sore hari menjelang.Beng Liong sedang berada di tendanya. Rombongan Bu Tong-pay membawa 3 tenda. Sebuah tenda kecil untuk Ciangbunjin dan seorang pengawalnya. Sebuah lagi agak sedang, buat murid-murid tingkatan agak tinggi. Sedangkan yang satunya lagi, yang paling besar, untuk murid-murid biasa.Beng Liong kini menikmati tehnya. Murid-murid yang lain tahu, jika Beng Liong sedang menikmati tehnya, orang lain sungkan mengganggu. Ini bukan karena Beng Liong akan marah jika terganggu. Ia tidak pernah marah jika terganggu. Mereka hanya mengerti, bahwa acara minum teh ini adalah acara yang paling disenangi Beng Liong. Oleh karena itu, mereka membiarkannya sendirian.Acara minum teh jauh lebih disukai Beng Liong daripada minum arak. Ia heran, mengapa ada pendekar yang mengorbankan kekuatan tubuh mereka hanya untuk kesenangan minum arak? Walaupun kemampuan minum arak adalah salah satu pembuktian kekuatan tubuh, Beng Liong jarang sekali mau minum arak. Baginya, pembuktian kekuatan tubuh yang

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 228

    Berjam-jam mereka mencari. Ang Lin Hua tidak ditemukan. Luk Ping Hoo pun bahkan ikut menghilang.Terbayang sedikit kepanikan di wajah mereka bertiga.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kao Ceng Lun.“Lebih baik kita jangan berpencar. Kita harus terus bersama sambil mencari mereka,” usul Lie Sat.Suma Sun hanya mengangguk-angguk.Sampai pagi menjelang, kedua orang itu tidak kembali.Kao Ceng Lun nampak sangat bingung, dan Lie Sat pun tidak tenang.“Suma-tayhiap, sebaiknya Tayhiap beristirahat. Pertarungan akan diadakan nanti malam. Saya takut hal ini bisa mengganggu pikiran Tayhiap.”Suma Sun tidak berkata apa-apa.Ia nampak tenang saja.Rupanya si ‘manusia’ telah kembali menjadi ‘dewa’.“Ahhh, aku sudah tak sabar lagi. Lebih baik aku pergi mencari mereka.” Kao Ceng Lun segera berdiri dan beranjak dari situ.“Orang muda memang selalu tidak sabaran,” batin Lie Sat. Ia sendiri pun beranjak dari situ. Meninggalkan Suma Sun sendirian.Jika seluruh gunung Thay San ini runtuh pun, ia tidak

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 229

    Dengan sekali lesatan, Cio San sudah muncul di hadapan orang yang menggotong Beng Liong itu.“Apa yang terjadi, Enghiong?” tanyanya sambil menjura.“Cayhe menemukan Beng Liong-tayhiap di pinggiran jurang di dekat sini.Sambil mengangguk, Cio San memeriksa Beng Liong.Masih hidup!Nafasnya sangat lemah. Bahkan hampir tidak ada. Secepatnya, Cio San langsung menyalurkan tenaga saktinya.Darah yang mengalir dari mulut Beng Liong masih segar. Itu berarti ia baru saja terluka. Melihat mantan kakak seperguruannya dalam keadaan seperti itu, hatinya merasa tergetar juga. Beng Liong kaku seperti mayat. Wajahnya pucat pasi. Begitu Cio San memeriksa jalan darahnya, segera ia menyadari bahwa jalan darah Beng Liong telah terpukul sedemikan hebatnya sehingga alirannya menjadi kacau balau.Jika terlambat beberapa menit saja, Beng Liong pasti meninggal.Dengan segenap kekuatan dan pengetahuannya, Cio San berusaha menyembuhkan Beng Liong. Saluran tenaga sakti yang Cio San berikan kepada Beng Liong seti

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 230

    Seluruh kejadian ini membutuhkan waktu untuk menulisnya. Padahal semuanya terjadi hanya dalam sekejap mata.Saat Suma Sun melenting tinggi di udara, Kam-tayhiap pun melenting ke atas pula. Sebuah gerakan pedang yang sama sederhananya dengan gerakan pertama tadi, kini telah mengincar perut Suma Sun.Orang jika sedang berada di posisi melenting, maka ia berada dalam bahaya. Karena posisi di udara seperti ini membuatnya tanpa kuda-kuda.Tapi Suma Sun bukan ‘orang’.Suma Sun adalah Dewa Pedang.Disambutnya tusukan itu dengan tangkisan pedang, yang belum juga tercabut dari sarungnya. Pedang berhasil ia tangkis, namun angin pedang yang tidak kalah dahsyat dengan serangan pedang itu sendiri, telah menghempasnya terlempar ke belakang.Punggung Sum Sun membentur tebing batu yang ada di belakangnya. Suara keras terdengar. Bebatuan terpecah-belah akibat tumbukan tubuh Suma Sun.Ia sendiri memang tidak terluka, karena tenaga dalam melindungi tubuhnya. Tapi dari kejadian ini saja, orang yang mampu

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status