Begitu suasana di sana sudah sepi, Cio San baru berbicara,“Para Totiang, maafkan kelancangan cayhe. Sesungguhnya cayhe tidak bermaksud melakukan ini semua.”Ia lalu melepaskan totokan kedua Tianglo yang tadi, dan menurunkan pedangnya dari tenggorokan dua Tianglo lainnya.“Pangeran Maling, tolong totok titik pendengaran beberapa murid terluka yang berada di sini, supaya mereka tidak mendengar ucapanku,” pinta Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong pun melakukannya.“Para Totiang, maafkan cayhe tidak bisa memberitahukan jati diri cayhe sebenarnya. Tapi cayhe datang kemari untuk menyampaikan sebuah rahasia.”Cio San diam sebentar, lalu berkata,“Di balik kamar ketua, terdapat jalan rahasia menuju ke puncak gunung.”Sambil berkata begitu, ia ingin melihat reaksi para Tianglo. Cio San lalu tersenyum puas setelah melihat reaksi wajah dan tubuh mereka sesuai dengan keinginannya.“Jalan rahasia ini berhubungan dengan kisah pembunuhan Tan Hoat di atas gunung, dan beberapa rahasia lain yang har
“Halah… Saya mana punya kemampuan untuk ikut bertanding? Walaupun bisa silat sedikit-sedikit, saya kesini hanya untuk menonton keramaian. Lumayan, bisa banyak ilmu yang didapat jika kita melihat pertandingan orang,” kata Lie Sat. Lanjutnya, “Siauya sendiri, apakah ikut bertanding?”“Iya. Sekedar untuk menguji kemampuan,” jawab Kao Ceng Lun sambil tersenyum.Lie Sat tersenyum juga. Ia suka melihat pemuda yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Hampir seperti dirinya sendiri. Umur mereka sendiri mungkin sebaya.Mereka mengobrol panjang lebar menceritakan pengalaman masing-masing. Tak berapa lama kemudian, masuk sebuah rombongan kecil ke kedai itu.Suma Sun, Ang Lin Hua, dan Luk Ping Hoo mantan Pangcu Kay Pang. Mereka duduk di sebuah meja kosong, yang tak jauh dari meja tempat Cio San dan sahabat barunya itu berada.Cio San ingin sekali menyapa mereka, tapi ia tahu ia sedang dalam penyamaran. Karena itu, ia bersikap biasa saja dan melanjutkan mengobrol dengan Kao Ceng Lun.Rombongan Suma Su
Tentu saja, pedangnya Suma Sun telah menancap di dahi Bu Seng Ti.Tanpa suara.Tanpa darah.Yang ada hanya kematian.Suma Sun menatap mayat itu dengan penuh penyesalan.“Kau punya bakat besar, tapi kenapa memilih kematian.” Kalimatnya terdengar seperti pertanyaan. Tapi juga terdengar seperti penyesalan.Bahkan juga terbayang sebuah perasaan sepi yang aneh.Karena Suma Sun tahu, di masa depan nanti, tak ada seorang pun yang mampu menandingi pedangnya. Di manakah lagi ia akan menemukan lawan sebanding?Pemuda penuh bakat selalu menyenangkan hatinya. Karena baginya, ada sedikit harapan di masa depan bagi pedangnya untuk menemukan lawan.Mungkin karena inilah, ia merasa begitu kesepian.Jika orang lain kesepian karena tak punya kawan, ia kesepian karena tidak punya lawan.Rasa sepi yang hanya dimengerti oleh orang-orang seperti Suma Sun.Orang-orang yang telah menyerahkan hidupnya kepada ketajaman pedangnya.Suma Sun sendiri telah mengangkat mayat pemuda itu dan menggendongnya keluar. Ke
“Nona siapa?” tanya Ang Lin Hua.“Di mana Ti-ko (Kakak Ti)?” si nona malah balas bertanya.“Maksudmu Bu Seng Ti?” tanya Ang Lin Hua.“Ya.”“Dia…” Ang Lin Hua tidak berani menjawab. Matanya hanya menatap ke kuburan yang baru saja dibuat itu.“Ti-ko….” Nona itu berlari menghambur dan menjatuhkan dirinya di atas kuburan.“Ti-ko… Kenapa kau tidak mendengarkan aku.. Oh.. Ti-ko.. Bagaimana dengan calon bayi di perutku ini Ti-ko?” Ia menangis lama sekali. Menimbulkan keharuan orang yang menonton.Orang-orang semakin banyak berkumpul melihat kejadian ini. Sebagian dari mereka berharap akan ada keramaian lagi.Si nona, yang ternyata adalah seorang nyonya muda itu lalu bangkit berdiri.“Kau pasti Suma Sun.”Sudah dua kali Suma Sun mendengar orang berkata seperti ini. Dan yang pertama sudah menuju alam baka.“Benar.”“Kenapa kau membunuhnya?”“Karena ia ingin membunuhku,” jawab Suma Sun datar dan dingin.“Ciiihh…!! Pendekar besar membunuh seorang pemuda ingusan,” kata nyonya muda itu dingin.Di
Matahari sore memerah. Langit mulai menghitam. Rembulan pun sudah mulai terlihat jelas. Suma Sun masih terpaku duduk menatap kaki langit. Walaupun daerah situ masih ramai, setidaknya ia sudah tidak menjadi pusat perhatian lagi.Ia duduk di bawah pohon. Luk Ping Hoo dan Ang Lin Hua membiarkannya sendirian. Mereka berdua kini malah kembali ke warung tadi dan memesan arak.Kao Ceng Lun berkata kepada Lie Sat, “Hari sudah gelap, kau ingin kita melanjutkan perjalanan atau menginap saja?”Cio San melirik Suma Sun sebentar, lalu berkata, “Kita menginap saja, Siauya. Toh hari sudah gelap. Lebih baik beristirahat mengumpulkan tenaga,” kata Cio San alias Lie Sat.“Usul yang bagus,” kata Kao Ceng Lun sambil tersenyum. Ia memang hampir selalu tersenyum. Senyumnya pun menyenangkan. Seperti senyuman anak-anak.Setelah membayar, mereka keluar dan menuju rimbunan pohon yang berada di samping warung tadi. Suma Sun duduk tidak jauh dari situ.“Eh, Lie-ko. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Suma-tayhi
“Ilmu baru bisa dibilang sempurna, jika orang yang menggunakannya, bisa menggunakannya sebaik-baiknya.”Suma Sun mengangguk.“Aku memang sejak tadi berpikir tentang itu.”Lama ia terdiam, lalu melanjutkan, “Bahwa ilmu pedang ternyata bukan segala-galanya di dunia ini.”Jika kata-kata itu lahir dari bibir orang lain, Cio San tak akan sekaget ini. Walaupun ia telah menyangka Suma Sun pasti akan sampai kepada pemahaman ini, mau tak mau, ia tetap kaget.Seorang Dewa Pedang mengatakan, bahwa pedang bukanlah segala-galanya di dunia ini?“Jika pedang bukan segala-galanya, lalu apa?”“Manusia,” jawabnya singkat.“Ketika kulihat nyonya muda itu menyerangku dengan segenap jiwa raganya, aku baru mengerti, ternyata di dunia ini ada hal yang lebih indah dari pedang.”“Ia mengorbankan dirinya. Ia rela melanggar kehormatan pendekar pedang, karena cintanya kepada suaminya.”“Kau yakin itu bukan karena dendam?” tanya Cio San.“Dendam itu bukankah lahir dari cinta juga?”Mereka berdua memandang jauh.J
Bukankah ini kembali kepada obrolan mereka di awal tadi? Bahwa kesempurnaan suatu ilmu terletak kepada orangnya, dan bukan kepada ilmunya.Itulah mengapa manusia menjadi makhluk yang berkuasa di bumi. Saat mereka menggunakan akal pikirannya. Itulah yang membuat manusia lebih unggul daripada makhluk lain.Saat manusia menjadi manusia.Karena puncak tertinggi kemanusiaan, tidak terletak pada tingginya pangkat, banyaknya harta, ataupun dalamnya ilmu. Tetapi terletak pada kemanusiaannya. Pada kelemahannya. Pada sifat-sifatnya. Pada akal pikirannya.Begitu sederhana!Tapi juga begitu sukar dipahami.Cio San tak bisa berkata-kata.Ia hanya bisa menjura.Lalu bibirnya mengucap, “Tayhiap.”Suma Sun meneteskan air mata. Jika kata ‘Pendekar Besar’ itu terucap dari bibir Cio San kepadanya, seolah-olah tuntaslah semua urusannya di muka bumi ini. Seolah-olah, lengkaplah arti kehidupannya di kolong langit ini.Dua sahabat. Empat tetesan air mata, dari dua pasang mata yang tulus.Malam semakin gelap
Pendekar sehebat apapun, sekuat apapun ia minum arak, pastilah akan mempengaruhi keadaannya. Bagaimana mungkin ia malah mengajak minum-minum? Jarak 4 hari ini, seharusnya diisi dengan latihan keras, meditasi mendalam, dan istirahat yang cukup.Tapi Cio San cukup tahu diri untuk tidak memperingatkan Suma Sun. Karena ia percaya sepenuhnya kepada Suma Sun. Bahwa nanti kalah dan menangnya Suma Sun, ia tidak berhak mencampuri keputusan apapun yang diambil oleh sahabatnya itu.Karena baginya, kalah atau menang, mati atau hidup, salah atau benar, Suma Sun adalah sahabatnya.Maka ia lah orang pertama yang bangkit berdiri menyambut ajakan Suma Sun untuk minum arak. Ang Lin Hua, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun pun akhirnya bangkit mengikuti mereka ke arah warung.Warung yang memang tidak pernah sepi selama beberapa hari, kini ketambahan banyak orang yang mendengar kabar bahwa Suma Sun berada di sekitar situ. Mereka tentunya sejak semalam telah mendengar kabar tantangan surat terbuka Kam Sin Kiam