“Nona siapa?” tanya Ang Lin Hua.“Di mana Ti-ko (Kakak Ti)?” si nona malah balas bertanya.“Maksudmu Bu Seng Ti?” tanya Ang Lin Hua.“Ya.”“Dia…” Ang Lin Hua tidak berani menjawab. Matanya hanya menatap ke kuburan yang baru saja dibuat itu.“Ti-ko….” Nona itu berlari menghambur dan menjatuhkan dirinya di atas kuburan.“Ti-ko… Kenapa kau tidak mendengarkan aku.. Oh.. Ti-ko.. Bagaimana dengan calon bayi di perutku ini Ti-ko?” Ia menangis lama sekali. Menimbulkan keharuan orang yang menonton.Orang-orang semakin banyak berkumpul melihat kejadian ini. Sebagian dari mereka berharap akan ada keramaian lagi.Si nona, yang ternyata adalah seorang nyonya muda itu lalu bangkit berdiri.“Kau pasti Suma Sun.”Sudah dua kali Suma Sun mendengar orang berkata seperti ini. Dan yang pertama sudah menuju alam baka.“Benar.”“Kenapa kau membunuhnya?”“Karena ia ingin membunuhku,” jawab Suma Sun datar dan dingin.“Ciiihh…!! Pendekar besar membunuh seorang pemuda ingusan,” kata nyonya muda itu dingin.Di
Matahari sore memerah. Langit mulai menghitam. Rembulan pun sudah mulai terlihat jelas. Suma Sun masih terpaku duduk menatap kaki langit. Walaupun daerah situ masih ramai, setidaknya ia sudah tidak menjadi pusat perhatian lagi.Ia duduk di bawah pohon. Luk Ping Hoo dan Ang Lin Hua membiarkannya sendirian. Mereka berdua kini malah kembali ke warung tadi dan memesan arak.Kao Ceng Lun berkata kepada Lie Sat, “Hari sudah gelap, kau ingin kita melanjutkan perjalanan atau menginap saja?”Cio San melirik Suma Sun sebentar, lalu berkata, “Kita menginap saja, Siauya. Toh hari sudah gelap. Lebih baik beristirahat mengumpulkan tenaga,” kata Cio San alias Lie Sat.“Usul yang bagus,” kata Kao Ceng Lun sambil tersenyum. Ia memang hampir selalu tersenyum. Senyumnya pun menyenangkan. Seperti senyuman anak-anak.Setelah membayar, mereka keluar dan menuju rimbunan pohon yang berada di samping warung tadi. Suma Sun duduk tidak jauh dari situ.“Eh, Lie-ko. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Suma-tayhi
“Ilmu baru bisa dibilang sempurna, jika orang yang menggunakannya, bisa menggunakannya sebaik-baiknya.”Suma Sun mengangguk.“Aku memang sejak tadi berpikir tentang itu.”Lama ia terdiam, lalu melanjutkan, “Bahwa ilmu pedang ternyata bukan segala-galanya di dunia ini.”Jika kata-kata itu lahir dari bibir orang lain, Cio San tak akan sekaget ini. Walaupun ia telah menyangka Suma Sun pasti akan sampai kepada pemahaman ini, mau tak mau, ia tetap kaget.Seorang Dewa Pedang mengatakan, bahwa pedang bukanlah segala-galanya di dunia ini?“Jika pedang bukan segala-galanya, lalu apa?”“Manusia,” jawabnya singkat.“Ketika kulihat nyonya muda itu menyerangku dengan segenap jiwa raganya, aku baru mengerti, ternyata di dunia ini ada hal yang lebih indah dari pedang.”“Ia mengorbankan dirinya. Ia rela melanggar kehormatan pendekar pedang, karena cintanya kepada suaminya.”“Kau yakin itu bukan karena dendam?” tanya Cio San.“Dendam itu bukankah lahir dari cinta juga?”Mereka berdua memandang jauh.J
Bukankah ini kembali kepada obrolan mereka di awal tadi? Bahwa kesempurnaan suatu ilmu terletak kepada orangnya, dan bukan kepada ilmunya.Itulah mengapa manusia menjadi makhluk yang berkuasa di bumi. Saat mereka menggunakan akal pikirannya. Itulah yang membuat manusia lebih unggul daripada makhluk lain.Saat manusia menjadi manusia.Karena puncak tertinggi kemanusiaan, tidak terletak pada tingginya pangkat, banyaknya harta, ataupun dalamnya ilmu. Tetapi terletak pada kemanusiaannya. Pada kelemahannya. Pada sifat-sifatnya. Pada akal pikirannya.Begitu sederhana!Tapi juga begitu sukar dipahami.Cio San tak bisa berkata-kata.Ia hanya bisa menjura.Lalu bibirnya mengucap, “Tayhiap.”Suma Sun meneteskan air mata. Jika kata ‘Pendekar Besar’ itu terucap dari bibir Cio San kepadanya, seolah-olah tuntaslah semua urusannya di muka bumi ini. Seolah-olah, lengkaplah arti kehidupannya di kolong langit ini.Dua sahabat. Empat tetesan air mata, dari dua pasang mata yang tulus.Malam semakin gelap
Pendekar sehebat apapun, sekuat apapun ia minum arak, pastilah akan mempengaruhi keadaannya. Bagaimana mungkin ia malah mengajak minum-minum? Jarak 4 hari ini, seharusnya diisi dengan latihan keras, meditasi mendalam, dan istirahat yang cukup.Tapi Cio San cukup tahu diri untuk tidak memperingatkan Suma Sun. Karena ia percaya sepenuhnya kepada Suma Sun. Bahwa nanti kalah dan menangnya Suma Sun, ia tidak berhak mencampuri keputusan apapun yang diambil oleh sahabatnya itu.Karena baginya, kalah atau menang, mati atau hidup, salah atau benar, Suma Sun adalah sahabatnya.Maka ia lah orang pertama yang bangkit berdiri menyambut ajakan Suma Sun untuk minum arak. Ang Lin Hua, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun pun akhirnya bangkit mengikuti mereka ke arah warung.Warung yang memang tidak pernah sepi selama beberapa hari, kini ketambahan banyak orang yang mendengar kabar bahwa Suma Sun berada di sekitar situ. Mereka tentunya sejak semalam telah mendengar kabar tantangan surat terbuka Kam Sin Kiam
Selama ini, ia membawa kematian kepada orang lain. Jiwanya sepi dan dingin. Kini saat kematian akan datang menghampirinya, ia begitu hangat, bahagia, dan merasa damai.Tidak ada seorang pun yang paham isi hati Suma Sun. Mengapa manusia yang telah mencapai tingkatan ‘dewa’ seperti itu, malah rela menurunkan derajatnya kembali menjadi manusia biasa. Karena untuk mencapai tahap ‘dewa’, seseorang harus bisa mematikan hatinya, mendinginkan perasaannya, dan menjual kehidupannya kepada pedang.Tidak mudah untuk menjadi orang seperti itu. Karena hanya orang yang benar-benar berbakat yang mampu melakukannya.Orang-orang seperti ini, akan menjadi aneh di hadapan orang lain. Tapi tidak ada satu pun manusia yang akan menyangkal, betapa mereka telah berubah menjadi ‘dewa’.Suma Sun telah mencapai tahap ini. Tapi ia melepaskannya, dan memilih menjadi ‘manusia biasa’. Yang merasakan duka dan bahagia. Yang memiliki sahabat dan teman karib.Dewa seharusnya berada jauh tinggi di atas sana. Tak ada satu
Ang Lin Hua yang kesal melihat keadaan itu, menegur, “Tuan-tuan, harap jangan ikut menambah ruwet suasana.”“Ruwet bagaimana? Suma-tayhiap ‘kan sedang bersenang-senang. Kami pun turut berbahagia jika beliau senang,” kata salah seorang.Orang ini badannya ceking. Kukunya panjang dan menghitam. Jelas-jelas orang ini menguasai sejenis ilmu cakar beracun.“Ang-siocia, biarkan saja. Jangan kau usik teman-teman baruku,” kata Suma Sun sambil tersenyum.Karena tidak tahan, Ang Lin Hua pun pergi dari situ. Ia keluar warung dan pergi ke padang rumput untuk mencairkan suasana hatinya.Ia memang tidak tega melihat keadaan Suma Sun. Jika menuruti kehendaknya, ingin sekali ia melarang Suma Sun untuk minum. Tapi memangnya dia siapa?Kao Ceng Lun bergegas menyusul nona berambut putih ini.“Ang-liehiap,” serunya pelan.Ang Lin Hua menoleh. Air mata mengambang di matanya. Bagaimanapun, ia tidak ingin kehilangan Suma Sun.“Kao-enghiong,” balasnya.Mereka hanya bisa saling menatap. Kao Ceng Lun pun hanya
Racun itu sangat ganas, sampai-sampai, mengeluarkan suara pun sangat menyakitkan!“Saudara-saudara, harap tetap waspada. Hati-hati melangkah, karena jarum-jarum itu banyak yang menempel di tanah,” kata Cio San memperingatkan, yang dibalas dengan anggukan mereka yang masih selamat.Tak ada seorang pun yang berani bergerak, karena keadaan di sana gelap gulita. Beberapa obor yang ada di sana sudah padam.Salah seorang kemudian menyalakan api, karena kebetulan ia memang membawa batu api. Dengan sangat hati-hati, ia menggunakan sobekan kain bajunya sebagai obor. Dengan adanya tambahan cahaya sekecil ini, Cio San kemudian bergerak. Hal yang pertama ia lakukan adalah menyalakan obor-obor lainnya.Begitu daerah sana terlihat terang-benderang, semua orang baru merasa agak lega. Biarpun sampai sekarang mereka belum berani bergerak, setidaknya dengan adanya penerangan, membuat mereka terasa lebih leluasa.Hanya Cio San yang berani bergerak.Ia duduk berjongkok dan mulai menggerakkan tangan. Gera
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge