“Harap Cianpwe jangan salah paham. Cayhe sungguh benar-benar memuji. Ilmu Siau Lim-pay sangat sederhana, namun intisari silat sudah terangkum dan tercakup dengan lengkap.”Melihat ketulusan di mata Cio San, mau tidak mau, kemarahannya surut juga.“Cianpwe jatuh oleh jurus sendiri, itu jelas bukan hal memalukan,” lanjut Cio San menambahkan.Mendengar ini, si Hwesio malah bersemangat lagi. “Jika kau mengalahkanku dengan menggunakan jurusmu sendiri, aku baru mengaku kalah.”“Baiklah. Awas serangan!”Kali ini Cio San yang bergerak duluan. Tangan kirinya sudah mengeluarkan suara derik. Tangan kanannya sudah menyerang ke depan dengan membentuk moncong ular.Melihat serangan ini, si Hwesio kaget, namun ia tidak menjadi panik. Ia menghindar dengan bergerak ke samping. Tapi entah bagaimana, tangan kanan Cio San juga sudah ada di sana. Ia mencoba menangkis tangan Cio San, tapi tangan Cio San malah membelit lengannya seperti ular. Tangan Cio San sangat lemas bagai tak bertulang, membelit lengan
Ia terus berjalan. Di ujung taman yang luas dan indah ini, Cio San dapat mendengar bunyi sungai di depan sana. Suara desahan dan erangan yang tadi menusuk-nusuk telinganya, kini perlahan hilang berganti suara gemericik air sungai.Ada suara langkah dari arah sungai. Entah siapa lagi yang akan ia temui.Perlahan lahan ia melangkah, terlihat sebuah bayangan di depannya.Seorang wanita sedang mencuci pakaian di sungai. Wanita itu menoleh dan terkejut melihat kedatangan Cio San.“Ah…, Tuan pasti hendak menemui Pangcu, bukan?” katanya.Cio San hanya mengangguk. Kenapa tempat ini tidak pernah kehabisan wanita cantik?Wanita di depannya ini memakai baju yang sederhana, hanya kain kasar yang modelnya ketinggalan jaman pula. Rambutnya digelung biasa. Tiada satu pun perhiasan yang melekat di tubuhnya. Tapi jika dibandingkan dengan ratusan perempuan maha cantik yang tadi ia temui, seperti membandingkan matahari dengan kunang-kunang.“Jika Tuan ingin menemui beliau, biar saya antarkan,” katanya l
Si nona bagai tercekat. Ia terdiam lama, lalu lantang berkata,“Benar. Aku memang tak merasakan apapun. Bahkan, jika seluruh dunia tunduk dibawah kakiku, dan semua laki-laki berlutut memujaku, aku tak akan merasa apa-apa. Kau sudah puas?”“Aku justru kasihan.”Memang, jika kau melihat seseorang memiliki segalanya, tapi ia masih saja tidak bahagia, bukankah kau akan mengasihaninya?Tatapan mata nona ini kemudian berubah menjadi begitu menakutkan.“Kuakui kehebatan dan kecerdasanmu, tapi apa kau pikir itu semua cukup untuk menundukkan aku?” katanya.“Pada hakekatnya, tiada seorang pun yang sanggup menaklukkanmu.”“Nah, kalau kau sudah tahu begitu, mengapa tidak lekas kesini dan pegang tanganku? Belai rambutku dan cium bibirku?”Jika ia berkata begitu kepada seluruh lelaki di dunia ini, kau akan tetap merasa hanya kepadamu lahperkataan itu tertuju.Cio San hanya seorang pemuda. Pemuda sehat jasmani dan rohani pula. Maka ia melangkah ke depan, menuju singgasana nona itu. Singgasananya, en
Halo Good Readers, Selamat mengikuti petualangan Cio San dan teman-temannya yah. Cerita ini aku tulis berdasarkan pengalaman hidup sendiri, tapi aku yakin banyak readers di sini yang punya pengalaman yang hampir sama. Kita pernah jatuh cinta, pernah merasakan perih, pernah dikhianati orang terdekat, macem-macem lah. Tapi kita juga pasti pernah merasakan manisnya persahabatan, kesetiakawanan, bahkan juga cinta. Aku pengen cerita KPPL ini bisa menjadi sekedar pengingat jalan hidup kita semua. Bisa jadi cerita yang hidup di dalam kenangan. Bukan cuma sekedar mengisi kekosongan waktu. Karena itu aku menulis KPPL dengan sepenuh hati, karena aku tahu para Readers pun membacanya dengan sepenuh hati. Nah, sebagai ucapan terima kasih telah setia mengikuti cerita ini, aku mau ngasih sebuah cerpen untuk readers sekalian. Sekedar kado supaya hubungan kita lebih dekat lagi. Hehehe. Jangan follow I* ku yaa @normadman Selamat menikmati yaa
ASMARA PEDANG Norman Tjio Pedang hampir menembus tenggorokannya. Feng Ling menutup mata. Sehebat apapun ilmunya, ia tidak dapat menandingi si Pedang Tanpa Batas, kekasihnya sendiri. Segala kenangan masa lalu bersamanya terbayang di depan mata. Konon katanya, saat seseorang akan mati, maka segala kilasan perjalanan hidupnya akan muncul di depan mata. Tetapi yang lewat kini hanyalah kenangan dan perasaan cintanya kepada si Pedang Tanpa Batas. Feng Ling telah pasrah dengan kematiannya. Tetapi ternyata kematian itu datang begitu lama. Saat Feng Ling membuka mata, dilihatnya pedang sang kekasih telah terhenti hanya seujung kuku dari tenggorokannya. Di dunia ini, hanya sang Pedang Tanpa Batas yang mampu menghentikan serangan sendiri seperti itu. Sekejap pedang bergerak, sekejap juga pedang itu terhenti. Itulah kenapa lelaki itu dijuluki Pedang Tanpa Batas. Karena kemampuan pedangnya seolah tanpa batas. Pedang telah kembali ke sarungnya. Lelaki itu berbalik badan, lalu pergi tanpa berka
Cio San telah jauh meninggalkan bukit itu. Dari tempat ia kini duduk, terlihat asap membumbung tinggi dari bukit itu. Ia yakin orang-orang di sana pasti akan dapat menyelamatkan diri. Mereka orang-orang yang perlu dikasihani. Tapi Cio San tahu, ia tidak perlu melakukan apa-apa di sana.Kini ia duduk di sebuah pavilliun kecil di pinggir telaga. Telaga ini tidak seindah telaga tempat tadi ia mandi. Tetapi lumayan sepi dan tenang. Ia bersandar di kursinya, dan menikmati seguci arak yang tadi sempat ia beli sebelum sampai di telaga itu.Ia menikmatinya perlahan-lahan. Pelan-pelan. Cara minum arak seperti ini ia lakukan jika sedang berpikir keras. Arak memang kadang-kadang membantu pikiran menjadi lebih jernih.Dari jauh, Cio San mendengar derap kaki kuda berlari kencang. Orang yang mengendarainya sepertiterburu-buru. Tak berapa lama, Cio San bisa mengenal penunggang kuda itu. Dia adalah Beng Liong!Sedang apa dia hingga terburu-buru?“Liong-ko!” Cio San berkata pelan. Tapi suaranya telah
“Semuanya cocok. Ketika ada kejadian peracunan di markas Ma Kauw, ia ada di sana. Walaupun aku sempat menyelamatkan mereka, tapi pengobatanku sendiri hanya untuk sementara. Mungkin saja ia punya tenaga dalam yang sangat tinggi untuk membantunya melawan atau setidaknya menjinakkan racun itu. Tapi entahlah. Jika ia selamat dari racun itu, tentu karena sebelumnya ia telah memiliki penawarnya.”Lanjut Cio San,“Ia juga adalah satu-satunya orang yang selamat dari kejadian pembakaran kapal di dermaga. Ia adalah Raja Maling! Dengan mudah, ia bisa mencuri rahasia-rahasia, kitab-kitab sakti, dan berbagai macam hal yang tidak bisa kita bayangkan!”“Betul juga,” kata Beng Liong, “Lalu sekarang pikiranmu berubah?”“Iya. Bwee Hua Sian jauh lebih berbahaya daripada Cukat Tong. Jauh lebih masuk akal, jika ia pelakunya,” kata Cio San. “Eh, Liong-ko, sebenarnya, manusia macam apa sih Bwee Hua Sian itu?”“Dari hasil penyelidikanku, ia tinggal di ujung utara Tionggoan, dekat daerah bersalju. Selama ini,
Cio San berjalan pelan-pelan saja. Kini hari sudah mulai sore. Matahari yang perlahan menuju barat, seperti mengiringi langkahnya. Langkah yang perlahan, namun tegap dan pasti. Ia melangkah seolah-olah tidak ada satu pun hal yang dapat menghentikan langkahnya.Guguran bunga kadang-kadang jatuh di kepalanya. “Bunga Bwee lagi.”“Kenapa hari ini aku selalu berurusan dengan bunga Bwee?”Urusan hari ini memang besar. Tapi ia malah tambah bersemangat. Karena di dalam kepalanya, ia mulai melihat titik cerah dalam urusan ini.Ia melangkah sambil tersenyum. Sambil sesekali melompat tinggi, memetik buah-buahan untuk dinikmatinya.Hidup sebebas ini, hidup senyaman ini, hidup senikmat ini. Bahkan Kaisar pun tidak pernah menikmatinya.Kadang-kadang, Cio San heran dengan orang-orang yang hidupnya mereka habiskan untuk mengejar harta dan kehormatan belaka. Apakah mereka yakin, mereka akan hidup sampai esok hari? Jika hidup dihabiskan mengejar hal-hal semu seperti itu, lalu kapan mereka menikmati hid